“Sarapannya, Pak.” Pijar meletakkan sarapan yang dibuatnya sejak pukul lima pagi itu di atas meja Elang. Pijar tidak tahu jam berapa lelaki itu datang ke kantor karena ketika dia baru sampai, lelaki itu sudah ada di ruangannya. “Buka!” perintah Elang kepada Pijar tanpa menatap. Kotak bekal susun itu lantas dibuka oleh Pijar. Mengeluarkan aroma lezat menggugah selera. Tiga wadah susun itu semuanya terisi penuh. Elang mengalihkan tatapannya dari dokumen yang dibacanya ke arah tiga wadah di atas meja dengan kening mengernyit. “Kamu pikir saya makan sebanyak ini?” tanya Elang sambil mendongak menatap Pijar. “Sisanya untuk makan siang Bapak.” Sesaat, Elang terdiam sebelum mengangguk-angguk. “Oh, pengertian juga kamu. Kalau begitu saya akan makan nasi tumis dan ayam goreng.” Pijar menyimpan yang lainnya setelah itu dan menyisakan satu wadah untuk Elang. Dia lantas pamit untuk keluar dari ruangan lelaki itu setelah menyampaikan jadwal sang bos. Setelah dia merasa kalau Elang sudah sele
“Bapak! Lepaskan!” Pijar kepayahan ketika harus mengikuti langkah kaki Elang yang panjang-panjang. Tangan yang digenggam oleh Elang itu ditarik dengan kuat dan tak ada kesempatan untuk Pijar melepaskan. Sampai di basement mall, Pijar dipaksa masuk ke dalam mobil Elang tanpa peduli penolakan yang diberikan. Elang seperti orang yang tengah kesetanan. Lelaki itu bahkan hanya berpamitan seadanya kepada Manda sebelum keluar dari restoran. Pijar bisa melihat bagaimana Manda menatap penuh kebencian kepadanya. Lagi dan lagi, dia merasa ada yang tidak beres dengan perempuan itu dan akan ada masalah baru yang lebih besar entah apa. “Bapak ini kenapa sih?” Pijar sedikit berteriak kepada Elang yang sudah duduk di belakang kemudi sebelum menjalankan mobilnya. Elang tidak memberikan jawaban. Lelaki itu bahkan tidak bicara apa pun, tetapi dia hanya terus mengetatkan rahangnya seolah tengah menahan ledakan emosi yang begitu besar. Pada akhirnya, Pijar hanya diam dan tidak lagi berisik bertanya i
“Kamu masih mencintainya?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Manda dan ditujukan kepada Elang. Elang ada di depannya, diam seperti biasanya. “Aku pikir, masalah kalian dulu cukup pelik,” lanjut Manda. “Jangan membahas lagi.” Elang menjawab seadanya. “Sudah bukan hal penting untuk menjadi perhatian. Kamu datang untuk membahas proyek, ‘kan? Aku rasa, perusahaanmu akan mendapatkanya.” “Aku tahu itu.” Manda mengedikkan bahunya tak acuh seolah itu bukan hal yang besar. “Aku datang bukan sekedar untuk berbicara tentang proyek, tapi aku sedikit penasaran dengan keberadaan Pijar di sini.” Pertemuan malam itu tidak menghasilkan apa pun. Elang dan Manda baru saja datang ketika tak lama setelah itu Elang berdiri dan berjalan menjauh dari meja. Dia mendekat ke arah dua perempuan yang duduk berhadapan di salah satu meja dan ternyata salah satu di antaranya adalah Pijar. Manda geram saat itu, tetapi dia harus tetap bersikap elegan dengan tidak mengeluarkan amarahnya di tempat umum. “Apa aku perl
“Kalau sudah nggak yang ada dikerjakan, saya akan pergi, Pak.” Pijar sudah menyelesaikan tugas memasaknya. Elang juga sudah selesai makan dengan Pijar yang menemani. Mereka terlihat seperti pasangan suami istri sungguhan, pasalnya, Elang tidak mengizinkan Pijar pulang untuk menemani dirinya makan. “Tidak. Ada pekerjaan yang harus kamu kerjakan.” Elang mengeluarkan dokumen dari bawah meja lalu meletakkan di atas meja. “Kerjakan ini.” Tunjuknya pada dokumen tersebut. Pijar membuka dokumen itu dan merasa kepalanya tiba-tiba pusing. Rentetan angka tertera di sana dan itu pastilah dokumen proyek yang akan ditangani. Pijar melihat jam dan ternyata benar-benar sudah larut malam. Tubuh Pijar benar-benar perlu istirahat. Namun, dia memilih untuk tidak menolak dan mengerjakannya. Semakin dia cepat menyelesaikan, akan semakin cepat dia pulang. ‘Sabar, Pijar. Ini nggak akan lama,’ katanya pada diri sendiri. Sepanjang dia mengerjakan laporan tersebut, tidak ada sama sekali Elang berbicara. Di
