Rahang Elang mengetat mendengar ucapan Pijar. Amarah yang menumpuk di dalam kepalanya seolah tumpah ke permukaan. Lelaki itu tanpa banyak kata kembali menarik Pijar untuk masuk ke dalam lift. Jika Elang mau mengakui, jauh di dalam hatinya adalah kemarahan karena kecemburuannya kepada Pijar yang didekati oleh lelaki lain di depan matanya. Pijar terseok-seok sepanjang jalan. Elang benar-benar memperlakukannya seperti seekor kambing. Bahkan ketika mereka sudah masuk ke dalam unit, Elang melemparkan Pijar ke sofa. Tas yang sejak tadi disandangnya itu dilemparkan. Lelaki itu lantas mendekati Pijar, lalu mengurungnya dengan tubuh besarnya.“Apa yang ingin kamu lakukan!” Pijar terlihat ketakutan ketika menatap mata Elang. “Sudah berapa banyak lelaki yang tidur denganmu, Pijar?” Pertanyaan itu menampar wajah Pijar tak kasat mata. Setelah kata-kata buruk itu lama tak keluar dari mulut Elang, kini kembali lagi. “Nggak ada salahnya kalau aku ambil bagian, ‘kan?” tanya Elang dengan seringai kej
Elang memukul setir mobilnya ketika pikirannya begitu berisik. Jalanan sudah macet karena ini adalah waktu orang-orang berangkat kerja. Dia bahkan belum sempat mencuci mukanya ketika keluar dari unitnya. Di dalam hatinya muncul keresahan yang tidak bisa ditutupi. Ada rasa takut kalau terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dengan Pijar. “Argh!” Lagi-lagi dia berteriak di kencang untuk sekedar meluapkan emosi yang ada di dalam hatinya. Setelah hampir dua jam di perjalanan, Elang akhirnya sampai di depan rumah Pijar. Dia keluar dari mobil dan segera masuk melewati pagar yang tidak terkunci. Sialnya, tidak ada mobil di sana. Mencoba peruntungan, Elang tetap menggedor pintu rumah Pijar. Tentu, tidak ada jawaban sama sekali. “Ke mana dia?” tanyanya pada dirinya sendiri. Di dalam kepalanya membentuk bayangan-bayangan buruk yang barangkali terjadi. Bagaimana kalau Pijar pergi dalam keadaan kacau lalu bertemu dengan lelaki jahat dan dia diperkosa? Elang kembali ke dalam mobil dan mencoba
“Aku nggak melihat Pijar. Dia di mana?” Manda baru saja masuk ke dalam ruangan Elang ketika mengeluarkan pertanyaanya. Langkah kakinya pasti mendekati meja kerja Elang. Di tangannya memegang berkas. Menarik kursi yang ada di depan Elang, lalu tanpa permisi segera duduk di sana. “Oh, dia nggak masuk.” Elang menjawab asal. Jika dia bisa, dia juga ingin bertemu dengan Pijar. “Nggak masuk dengan alasan apa?” pancing Manda lagi. “Urusan keluarga.” Manda justru terkekeh mendengar ucapan Elang. “Dia benar-benar pembohong ulung,” katanya menarik perhatian Elang. Lelaki itu kini memberikan perhatian kepada Manda sepenuhnya. Meninggalkan fokusnya pada komputer di depannya untuk sekedar meminta penjelasan kepada perempuan itu. “Kamu tahu sesuatu?” tanyanya dengan tegas. Manda menyeringai sebelum mengangguk. “Bukan hanya tahu sesuatu, tapi aku punya buktinya juga.” “Berikan!” Elang menyodorkan tangannya yang tanpa basa-basi mendapatkan sambutan dari Manda. Perempuan itu meletakkan ponse
“Kamu takut denganku?” Pertanyaan bodoh itu keluar juga dari mulut Elang.Mungkin dia berpikir Pijar akan tetap baik-baik saja ketika dia sudah melakukan sesuatu yang begitu jauh dari kata normal. Dia sudah mengeluarkan kata-kata buruk yang menyakiti Pijar, tidak hanya itu, dia bahkan dengan tidak punya hati menjamah tubuh Pijar. Bukan hanya Pijar, perempuan mana pun pasti akan ketakutan untuk melihat orang yang sudah menyakitinya. “Bapak datang pasti ada hal penting yang ingin Bapak bicarakan kepada saya.” Pijar berusaha kuat untuk tidak lari ketakutan berhadapan dengan Elang. “Bapak bisa bicara sekarang.” Elang masih memberikan atensinya kepada Pijar dengan tatapan menilai. Sejak tadi, Pijar benar-benar tidak ingin menatap wajahnya. Perempuan itu hanya terus menunduk menatap lantai. “Besok berangkatlah kerja. Aku nggak mau jadwalku menjadi berantakan hanya karena tidak ada yang membantu.” Bohong sekali. Di sana pun ada tim sekretaris yang bisa membantu Elang untuk mengatur jadwa
