Sepanjang permainan golf, Pijar senantiasa berada di belakang Elang. Memastikan jika lelaki itu membutuhkan sesuatu, maka dia bisa memberikannya dengan cepat. Sepanjang Elang bermain golf bersama dengan teman-temannya Elang tidak bicara meskipun candaan terkadang keluar dari mulut mereka. Pijar bersyukur karena teman-teman Elang sekarang bukanlah orang-orang yang sama dengan mereka yang ada di diskotik waktu itu. “Pijar, mau coba main?” Salah satu teman Elang menawarkan. Lelaki tampan itu tersenyum ramah. “Biar saya ajari.” Pijar menggeleng. “Tidak usah, Pak. Terima kasih. Saya lebih suka menonton.” Lelaki itu mengangguk dan tidak memaksa Pijar. Memilih melihat Elang yang tengah beraksi di lapangan hijau tak jauh dari mereka. Setelah mereka mengakhiri permainan, waktu sudah semakin siang. Tidak segera pulang dan mereka memilih untuk istirahat di sebuah coffee shop sambil menikmati pemandangan lapangan hijau di hadapannya. Seperti biasa, obrolan mereka tentu saja tak jauh dari bis
“Jadi, kamu tadi sedang berolahraga? Maaf, kalau Ayah sama Bunda mengganggu kalian.” Elang dan Pijar baru saja masuk ke dalam rumah ketika ayah Pijar menunjukkan rasa sesal karena sudah mengganggu acara sang putri. Kedatangannya memang mendadak dan tidak memberi kabar kepada Pijar terlebih dahulu. Orang tua Pijar pasti beranggapan, ini adalah weekend dan Pijar tidak memiliki kegiatan di kantor. “Ayah nggak ganggu kok. Memang tadi kegiatannya sudah selesai.” Pijar menjawab dengan lembut, menghempaskan segala pikiran buruk yang disimpan oleh sang ayah di dalam kepalanya. “Yah, Bun, ini bos Pijar. Tadi kebetulan Pijar nggak bawa kendaraan, jadi Pak Elang yang mengantar.” Di depan orang tuanya, Pijar tidak ingin menunjukkan hal-hal buruk terkait apa pun. Terlebih lagi tentang masalahnya dengan Elang. Dia berharap, Elang pun bisa bekerja sama. Setidaknya, Elang tidak mengatakan kata-kata tajam yang selalu diarahkan kepadanya. “Saya ayahnya Pijar, Pak. Terima kasih sudah mengantarkan pu
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Elang secara tiba-tiba itu tentu membuat Pijar terkejut. Namun, untuk ayah dan ibunya, itu hanyalah sebuah pertanyaan yang wajar. Terkadang, seseorang itu bisa mengeluarkan pertanyaan tak terduga hanya untuk mencairkan suasana. Tidak terlihat kecurigaan ayah Pijar ketika menjawab pertanyaan Elang. Laki-laki paruh baya itu tersenyum. “Yang pasti yang bisa mencintai putri saya dengan tulus, Pak. Pijar itu tidak punya saudara. Kami sebagai orang tua juga tidak bisa membahagiakan dia. Sejak dia muda sudah banyak beban yang kami berikan kepadanya karena sebuah kelalaian.” Elang mendengarkan dengan seksama. Ada banyak rasa penasaran yang dirasakan di dalam hatinya yang dia simpan rapat. “Yang sebanding dengan keluarga kami juga. Kami ini ‘kan orang nggak punya, dan tentu lelaki yang bisa memuliakan Pijar.” Jawaban itu cukup aman untuk diberikan. Tahu jika dia sudah berbicara terlalu banyak, ayah Pijar menghentikan ucapannya. Lelaki itu tersenyum kecil.
