Awalnya Daffa mencoba untuk cuek bebek tentang makanan yang seharusnya sudah ada di tangan Dea itu, tapi kenyataannya ia tak bisa secuek yang ia coba. Terbayang-bayang wajah neneknya yang berseri-seri kala membuatnya."Duh, nggak mungkin juga aku balik lagi ke sana. Tambah gencar saja orang nanti bergosip." Daffa bermonolog sendiri.Kini terasa pahitnya menjadi laki-laki yang digemari wanita, dan ia merespons mereka. Jadi timbul gosip di mana-mana bak air hujan yang tumpah-tumpah. Lubang semut saja sampai kebanjiran airnya.'Itulah kenapa aku paling benci berurusan dengan wanita. Cuma semua sudah terlanjur, bukan? Aih nasib, nasib ....'Ujungnya mengeluh pun terasa sia-sia.Daffa mengambil ponsel. Ceritanya mau menghubungi Dea Posa untuk mengatakan soal makanan yang lupa ia berikan. Sudah masuk ke menu chat.Tapi ...."Daffa." Seseorang membuyarkan niatnya. Daffa mendongak mendapati sosok Nadewi sedang berdiri menghadap meja kerjanya.Dia tersenyum manis, tapi sayang sekali kemanisann
Tak pernah Daffa sangka, untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, ia menunggu balasan pesan. Pesan dari siapa lagi jika bukan dari Dea. Berjam-jam sudah Daffa layangkan berpesan-pesan chat, tetapi gadis itu tak kunjung membalas. Sampai hati Daffa bertanya, apakah Dea sedang berusaha menjauhinya sejak gosip tak enak itu merebak macam bau bunga bangkai? Sial sekali memang, Daffa jadi kepikiran terus. Sore ini hujan kembali mau turun. Daffa baru saja pulang. Seperti bisa, dia yang paling akhir kalau soal pulang. Sering lemburnya. Dari kejauhan ia melihat Dea sudah mau naik ke motor Nana. Seketika, entah setan macam apa merasuki, dada Daffa bergemuruh bagaikan angin di tengah badai lautan. Tidak boleh terlewatkan lagi, dia harus datang kepadanya, mengatakan semua penyesalan dan tentang hal-hal yang menyakitinya. Dan tentu ... memberikan makanan yang neneknya buat khusus itu. Mumpung belum basi. Dinyalakannya motor, langsung melesat tancap gas. Beruntung jalanan sedang lenggang. Jika
Tak Dea sangka, Rio akan mengetahuinya karena ia ceroboh salah menyebut nama. Kini Dea dirundung banyak rasa bersalah, lelaki yang mungkin saja tulus padanya ini telah mengetahui faktanya jika ia wanita normal yang mencintai seorang pria, dan pria itu bukan diri Rio, melainkan Daffa. Gugup, takut, semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Dea memilih memalingkan muka dan berkata lagi, "Aku ingin tidur lagi, bisa tinggalkan aku sendiri?" Bukan tega, hanya saja Dea tak siap diberondong lagi oleh pertanyaannya. Tapi ada hal lain yang lebih menakutkan, yaitu tentang bapaknya. Dea sangat takut Rio melaporkan masalah ini kepada Pak Jhon yang galak dan tak ragu mengapungkan pecut ke udara. Meski sesungguhnya tak pernah sekalipun Dea rasakan pecutan itu di mana pun, di bagian tubuhnya. Seumur hidupnya, bahkan saat Pak Jhon ada di puncak kemarahannya. Mata Rio memanas, tangannya mengepal sekuat amarahnya yang kini bergejolak ria, meriak-riak bak debur ombak menghantam karang. Sangat menyak
"Bilang aja, Dea. Kalau kamu nggak bilang, aku bilang ke Bapak." Haih, mainnya main ancam. Dea jadi tak bisa mengatakan apa-apa kalau begini. Sebenarnya tak siap bercerita, tapi karena Kak Anita melindunginya dari Pak Jhon yang pasti bakal ngamuk kalau tahu Dea berkirim pesan dengan Daffa, akhirnya Dea menurunkan egonya dan mulai berkata jujur. "Boleh Dea liat dulu pesannya, Kak?" "Ck, nawar! Pesannya udah aku hapus semua. Juga nomornya. Soalnya bapak mau periksa. Tapi aku foto isi pesannya, dan nomornya kusalin ke HP-ku. Nih." Kak Anita mengembalikan ponsel Dea yang katanya sudah Pak Jhon periksa. Untunglah Kak Anita bertindak tepat, dia berterima kasih tapi hanya dalam hati saja. Tak lama Kak Anita mengeluarkan ponsel miliknya dan membiarkan Dea membaca pesan-pesan Daffa yang bejibun itu. [Bagaimana keadaanmu?] [Semoga lekas membaik.] [Ini pasti karena hujan-PP kemarin itu.] Ada juga beberapa pesan yang telah dia hapus. Entah apa itu, membuat Dea penasaran saja. [Jangan dulu
