“Pijar, kamu mau ke mana?” “Pijar, kamu resign?” “Jar, kamu serius mau pergi dari kantor ini?” Pertanyaan demi pertanyaan itu Pijar dapatkan ketika dia keluar dari ruangannya dengan membawa kotak berisi barang-barangnya, kemudian masuk ke dalam lift untuk ke lantai dasar. Dia belum bertemu dengan Vira dan mungkin gadis itu nanti akan sangat terkejut melihat Pijar memilih untuk pergi dari Infinity setelah semua yang terjadi. “Iya, aku resign.” Begitulah dia menjawab dengan santai kepada siapa pun yang mengajukan pertanyaan tersebut. Tidak perlu dia menjelaskan apa pun kepada siapapun tentang keputusan yang sudah diambil. Mentalnya lebih penting daripada harus terus bertahan di tempat kerja yang sudah tidak sehat. Pijar segera meninggalkan Infinity setelah menatap gedung itu lama. Hatinya sakit luar biasa, tetapi ini adalah konsekuensi yang harus dia tanggung. Dalam perjalanan, Leo tiba-tiba saja menghubungi dirinya. Pijar hanya menatap layar ponselnya tak segera menjawab panggila
“Jar, kamu nggak papa?” Bagas melihat wajah pucat Pijar, cengkraman di tangannya juga kencang luar biasa. Perempuan itu seolah tengah ketakutan. Namun, apa yang tengah ditakutkan oleh Pijar sedangkan di depannya hanya ada Elang. “Jar.” Bagas kembali memanggil. “Aku pergi dulu.” Buru-buru, dia mendorong troli belanjaannya dengan tergesa. Bagas mengejar Pijar setelah menganggukkan kepalanya kepada Elang. Pijar tengah mengantri di kasir dengan gerak-gerik tak nyaman. Dia ingin segera pergi dari sana, tetapi sayangnya dia harus menunggu sampai belanjaannya dibayar. Dia harus menunggu dua orang yang ada di depannya selesai terlebih dulu. Pijar menunduk dan berusaha untuk tidak mencari-mencari Elang, jangan sampai tatapan mereka bertemu. Pijar hanya fokus pada ketakutannya pada Elang dan tidak peduli dengan Bagas yang juga menunggunya di depan deretan kasir. Lelaki itu menatap Pijar dengan aneh seolah dia mengerti ada yang terjadi dengan mantan kekasihnya tersebut. “Pijar, biar aku ba
“Kalau aku hamil bagaimana, Lang?” Elang baru saja membuka matanya ketika kepalanya terasa sakit luar biasa. Dia ingat betul semalam dia memang tengah minum-minum di club malam hanya untuk melepaskan segala pikiran tentang Pijar. Sayup-sayup dia mengingat ada Manda di sampingnya. Setelah itu dia lupa apa yang terjadi.Ketika kesadarannya sekarang kembali, Manda segera menodongnya dengan pertanyaan yang membuatnya semakin pusing. Apa yang perempuan itu bilang? Hamil? Tidak masuk akal. “Lang, semalam kita benar-benar melakukannya.” Elang bangun sebelum memijat pelipisnya, berusaha meredam rasa sakitnya. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah di ruangan tersebut. Pakaiannya bercecer di mana-mana. Tanpa peduli dengan ocehan Manda, dia memilih untuk berdiri meninggalkan ranjang, memungut pakaiannya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Elang atas ucapan Manda. Dia seolah-olah tidak mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh perempuan itu. Tak lama s
“Kamu membiarkan dia lahir tanpa pernikahan orang tuanya?” Manda tidak terima. “Dia akan mendapat label anak haram, Lang!” Elang mengedik tak acuh. “Tidak ada anak yang terlahir haram. Perbuatan orang tuanyalah yang haram. Hentikan perdebatan ini dan kita akan melakukan sesuatu yang aku katakan. Kamu terima atau tidak, itu urusan kamu.” Manda salah orang. Elang tidak bisa ditaklukkan begitu saja. Dia harus berupaya lebih keras lagi agar semuanya bisa berjalan sesuai rencana. Manda berpikir apa yang harus dia lakukan agar Elang bisa menuruti dirinya. Untuk sekarang, tidak harus pernikahan yang dia minta, tetapi hal lain yang barangkali bisa membuat dia dan Elang lebih dekat. “Bagaimana kalau aku ngidam ingin sesuatu dan itu malam hari? Lang, perempuan hamil itu tidak mudah. Ada kalanya dia akan mual setiap hari, ada juga bayi yang ingin dekat terus dengan ayahnya, menginginkan sesuatu yang kadang nggak masuk akal. Bagaimana aku bisa melakukan semua itu tanpa suami?” Elang tampak be
