Share

Secangkir Kopi Untuk CEO
Secangkir Kopi Untuk CEO
Penulis: Pena Langit

Coklat

Angin malam berembus menerbangkan helai-helai rambut panjang Anita. Wanita cantik berusia 24 tahun yang memiliki rambut panjang dan sehitam malam. Suara langkah kaki bersepatu pantofel yang ia gunakan. Mengeluarkan bunyi khas setiap kakinya melangkah.

“Hah... hari ini aku capek sekali. Tanganku terasa mau patah dan kepala ku seperti mau pecah. Tiga minggu ini, benar-benar dua minggu yang sangat berat. Entah sampai kapan ini akan berakhir. Aku ingin liburan!” rengek Anita.

Wajah bening di setiap masuk ke kantor itu kini tampak lesu dan berantakan. Bahkan rambutnya yang selalu lembut dan lurus, kini sedikit kusut dan di abaikannya.

Handphone Anita tiba-tiba berdering dalam tas kantornya. Segera ia meraih handphone itu dan melihat siapa yang sedang menelepon. 

Wajah kesal Anita terlihat tatkala ia mengetahui siapa yang menelepon.

Tut! Anita menekan icon telepon berwarna hijau untuk menerima panggilan.

“Belum pulang lo?! Buruan kesini, aku sudah lapar nih,,,” tanya penelepon yang merupakan sahabatnya, bernama Cecilia.

Anita mendesis pelan. “Iya sabar, ini aku sudah mau sampek. Kamu pesan saja dulu. Biar pas aku datang, aku bisa langsung makan. Aku juga lapar banget soalnya. Sudah pingin makan orang!” seru Anita.

“Serem amat Bu! Ya sudah. Kalau gitu mau pesan apa?”

“Seperti biasanya saja,” jawab Anita agak sewot.

Orang lapar memang serem kalau lagi di tanya-tanya.

“Oke. Kamu cepat datang.”

“Iya-iya....” sahut Anita lalu mengakhiri panggilan.

Anita kembali menyimpan handphone-nya dalam tas kemudian melanjutkan langkahnya lebih cepat lagi. Perutnya sudah benar-benar minta di isi. Jika saja suara mobil yang sedang berlalu lalang tidak ada, mungkin perutnya yang berbunyi akan sering terdengar.

Kurang 50 meter lagi Anita sudah sampai di kafe tempat dirinya dan Cecilia janjian. Tapi saat hendak menyeberang jalan. Lampu rambu lalu lintas menunjukkan warna merah. Anita mau tak mau harus bersabar beberapa detik sampai warna lampu itu berubah hijau.

Sambil menunggu, Anita memasukkan dua tangannya di saku jaket. Hawa malam yang sedang dingin membuatnya mencari kehangatan. Dan saat tangannya masuk dalam saku. Ia merasakan ada sesuatu dalam saku jaketnya.

Anita mengeluarkan apa yang ada dalam kantong. Dan itu ternyata sebuah coklat yang di bungkus seperti permen.

Kening Anita mengerut. Ia lupa, bagaimana ada coklat dalam saku jaketnya. Dan beberapa saat mengingat, ia akhirnya dapat mengingatnya.

Ini coklat! Biar semangatmu meledak dan rasa capekmu hilang!” kata Pak Braham. Orang yang telah memberinya coklat saat melewati meja kerjanya. Dan beliau, merupakan Manajer di perusahaan tempatnya bekerja. Atau bisa di katakan atasannya. Karena posisi Anita saat ini adalah asisten manajer.

“Aku hampir lupa. Hari ini memang sibuk sekali sih. Jadi wajar,” kata Anita sambil memperhatikan coklat berbentuk bulat itu.

Mumpung ada coklat di saat perutnya kelaparan. Anita pun memutuskan untuk memakan coklat tersebut. Pikirnya, lumayan, bisa buat ganjal perut. Tapi Anita tidak tahu, jika coklat itu mengandung alkohol sebanyak 3 persen.

Anita lalu membuang bungkus coklat itu sembarangan. Kemudian kembali berjalan saat lampu rambu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.

***

Wajah lesu Anita sedikit lebih cerah saat melihat Cecilia. Sudah lama mereka tak berkumpul. Makanya Anita cukup senang saat melihat Cecilia. Begitu pun sebaliknya.

Dua wanita yang belum juga menikah itu berpelukan lalu duduk dengan tenang.

Anita menarik nafasnya dalam-dalam saat melihat sepiring mie seafood porsi double di meja. Aroma mie goreng seafood yang lezat langsung menggetarkan perutnya.

“Wah.... kamu pesan ektra topeng ya?” todong Anita tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya.

“Iya dong.... mumpung ada duit. Sudah ayo makan. Sudah enggak kuat nih perut!” kata Cecilia kemudian mengambil sejumput mie dengan garpu.

Anita yang juga sudah tak tahan dengan lambungnya yang berdemo, ikutan mengambil garpu dan makan. 