“Pijar, kamu mau ke mana?” “Pijar, kamu resign?” “Jar, kamu serius mau pergi dari kantor ini?” Pertanyaan demi pertanyaan itu Pijar dapatkan ketika dia keluar dari ruangannya dengan membawa kotak berisi barang-barangnya, kemudian masuk ke dalam lift untuk ke lantai dasar. Dia belum bertemu dengan Vira dan mungkin gadis itu nanti akan sangat terkejut melihat Pijar memilih untuk pergi dari Infinity setelah semua yang terjadi. “Iya, aku resign.” Begitulah dia menjawab dengan santai kepada siapa pun yang mengajukan pertanyaan tersebut. Tidak perlu dia menjelaskan apa pun kepada siapapun tentang keputusan yang sudah diambil. Mentalnya lebih penting daripada harus terus bertahan di tempat kerja yang sudah tidak sehat. Pijar segera meninggalkan Infinity setelah menatap gedung itu lama. Hatinya sakit luar biasa, tetapi ini adalah konsekuensi yang harus dia tanggung. Dalam perjalanan, Leo tiba-tiba saja menghubungi dirinya. Pijar hanya menatap layar ponselnya tak segera menjawab panggila
“Jar, kamu nggak papa?” Bagas melihat wajah pucat Pijar, cengkraman di tangannya juga kencang luar biasa. Perempuan itu seolah tengah ketakutan. Namun, apa yang tengah ditakutkan oleh Pijar sedangkan di depannya hanya ada Elang. “Jar.” Bagas kembali memanggil. “Aku pergi dulu.” Buru-buru, dia mendorong troli belanjaannya dengan tergesa. Bagas mengejar Pijar setelah menganggukkan kepalanya kepada Elang. Pijar tengah mengantri di kasir dengan gerak-gerik tak nyaman. Dia ingin segera pergi dari sana, tetapi sayangnya dia harus menunggu sampai belanjaannya dibayar. Dia harus menunggu dua orang yang ada di depannya selesai terlebih dulu. Pijar menunduk dan berusaha untuk tidak mencari-mencari Elang, jangan sampai tatapan mereka bertemu. Pijar hanya fokus pada ketakutannya pada Elang dan tidak peduli dengan Bagas yang juga menunggunya di depan deretan kasir. Lelaki itu menatap Pijar dengan aneh seolah dia mengerti ada yang terjadi dengan mantan kekasihnya tersebut. “Pijar, biar aku ba
“Kalau aku hamil bagaimana, Lang?” Elang baru saja membuka matanya ketika kepalanya terasa sakit luar biasa. Dia ingat betul semalam dia memang tengah minum-minum di club malam hanya untuk melepaskan segala pikiran tentang Pijar. Sayup-sayup dia mengingat ada Manda di sampingnya. Setelah itu dia lupa apa yang terjadi.Ketika kesadarannya sekarang kembali, Manda segera menodongnya dengan pertanyaan yang membuatnya semakin pusing. Apa yang perempuan itu bilang? Hamil? Tidak masuk akal. “Lang, semalam kita benar-benar melakukannya.” Elang bangun sebelum memijat pelipisnya, berusaha meredam rasa sakitnya. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah di ruangan tersebut. Pakaiannya bercecer di mana-mana. Tanpa peduli dengan ocehan Manda, dia memilih untuk berdiri meninggalkan ranjang, memungut pakaiannya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Elang atas ucapan Manda. Dia seolah-olah tidak mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh perempuan itu. Tak lama s
“Kamu membiarkan dia lahir tanpa pernikahan orang tuanya?” Manda tidak terima. “Dia akan mendapat label anak haram, Lang!” Elang mengedik tak acuh. “Tidak ada anak yang terlahir haram. Perbuatan orang tuanyalah yang haram. Hentikan perdebatan ini dan kita akan melakukan sesuatu yang aku katakan. Kamu terima atau tidak, itu urusan kamu.” Manda salah orang. Elang tidak bisa ditaklukkan begitu saja. Dia harus berupaya lebih keras lagi agar semuanya bisa berjalan sesuai rencana. Manda berpikir apa yang harus dia lakukan agar Elang bisa menuruti dirinya. Untuk sekarang, tidak harus pernikahan yang dia minta, tetapi hal lain yang barangkali bisa membuat dia dan Elang lebih dekat. “Bagaimana kalau aku ngidam ingin sesuatu dan itu malam hari? Lang, perempuan hamil itu tidak mudah. Ada kalanya dia akan mual setiap hari, ada juga bayi yang ingin dekat terus dengan ayahnya, menginginkan sesuatu yang kadang nggak masuk akal. Bagaimana aku bisa melakukan semua itu tanpa suami?” Elang tampak be