Sesuai instruksi Dea, pak sopir melajukan kendaraannya dengan cepat hingga cepat pula Dea sampai ke kawasan di mana ia tinggal. Namun, ternyata Rio tak berhenti mengikuti, dia pun turut turun ketika sampai. "Dea, Dea tunggu!" "Apa lagi, sih? Aku males berdebat lagi, soalnya mulut kamu itu lemes!" Ditepisnya tangan Rio yang erat memegang lengan Dea, gadis itu sungguh tak sudi tangan yang sudah berani mengasarinya menyentuh sekena hati. Bagi Dea sudah tak ada lagi hal yang perlu dijadikan bahasan, sebab Rio akan tetap memaksa untuk memenangkan perdebatan. Serasa percuma jika berhadapan dengan lawan bicara yang egois ingin menang sendiri. Dea menatap mata Rio mendalam, menyampaikan perasaannya yang tak lebih menganggap Rio hanya lelaki pilihan Pak Jhon yang sama sekali tak ia jadikan raja dalam hatinya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak akan kabur di hari pernikahan kita nanti. Aku minta maaf soal yang tadi, aku sadar aku salah. A-aku begitu karena cemburu. Aku terlalu ta
Menunggu menjadi hal biasa bagi Dea Posa, apalagi jika itu menyangkut Daffa. Pesannya yang sudah terkirim beberapa itu masih tak kunjung berbalas. Jangankan sampai berbalas, dibaca saja belum. Sejam .... Dua jam .... Tiga jam .... Tanpa Dea sadari waktu sudah lebih larut. Tapi pesannya tak kunjung dibaca. Dalam rasa gundahnya karena ingat terus, Dea mulai dirundung rasa kesal akibat pesannya diabaikan lagi. Ya, Dea menganggap jika Daffa memang sengaja mengabaikan lagi. Ponsel di tangan yang sedari tadi Dea tatap tak henti-henti diletakan juga di atas kasur empuknya. Ia memandang langit, menghela nafas lelahnya seolah sedang mengadukan keresahan hati. "Dia itu sebenernya serius nggak, sih pas bilang mau temenan?" Merasa pesannya kembali diabaikan, Dea Posa mengira jika apa yang Daffa katakan sebelumnya hanya candaan. "Kalau itu benar, aku bakal dendam banget," ujarnya lalu mengguling ke samping kanan. Dea menarik selimutnya, memejam mata tanpa mau berganti dahulu pakaian. Lagi p
Setelah malam itu .... Malam ketika Daffa mengalami kecelakaan maut yang hampir menghilangkan nyawanya. Daffa dirawat di rumah sakit yang tak jauh dari tempat ia mengalami insiden menyialkan itu. Kendaraan roda duanya sudah masuk ke bengkel dan rusak parah. Beruntungnya perusahaan pemuat pasir itu sangat bertanggung jawab, mengakui kesalahannya dan akan menanggung biaya perawatan Daffa serta perbaikan kendaraan roda dua Daffa. Lelaki mandiri itu akhirnya ditumbangkan oleh takdir mengerikan yang tak bisa ia hindari. Setengah sadar matanya terbuka saat malam itu, sebelum pandangan mengabur, hati Daffa berkata siapa sangka dirinya akan mengalami kecelakaan. Sama sekali tak pernah Daffa bayangkan. Kini dia terbaring lemah di ruang rawat inap kelas tiga, seruangan dengan tiga pasien lain dengan penyakit lain. Jadi, total ranjang yang ada di ruangan tersebut tepat empat. Dan semuanya penuh. Sebuah keajaiban Daffa tak mengalami cedera parah apalagi hingga mendapat diagnosis luka dalam. I
Usai memastikan bahwa Daffa benar-benar tidak koma seperti apa yang Rizki katakan, Dea kontan memeluk Daffa. Perasaan lega menyeruak menyebar ke sela-sela hatinya, setelah kecemasan membombandir tak henti-henti. Bahkan di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tersebut, Dea merasa sesak kesulitan bernafas, membayangkan lelaki yang sangat Dea cintai terbaring koma. Dia naik gojek untuk meminimalisir keterlambatan yang sia-sia, meski sebenarnya jalan kaki dari lapang belakang kecamatan bisa diakses dengan gerak jalan biasa, atau lari. Hanya saja Dea tak bisa, merasa akan banyak waktu terbuang sia-sia. Saat mengetahui untuk kali pertamanya kabar tak mengenakan hati itu, Dea berpikir untuk cepat-cepat pergi ke sana dengan sangat cepat. "De-Dea, kamu kirim chat?" Masih dalam dekapan Dea Posa, bisa-bisanya Daffa sekaligus meruntuhkan rasa sedih Dea dengan menanyakan hal tersebut. Sontak Dea menarik diri, dan itu sedikit membuat Daffa kesakitan. Akan tetapi, di hadapan Dea, Daffa berp