“Mie goreng seafood memang the best lah!” kata Anita usai menelan suapan pertamanya.

“Iya lah. Apalagi ekstra toping. Eh iya, kamu masih lembur hari ini? Apa tendernya belum selesai?” tanya Cecilia sambil tetap makan.

“Iya. Dan tendernya belum juga selesai. Masih ada beberapa hal yang harus dilakukan. Menyebalkan banget tahu enggak?! Lama-lama badanku remuk karena kerja 12 jam penuh,” jawab Anita.

Wajah Anita yang sudah tampak lebih cerah, kini kembali terlihat cemberut.

“Kau lihat, jari-jariku ini, bisa jadi jempol semua ini, tahu enggak? Banyak sekali dokumen yang harus aku ketik dan diisi. Bahkan tender ini lebih parah dari dua bulan yang lalu! Terlalu rumit! Harus nyiapin ini lah, itu lah. Pokoknya banyak kerjaan dan ribet!” lanjut Anita mengeluh dengan gusar.

Cecilia mendengarkan sahabatnya berkomat-kamit dengan tenang.

“Ya yang sabar lah Ant. Namanya juga kerja, kantoran lagi,” tandas Cecilia. “Apalagi posisimu kan asisten manajer. Pasti banyak banget yang harus di urus.”

Anita berdecak. Apa yang Cecilia katakan benar. TTugas seorang sisten manajer memang berat. Tapi apa iya harus seberat ini. Meski tak sering-sering dirinya bekerja sangat keras dan berat seperti ini. Tapi tetap saja,  saat ada tender besar masuk, kerjaannya jadi 5 kali lebih berat.

Anita yang merasa harus menumpahkan rasa kesalnya, terus berceloteh tentang pekerjaannya pada Cecilia. Ocehannya yang semakin tak karuan seiring wajahnya memerah dan cegukan, membuat 3 pria berjas yang duduk di meja di belakang mereka jadi terganggu dengan ocehan Anita yang seperti tak ada ujungnya.

“Sepertinya, kafe bukan tempat yang cocok untuk membicarakan bisnis dengan tenang,” kata salah satu pria berjas yang tampak berumur dengan kaca mata bulat yang melekat di matanya.

“Anda benar. Ini tempat yang ramai,” sahut salah satu dari mereka yang lebih tua. Bahkan sudah ada banyak uban di rambutnya.

Satu pria lagi bermata tajam dan berwajah dingin namun juga terlihat penuh karisma juga angkat bicara.

“Saya rasa tidak juga. Kita membicarakan proyek ini di sini, karena kemungkinan kita bisa menjalin hubungan lebih dekat sebagai perusahaan besar. Dan kafe ini, sebenarnya cukup tenang. Hanya saja,” pria berwajah dingin itu lalu melirik ke arah meja Anita. “Wanita itu terlalu berisik!”  lanjutnya.

Pria dengan wajah dingin itu lalu memanggil Anita. “Hei kamu?”

Anita yang merasa terpanggil menoleh. Matanya kini tampak sayup. 

“Apa? Siapa kau?” sahut Anita.

Pria itu tampak kesal dengan nada bicara Anita. Dua pria berjas yang lebih tua darinya memperhatikan tanpa berkomentar.

“Bisakah kau kecilkan suara sumbangmu itu?” kata pria berwajah dingin dengan nada yang tenang namun menjengkelkan.

Anita mengerutkan kening. Ia merasa terhina akan perkataannya.

Anita bangkit dari duduknya. Cecilia yang khawatir berusaha menghentikan Anita yang mulai terlihat aneh.

“Hei, Anita. Mau apa kau? Jangan buat masalah, kita memang terdengar paling berisik disini. Cepat minta maaf!” bisik Cecilia, lalu meminta maaf pada 3 pria itu untuk mewakili Anita.

Tapi Anita yang mulai mabuk, langsung bertingkah frontal.

“Kamu diam saja. Dia sudah mengatakan kalau suaraku sumbang. Enak saja, begini-begini waktu SD aku juara 1 menyanyi di acara lomba Agustusan. Jangan bilang seenaknya ya!” kata Anita sambil menuding.

Cecilia gerak cepat, ia menarik tangan Anita. Tapi lagi-lagi Anita menepis tangan Cecilia. Anita lalu berdiri di samping pria berwajah dingin itu. Tatapan keduanya bertemu.

Anita tersenyum setengah bibir lalu berkata. “Wajahmu, menyebalkan!”

Cecilia yang tak bisa berbuat banyak, berkomat-kamit cemas. Ia mengira sahabatnya ini jadi begini karena terlalu lelah bekerja.

“Hei, Ant. Kenapa kamu mengatakan itu! Kamu ini kenapa sih? Tiba-tiba bersikap aneh seperti orang teler saja! Ayo kita pulang saja. Kamu butuh istirahat lebih.” kata Cecilia cemas. Ia kemudian mengucapkan maaf untuk kedua kalinya. Dan berharap masalah ini tidak berbuntut panjang.