Pijar masih mematung di tempatnya berdiri meskipun Manda sudah tidak berada disana. Ada banyak hal yang dipikirkan di dalam kepalanya tentang kehamilan Manda. Ternyata Manda orang yang dicintai oleh Elang selama ini, mungkin karena itulah Elang mengatakan banyak hal kepada Manda tentang masa lalunya.Mencoba tidak terpengaruh, Pijar berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk dalam kepalanya. Jangan lagi memasukkan Elang dalam pikirannya atau hanya akan ada masalah yang muncul. Pulang dari rumah sakit, sebuah telepon dari ayahnya mengejutkan dirinya. Lelaki paruh baya itu bilang, dia akan mengenalkannya dengan seorang lelaki. Putra dari seorang teman lama yang kebetulan dia berada di kota yang sama dengan Pijar. “Datanglah besok di restoran yang sudah Ayah sebutkan tadi. Temui dia. Siapa tahu cocok.” Pikiran Pijar tentang membangun rumah tangga, ternyata juga diinginkan oleh sang ayah. Lelaki itu memang pernah bilang ingin memperkenalkan seseorang lelaki kepada Pijar, tetapi belum t
Elang tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya, Pijar harus menginap di rumah sakit karena sesak yang luar biasa. Rasa takut dan tertekan nyatanya berdampak begitu buruk pada perempuan itu. Elang menatap Pijar yang terbaring di ranjang rumah sakit itu dengan sedikit penyesalan. “Apa pun yang membuat pasien merasa takut dan tertekan, tolong dijauhkan dulu, Pak. Pasien harus tenang dan tidak boleh memikirkan banyak hal.” Itulah yang dikatakan oleh dokter tadi. Elang kini tidak bisa berkutik ketika tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia menuduh Pijar hanya berpura-pura, tetapi nyatanya memang Pijar takut kepadanya. Deringan ponselnya membuat Elang menghentikan lamunannya. Nama Manda terlihat di sana. Dengusan itu keluar dari mulutnya. “Ada apa?” tanyanya ketika sudah menerima panggilan. “Apa kamu tidak tahu bagaimana cara menggunakan aplikasi untuk membeli sesuatu?” Elang terlihat kesal. “Aku akan menelpon restorannya. Tunggulah!” Elang segera mematikan panggilan tersebut sebelum
“Apa kira-kira Elang nggak akan ganggu kamu lagi, Jar?” tanya Leo kepada Pijar ketika di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua. “Aku khawatir dia hanya mengatakan iya sekarang, tapi dia akan kembali nanti dan membuat kamu tertekan.” Jika menurut cerita-cerita Pijar selama ini mengenai Elang, lelaki itu keras kepala dan tidak mengindahkan permintaan orang lain. Mungkin Elang sekarang tampak mengerti apa yang dikatakan oleh Rio, siapa yang tahu kalau itu hanya sebuah kepura-puraan. “Aku nggak tahu, Mas. Semoga saja dia nggak muncul lagi di hadapanku. Aku benar-benar merasa takut. Aku udah mencoba untuk menahan diriku, tapi nyatanya aku nggak bisa sama sekali,” papar Pijar tentang yang dialaminya hari ini. “Kamu bertemu dia di mana?” Rio mulai mengintrogasi. Maka Pijar segera menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bahkan tak lupa dia juga menceritakan tentang Noah. “Mas, apa aku harus mulai membuka hati untuk orang lain?” Pijar menunduk memainkan jari-jarinya. “Aku sebenarnya masih
Elang tidak bisa mengabaikan senyum culas yang dikeluarkan oleh Manda ketika dia duduk sofa single di dalam ruang tamu tersebut. Elang jelas tidak tahu sudah berapa lama perempuan itu ada di rumahnya dan sudah berapa banyak kalimat yang dikeluarkan. Entah perempuan itu mengatakan tentang kehamilannya atau dia hanya bermain-main. “Kamu nggak pernah bilang kalau kamu sudah punya pacar.” Sang ayah memulai. “Kalian juga sedang kerjasama dalam beberapa proyek. Manda datang untuk memperkenalkan diri kepada kami siapa dia.” “Siapa bilang aku sudah punya pacar?” Elang mengernyit ketika menatap sang ayah. “Aku belum berminat untuk menjalin hubungan dengan siapa pun.” Alih-alih tersinggung, Manda justru hanya memasang senyum kecil mendengar ucapan Elang kepada orang tuanya. Dia seakan tidak malu dengan penolakan yang Elang berikan kepadanya. “Manda pacar kamu, ‘kan?” Kini sang ibu yang berbicara. “Manda bilang, hubungan kalian sudah sangat dalam sehingga dia meyakinkan diri untuk datang