Alamak, habis sudah tisu angkringan. Gara-gara Dea Posa nangis bombai. Daffa sudah membujuk dengan segala cara agar dirinya berhenti menangis, tetapi hasilnya nihil. Jangankan mampu membuat tangis tu sejenak reda, didengar pun tidak. "Mas, maaf ya." Daffa tersenyum malu ketika pemilik angkringan mengintip di balik gerobaknya, tapi tak lama mas-mas yang itu tersenyum seraya mengangguk. Berpikir jika pasangan yang sedang makan di tempatnya lagi bertengkar. Iya, mas penjualnya mengira jika Dea dan Daffa adalah sepasang kekasih. Mas penjualnya juga berisyarat agar Daffa melanjutkan acara makannya sampai selesai. Tidak memintanya untuk membuat Dea berhenti dari tangisnya. Daffa mengerti, mungkin mas penjualnya sering mengalami hal serupa bila sedang berduaan dengan kaum yang tiba-tiba menangis begini. Daffa akhirnya membiarkan Dea menangis sepuas hati, dan ia pun hanya menunggu Dea mau berhenti sendiri. *** Angin malam melambai-lambai pucuk kepala Dea dan Daffa di sepanjang trotoar me
Sesuai instruksi Dea, pak sopir melajukan kendaraannya dengan cepat hingga cepat pula Dea sampai ke kawasan di mana ia tinggal. Namun, ternyata Rio tak berhenti mengikuti, dia pun turut turun ketika sampai. "Dea, Dea tunggu!" "Apa lagi, sih? Aku males berdebat lagi, soalnya mulut kamu itu lemes!" Ditepisnya tangan Rio yang erat memegang lengan Dea, gadis itu sungguh tak sudi tangan yang sudah berani mengasarinya menyentuh sekena hati. Bagi Dea sudah tak ada lagi hal yang perlu dijadikan bahasan, sebab Rio akan tetap memaksa untuk memenangkan perdebatan. Serasa percuma jika berhadapan dengan lawan bicara yang egois ingin menang sendiri. Dea menatap mata Rio mendalam, menyampaikan perasaannya yang tak lebih menganggap Rio hanya lelaki pilihan Pak Jhon yang sama sekali tak ia jadikan raja dalam hatinya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak akan kabur di hari pernikahan kita nanti. Aku minta maaf soal yang tadi, aku sadar aku salah. A-aku begitu karena cemburu. Aku terlalu ta
Menunggu menjadi hal biasa bagi Dea Posa, apalagi jika itu menyangkut Daffa. Pesannya yang sudah terkirim beberapa itu masih tak kunjung berbalas. Jangankan sampai berbalas, dibaca saja belum. Sejam .... Dua jam .... Tiga jam .... Tanpa Dea sadari waktu sudah lebih larut. Tapi pesannya tak kunjung dibaca. Dalam rasa gundahnya karena ingat terus, Dea mulai dirundung rasa kesal akibat pesannya diabaikan lagi. Ya, Dea menganggap jika Daffa memang sengaja mengabaikan lagi. Ponsel di tangan yang sedari tadi Dea tatap tak henti-henti diletakan juga di atas kasur empuknya. Ia memandang langit, menghela nafas lelahnya seolah sedang mengadukan keresahan hati. "Dia itu sebenernya serius nggak, sih pas bilang mau temenan?" Merasa pesannya kembali diabaikan, Dea Posa mengira jika apa yang Daffa katakan sebelumnya hanya candaan. "Kalau itu benar, aku bakal dendam banget," ujarnya lalu mengguling ke samping kanan. Dea menarik selimutnya, memejam mata tanpa mau berganti dahulu pakaian. Lagi p
Setelah malam itu .... Malam ketika Daffa mengalami kecelakaan maut yang hampir menghilangkan nyawanya. Daffa dirawat di rumah sakit yang tak jauh dari tempat ia mengalami insiden menyialkan itu. Kendaraan roda duanya sudah masuk ke bengkel dan rusak parah. Beruntungnya perusahaan pemuat pasir itu sangat bertanggung jawab, mengakui kesalahannya dan akan menanggung biaya perawatan Daffa serta perbaikan kendaraan roda dua Daffa. Lelaki mandiri itu akhirnya ditumbangkan oleh takdir mengerikan yang tak bisa ia hindari. Setengah sadar matanya terbuka saat malam itu, sebelum pandangan mengabur, hati Daffa berkata siapa sangka dirinya akan mengalami kecelakaan. Sama sekali tak pernah Daffa bayangkan. Kini dia terbaring lemah di ruang rawat inap kelas tiga, seruangan dengan tiga pasien lain dengan penyakit lain. Jadi, total ranjang yang ada di ruangan tersebut tepat empat. Dan semuanya penuh. Sebuah keajaiban Daffa tak mengalami cedera parah apalagi hingga mendapat diagnosis luka dalam. I