Tapi lagi-lagi Anita kembali menepis tangan Cecilia. Lalu memandang wajah pria dingin itu lebih dekat.

“Aku seperti pernah melihat wajahmu. Tapi di mana ya?” tanya Anita dengan kening mengerut tajam.

Untuk ke sekian kalinya, Cecilia menarik Anita agar kembali. Namun Anita lagi-lagi menepis tangan Cecilia. Beberapa pegawai kafe yang melihat dari kejauhan memperhatikan secara saksama. Mereka belum bisa bertindak karena Anita yang belum terlihat membuat kekacauan di mata mereka.

Ekor mata Anita melirik dua pria di samping. Kemudian bibirnya tersenyum penuh makna.

“Kalian pekerja kantoran juga ya ternyata. Apa kalian baru pulang bekerja dan berkumpul di sini untuk melepas stres setelah bekerja sangat keras seperti aku?”

Tiga pria itu hanya diam dan saling pandang. Sedang Cecilia panas dingin mendengar ucapan Anita yang tidak sopan. Di lihat secara sekilas. Cecilia seperti merasa kalau 3 pria berjas itu bukan orang sembarangan.

“Wah... kalian bekerja keras juga ya ternyata. Hahaha, apa bos kalian orangnya diktator?” Anita menggeleng dan berdecak beberapa kali.

“Kasihan sekali kalian. Tapi kita senasib! Di kantorku juga sama. CEO di tempatku bekerja, sangat gila kerja! Ia mencambuk pegawainya seperti mencambuk kuda pacuan! Bekerja seharian tak akan membuatnya merasa puas!”

“Tiga minggu ini, dia sudah menyuruh aku bekerja dengan sangat keras. Sampai aku sulit beranjak dari meja kerjaku. Bahkan untuk mengangkat bokongku untuk kentut saja sulit! Ini sangat menyebalkan! Hari minggu kemarin pun aku juga masih diminta bekerja. Dasar CEO itu! Aku sampai tidak habis pikir kenapa bisa perusahaan tempatku bekerja memperkerjakannya. Sudah tidak pernah menyapa karyawannya. Selalu bersikap dingin dan cuek! Apa orang seperti mayat hidup itu pantas menjadi CEO?”

“Huh! Sayangnya aku jarang bertemu dengannya. Kalian tahu kenapa?”

Tiga pria berjas itu tetap diam sambil menatap Anita. Bedanya, pria berwajah dingin, menatap Anita agak kesal karena kata-kata Anita seperti menyinggung dirinya. Sedang dua pria berjas lainnya mendengarkan dengan tenang. Malah keduanya merasa kasihan sekaligus agak terhibur dengan kejujuran Anita.

Sambil tertawa kecil Anita menjelaskan. “Karena dia gila kerja. Dia sangat cinta pada pekerjaannya. Sampai-sampai datang ke kantor pagi buta. Dia memang gila. Kalau saja aku bertemu dengannya, aku ingin sekali memakinya sampai telinganya berdarah,” tandas Anita.

Dua pria berjas itu sampai melebarkan matanya karena terlalu kagum akan pemilihan kata umpatan Anita yang luar biasa.

“Wah, kamu pasti mengalami hari-hari yang menyebalkan di kantormu. Kalau boleh tahu, kamu bekerja di perusahaan apa?” tanya pria berjas yang paling tua dengan penuh penasaran.

“DA.crop!” jawab Anita singkat.

Mata pria berwajah dingin itu menajam dan langsung menatap Anita. Tatapannya seperti ingin menerkam Anita saat ini juga. Sedang dua pria berjas lain juga terkejut. Tapi keduanya lalu tertawa kecil. Mereka berdua kini tahu siapa yang di bicarakan Anita.

“Lalu siapa nama CEO perusahaanmu itu?” tanya pria berkaca mata untuk memastikan dugaan mereka yang sebenarnya tidak perlu lagi di tanyakan. Karena CEO dari perusahaan yang disebut Anita, sudah ada di sini.

“Namanya Sagara. Nama yang jelek bukan? Aku harap kalian tidak muntah atau tertawa setelah mendengar nama itu. Karena aku sendiri begitu muak untuk menyebut namanya itu!”

Pria berwajah dingin itu lalu berdiri dan mengancingkan kembali kancing jasnya.

“Untuk pertemuan kali ini. Sampai di sini saja dulu. Besok siang, saya akan menghubungi kalian untuk melanjutkan pembicaraan kita. Permisi,” pria berwajah dingin itu lalu berlalu terlebih dahulu tanpa berkata apa-apa lagi.

“Wah, si wajah menyebalkan itu kenapa pergi dengan kesal. Apa dia kena marah bosnya?” tanya Anita.

“Tidak. Tapi sepertinya, besok kamu akan mendapatkan masalah yang cukup besar,” jawab pria berkaca mata lalu ikut beranjak juga bersama pria yang paling tua.

Anita memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud perkataan pria berjas itu. Tapi Anita masa bodoh dan kembali ke mejanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status