Sepanjang perjalan pulang, Pijar berpikir keras tentang apa yang baru saja terjadi. Pertemuannya dengan Manda sungguh membuatnya dipenuhi banyak pertanyaan yang belum bisa terjawab. Apakah dia akan bertanya kepada Elang tentang siapa Manda? Tentu itu jauh tidak mungkin. Maka satu-satunya jalan adalah dia hanya perlu diam menunggu waktu yang memberikan dirinya jawaban. “Sudah sampai, Mbak.” Suara supir taksi menyadarkannya dari lamunan panjang. Pijar mendesah panjang melihat gedung tinggi yang ada di depannya. Pijar akan mengantarkan pakaian-pakaian milik Elang di apartemen milik lelaki itu. Sebenarnya dia ingin membawa barang-barang itu ke rumahnya dan akan mengantarkan esok hari, tetapi Elang tidak mengizinkan. Maka mau tak mau, dia harus kembali datang ke tempat tinggal lelaki itu. “Terima kasih, Pak.” Pijar mengulurkan uang lembaran seratus ribu sebelum keluar dari dalam taksi. Berjalan dengan pasti untuk masuk ke dalam apartemen. Petugas apartemen mengangguk untuk sekedar memb
Rahang Elang mengetat mendengar ucapan Pijar. Amarah yang menumpuk di dalam kepalanya seolah tumpah ke permukaan. Lelaki itu tanpa banyak kata kembali menarik Pijar untuk masuk ke dalam lift. Jika Elang mau mengakui, jauh di dalam hatinya adalah kemarahan karena kecemburuannya kepada Pijar yang didekati oleh lelaki lain di depan matanya. Pijar terseok-seok sepanjang jalan. Elang benar-benar memperlakukannya seperti seekor kambing. Bahkan ketika mereka sudah masuk ke dalam unit, Elang melemparkan Pijar ke sofa. Tas yang sejak tadi disandangnya itu dilemparkan. Lelaki itu lantas mendekati Pijar, lalu mengurungnya dengan tubuh besarnya.“Apa yang ingin kamu lakukan!” Pijar terlihat ketakutan ketika menatap mata Elang. “Sudah berapa banyak lelaki yang tidur denganmu, Pijar?” Pertanyaan itu menampar wajah Pijar tak kasat mata. Setelah kata-kata buruk itu lama tak keluar dari mulut Elang, kini kembali lagi. “Nggak ada salahnya kalau aku ambil bagian, ‘kan?” tanya Elang dengan seringai kej
Elang memukul setir mobilnya ketika pikirannya begitu berisik. Jalanan sudah macet karena ini adalah waktu orang-orang berangkat kerja. Dia bahkan belum sempat mencuci mukanya ketika keluar dari unitnya. Di dalam hatinya muncul keresahan yang tidak bisa ditutupi. Ada rasa takut kalau terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dengan Pijar. “Argh!” Lagi-lagi dia berteriak di kencang untuk sekedar meluapkan emosi yang ada di dalam hatinya. Setelah hampir dua jam di perjalanan, Elang akhirnya sampai di depan rumah Pijar. Dia keluar dari mobil dan segera masuk melewati pagar yang tidak terkunci. Sialnya, tidak ada mobil di sana. Mencoba peruntungan, Elang tetap menggedor pintu rumah Pijar. Tentu, tidak ada jawaban sama sekali. “Ke mana dia?” tanyanya pada dirinya sendiri. Di dalam kepalanya membentuk bayangan-bayangan buruk yang barangkali terjadi. Bagaimana kalau Pijar pergi dalam keadaan kacau lalu bertemu dengan lelaki jahat dan dia diperkosa? Elang kembali ke dalam mobil dan mencoba
“Aku nggak melihat Pijar. Dia di mana?” Manda baru saja masuk ke dalam ruangan Elang ketika mengeluarkan pertanyaanya. Langkah kakinya pasti mendekati meja kerja Elang. Di tangannya memegang berkas. Menarik kursi yang ada di depan Elang, lalu tanpa permisi segera duduk di sana. “Oh, dia nggak masuk.” Elang menjawab asal. Jika dia bisa, dia juga ingin bertemu dengan Pijar. “Nggak masuk dengan alasan apa?” pancing Manda lagi. “Urusan keluarga.” Manda justru terkekeh mendengar ucapan Elang. “Dia benar-benar pembohong ulung,” katanya menarik perhatian Elang. Lelaki itu kini memberikan perhatian kepada Manda sepenuhnya. Meninggalkan fokusnya pada komputer di depannya untuk sekedar meminta penjelasan kepada perempuan itu. “Kamu tahu sesuatu?” tanyanya dengan tegas. Manda menyeringai sebelum mengangguk. “Bukan hanya tahu sesuatu, tapi aku punya buktinya juga.” “Berikan!” Elang menyodorkan tangannya yang tanpa basa-basi mendapatkan sambutan dari Manda. Perempuan itu meletakkan ponse