Sejak saat itu ... Dea tak pernah jauh dari Daffa. Sehari-harinya setelah mengunjungi dia, Dea selalu meluangkan waktunya untuk terus menemui Daffa. Tak peduli gosip sudah merebak ke mana-mana tentangnya dan Daffa, Dea tetap datang. Tapi, semakin sering Dea melakukannya, semakin rindang pohon cinta dalam hati Daffa, semakin sakit pula rasanya. Sebab lelaki itu tak bisa mengungkapkan perasaannya. Pagi ini Dea membantu Daffa berkemas untuk pulang ke rumah kontrakannya. Setelah berhari-hari melewati masa perawatan di rumah sakit, akhirnya Daffa bisa juga pulang. Namun ada yang beda dari diri Dea, entah mengapa hari ini di matanya dia terlihat murung. "Kamu baik-baik aja, Dea? Ada masalah di lapangan? Atau jangan-jangan kamu ada ribut lagi sama Nadewi?" tebak Daffa, menghentikan tangan Dea yang sibuk merapikan ranjang pasien. Sesaat sebelum benar-benar pergi, Dea ingin membantu Daffa merapikan ranjangnya dahulu. Meski sebenarnya hal itu tak perlu, sebab akan ada orang lain yang melakuk
Hujan tak turun hari ini, hari yang sangat sempurna untuk sepasang sejoli yang jatuh cinta menghabiskan waktunya di luaran sana.Pagi diawali dengan terdengarnya suara semangat para muda mudi yang akan melaksanakan upacara bendera, peringatan hari kemerdekaan yang dilaksanakan setiap tahunnya.Kembang-kembang sorak sudah mengemuka di bawah langit. Pasukan Paskibraka sudah bersiap, menyiapkan mental untuk menunjukkan hasil latihannya selama ini.Jam berdenting seirama. Telah menunjukkan pukul tujuh. Sudah terlalu siang untuk orang yang antusias menanti panjangnya hari spesial ini.Layaknya Daffa yang menanti waktu pertemuan dengan Dea Posa yang kemarin mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama sehari penuh.Ah, mungkin tak sampai penuh. Malam muda sudah akan Daffa pastikan Dea harus kembali ke rumahnya.Namun, waktu singkat itu tak akan membuat Daffa bersedih. Dia berpikir, mungkin dengan waktu yang cukup singkat itu akan membuat hati Dea kembali luluh olehnya. Daffa ingin gadis itu
Jam berdenting membawa waktu. Saat jarum utamanya menunjukkan pukul setengah dua belas malam tiba, di saat lorong rumah sakit mulai sepi orang, hanya beberapa gelintir manusia saja yang hilir mudik, tapi tak sepadat ketika siang datang.Namun, di ujung lorong rumah sakit di lantai bawah, seseorang lari tergesa-gesa bak kesetanan arwah pelari maraton yang sedang balas dendam gara-gara mati penasaran sebelum menyentuh pita kemenangan.Dia Rio, calon suami Dea yang baru saja mendengar kabar tentang Dea yang dioperasi beberapa saat lalu setelah berhasil dihubungi Pak Jhon atas permintaan khusus Dea.Lelaki itu mengeluarkan segenap tenaga hanya untuk bisa segera menemui calon istrinya yang entah bagaimana sekarang kondisinya. Yang namanya orang habis dibedah, pasti kondisinya lemah, bukan? Dan entah mengapa Rio malah berpikir gila, takut sekali Dea sekarat atau lebih parah dari sebelumnya.Menemukan lift, Rio dengan mata memerah karena kurang istirahatnya segera menuju ke sana. Sampailah d
Dea tertidur sangat pulas, hingga ia tak mengetahui tentang adanya percakapan serius antara Kak Anita dan Rio tadi malam. Dan percakapan itu berakhir pada keputusan yang sudah rampung di ujung tanduk, bahwa Rio memilih untuk melepas angan-angan bisa memiliki.Sebab dengan memaksa, selain akan menyakiti perasaan Dea serta kemungkinan besar akan mengakibatkan Dea sengsara."Kalau begitu, sebaiknya saya mundur saja, Kak. Saya tidak mau membuatnya menderita." Sesungguhnya hati sakit bagai diperas tak kira-kira, tetapi Rio menahannya ketika telah memutuskan berhenti mengejar Dea.Kak Anita malam tadi sungguh-sungguh menanyakan dengan pasti, apakah keputusan Rio sudah benar atau tidak? Sebab dia tak mau membuat Rio menyesali keputusannya di masa depan juga.Lihatlah bagaimana dilemanya Kak Anita, saat ini yang ia pikirkan tak hanya perasaan Dea saja, tetapi perasaan Rio juga. Dia tak bisa memungkiri betapa ikut terlukanya hati saat melihat lelaki baik di depan matanya menangis tanpa suara.