Hal yang dikhawatirkan oleh Pijar ketika Elang mengetahui rumahnya adalah ulah tidak terduga lelaki itu. Sifat alami Elang yang menyebalkan tentu tidak akan bisa dihilangnya. Bertindak semaunya juga merupakan keahliannya. Hari ini misalnya, lelaki itu tiba-tiba datang ke rumah Pijar tanpa izin lebih dulu. Waktu sudah malam ketika lelaki itu mengetuk pintu rumahnya. Pijar tengah bersiap untuk tidur ketika dia harus kembali bangun dan membukakan pintu rumah. “Pak Elang?” Rasa terkejut tak bisa dibendung. Mata yang tadinya diserang oleh rasa kantuk itu segar kembali. “Ada apa?” Pijar buru-buru bertanya takut ada hal yang buruk yang terjadi. Alih-alih menjawab, lelaki itu justru masuk ke dalam rumah Pijar tanpa permisi. Dia bahkan menyingkirkan tubuh Pijar, lalu berlalu masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa. Tatapannya mengarah pada televisi yang ada di depannya dengan kaki saling bertumpu. Pijar hanya bisa menganga melihat tingkah sembarangan yang ditunjukkan oleh bosnya tersebut. M
“Sarapannya, Pak.” Pijar meletakkan sarapan yang dibuatnya sejak pukul lima pagi itu di atas meja Elang. Pijar tidak tahu jam berapa lelaki itu datang ke kantor karena ketika dia baru sampai, lelaki itu sudah ada di ruangannya. “Buka!” perintah Elang kepada Pijar tanpa menatap. Kotak bekal susun itu lantas dibuka oleh Pijar. Mengeluarkan aroma lezat menggugah selera. Tiga wadah susun itu semuanya terisi penuh. Elang mengalihkan tatapannya dari dokumen yang dibacanya ke arah tiga wadah di atas meja dengan kening mengernyit. “Kamu pikir saya makan sebanyak ini?” tanya Elang sambil mendongak menatap Pijar. “Sisanya untuk makan siang Bapak.” Sesaat, Elang terdiam sebelum mengangguk-angguk. “Oh, pengertian juga kamu. Kalau begitu saya akan makan nasi tumis dan ayam goreng.” Pijar menyimpan yang lainnya setelah itu dan menyisakan satu wadah untuk Elang. Dia lantas pamit untuk keluar dari ruangan lelaki itu setelah menyampaikan jadwal sang bos. Setelah dia merasa kalau Elang sudah sele
“Bapak! Lepaskan!” Pijar kepayahan ketika harus mengikuti langkah kaki Elang yang panjang-panjang. Tangan yang digenggam oleh Elang itu ditarik dengan kuat dan tak ada kesempatan untuk Pijar melepaskan. Sampai di basement mall, Pijar dipaksa masuk ke dalam mobil Elang tanpa peduli penolakan yang diberikan. Elang seperti orang yang tengah kesetanan. Lelaki itu bahkan hanya berpamitan seadanya kepada Manda sebelum keluar dari restoran. Pijar bisa melihat bagaimana Manda menatap penuh kebencian kepadanya. Lagi dan lagi, dia merasa ada yang tidak beres dengan perempuan itu dan akan ada masalah baru yang lebih besar entah apa. “Bapak ini kenapa sih?” Pijar sedikit berteriak kepada Elang yang sudah duduk di belakang kemudi sebelum menjalankan mobilnya. Elang tidak memberikan jawaban. Lelaki itu bahkan tidak bicara apa pun, tetapi dia hanya terus mengetatkan rahangnya seolah tengah menahan ledakan emosi yang begitu besar. Pada akhirnya, Pijar hanya diam dan tidak lagi berisik bertanya i
“Kamu masih mencintainya?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Manda dan ditujukan kepada Elang. Elang ada di depannya, diam seperti biasanya. “Aku pikir, masalah kalian dulu cukup pelik,” lanjut Manda. “Jangan membahas lagi.” Elang menjawab seadanya. “Sudah bukan hal penting untuk menjadi perhatian. Kamu datang untuk membahas proyek, ‘kan? Aku rasa, perusahaanmu akan mendapatkanya.” “Aku tahu itu.” Manda mengedikkan bahunya tak acuh seolah itu bukan hal yang besar. “Aku datang bukan sekedar untuk berbicara tentang proyek, tapi aku sedikit penasaran dengan keberadaan Pijar di sini.” Pertemuan malam itu tidak menghasilkan apa pun. Elang dan Manda baru saja datang ketika tak lama setelah itu Elang berdiri dan berjalan menjauh dari meja. Dia mendekat ke arah dua perempuan yang duduk berhadapan di salah satu meja dan ternyata salah satu di antaranya adalah Pijar. Manda geram saat itu, tetapi dia harus tetap bersikap elegan dengan tidak mengeluarkan amarahnya di tempat umum. “Apa aku perl
“Kalau sudah nggak yang ada dikerjakan, saya akan pergi, Pak.” Pijar sudah menyelesaikan tugas memasaknya. Elang juga sudah selesai makan dengan Pijar yang menemani. Mereka terlihat seperti pasangan suami istri sungguhan, pasalnya, Elang tidak mengizinkan Pijar pulang untuk menemani dirinya makan. “Tidak. Ada pekerjaan yang harus kamu kerjakan.” Elang mengeluarkan dokumen dari bawah meja lalu meletakkan di atas meja. “Kerjakan ini.” Tunjuknya pada dokumen tersebut. Pijar membuka dokumen itu dan merasa kepalanya tiba-tiba pusing. Rentetan angka tertera di sana dan itu pastilah dokumen proyek yang akan ditangani. Pijar melihat jam dan ternyata benar-benar sudah larut malam. Tubuh Pijar benar-benar perlu istirahat. Namun, dia memilih untuk tidak menolak dan mengerjakannya. Semakin dia cepat menyelesaikan, akan semakin cepat dia pulang. ‘Sabar, Pijar. Ini nggak akan lama,’ katanya pada diri sendiri. Sepanjang dia mengerjakan laporan tersebut, tidak ada sama sekali Elang berbicara. Di