Sudah jam dua siang, tapi Pak Jhon tak kunjung datang ke rumah sakit. Ada pun yang datang hanya kedua kakaknya. Jika boleh ditanya jujur, sebenarnya Dea merasa sedih atas sikap Pak Jhon yang menjadi acuh, tapi setelah Dea pikir-pikir kembali, ya sudahlah.Mungkin Pak Jhon sedang butuh waktu untuk beristirahat saja, pikirnya."Kamu beneran enggak apa-apa, Dea?" Kak Dina khawatir, sebab Dea banyak melamunnya ketimbang rewelnya. Apa tidak sakit perutnya? Kata kebanyakan orang, bekas operasi itu sangat sakit. Tapi melihat Dea biasa saja, Kak Dina jadi tak begitu memercayai apa yang orang katakan."Aku nggak apa-apa," jawab Dea seketika tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum, wajahnya tampak cerah sekali seperti matahari yang baru terbit."Aku takut kamu gila," timpal Kak Maya.Dea malah menyemburkan tawa. "Enggaklah, ya ampun sampai segitunya.""Iya, nggak percaya kalau Dea bakal gila karena ditinggalin cowok yang nggak di cinta. Ada-ada aja kamu, May." Kak Dina membela. Dia tahu betul b
Yang terjadi sebelum-sebelumnya ...."Hwaaaa! Kak Mayaa! HP aku jatuh ke dalam kloset, hwaaa!" teriak Dea saat dia berada di toilet ruang rawatnya.Ya, saat itu terjadi kecelakaan tak terelakkan pada ponsel Dea hingga ponsel itu tak selamat."Hwaaa gimana, dong? Aku jadi nggak bisa ngabarin Mas Daffa!" rengek Dea kepada sahabatnya Nana.Nana hanya mendengus. Bisa-bisanya, di saat Dea sedang masa pemulihan masih bisa memikirkan Daffa. Sifat kejam Nana Banana muncul di saat begini. Dia tak akan pernah izinkan Dea mencari atau berusaha menghubunginya dulu.Terserah bila Daffa mencari. Itu bagus, artinya ada sedikit pembuktian bahwa dia peduli. Nana benar-benar membuat Dea kangen setengah mati kepada Daffa.Nana juga membuat Dea cepat sembuh dengan janjinya. Yang katanya bilang ia tak akan lagi menghalangi Dea bertemu Daffa, asal manut setidaknya sampai masa pemulihannya selesai.Dan Dea melakukannya. Selama berbulan-bulan dia lewati, hingga bekas bedahan di perut telah merapat kembali. M
Sumpah Dea telah terjadi. Cinta bertepuk sebelah tangan itu akhirnya tak dapat lagi berdiri pongah dan tegak. Hati sebeku es Himalaya itu mencair juga. Daffa yang sangat tak menyukai, bahkan mungkin bisa dikatakan membenci Dea ini pun terluluhkan. Hingga dia yang merasa hari-harinya hambar tanpa Dea, tak malu atau ragu lagi mengungkapkan isi hatinya."Mas Daffa, malah bengong. Nih, dokumennya weyy!""Astagfirullah Herman!"Daffa yang tengah asyik melamun pun hampir saja terjungkal kaget gara-gara tak menyadari adanya Herman di depan meja kerjanya. Hm, salahnya juga, sih kenapa juga melamunkan ayang di jam kerja."Betul, nyebut Mas. Soalnya orang ngelamun itu mudah digandrungi kawanan setan," ujar Herman sambil membuka dokumen di tangannya. "Nah, sekarang Mas Daffa diminta buat periksa data ini sama pak camat. Jangan sampai yang dilamunkan muncul di dalamnya, ya."Daffa tersenyum kecut. Dasar Herman, pikirnya dia pasti tahu apa yang sedang Daffa lamunkan. Dia menerima dokumen itu tanpa
Cinta yang dikejar telah tertaklukkan, tapi masalah lain kini berkecamuk datang ke dalam pikiran.Pak Jhon dan misi seleksi calon mantunya yang penuh ambisi itu.Hingga kini Dea kepikiran tentang hal tersebut.Sore, ketika Dea duduk di kursi kafe bersama Nana sambil menunggu ayang pulang dari jam kerja, ia mengeluhkan tentang satu hal yang beberapa hari terakhir ini menghantui. Pertanyaan Daffa terkait orang tua Dea Posa."Menurut kamu aku harus gimana, Na? Jujur dari sekarang atau jangan, nih ke dia?" Dea masih galau untuk mengungkap jati dirinya yang hingga kini setelah sebulan lamanya menjalin hubungan dengan Daffa. Sebab ia masih juga merahasiakan siapa dirinya."Emm ... bentar. Menurut penerawangan Mak Erot, kamu sekarang lagi menghadapi yang namanya penyihir bawa buah simalakama. Dan sialnya buah itu udah kamu genggam. Maka kesimpulan dari masalah yang kamu rasa adalah, nggak ngomong bakal jadi masalah, ngomong juga bakal jadi masalah. Jadi, ya udah jujur aja saranku, Dea. Astag
Dea dan Daffa jalan sama-sama. Dan apa yang membuat Dea resah adalah Daffa benar-benar diam tak berkata. Meski tangannya erat menggenggam di sepanjang perjalanan mereka, tapi tetap saja gundah itu menerpa seluruh hati Dea, karena Daffa tak terbiasa diam beribu bahasa.'Apa ini? Apa yang terjadi? Kenapa Mas Daffa diam aja? Wajahnya juga cemberut bukan main. Dari tadi jalan udah lumayan jauh, tapi belum ada keputusan mau berhenti di mana.' Dea tambah resah.Langkah Dea berhenti ketika dia sudah lelah menunggu Daffa bicara. Daffa berhenti melangkah juga. Dirinya menatap Dea dengan tatapan yang entah apa artinya, Dea tak mampu membacanya."Kenapa berhenti?" tanya Daffa dingin. "Capek?"'Capek?'Dea mengernyit. Bisa-bisanya Daffa bertanya demikian. Jelas Dea merasa lelah, dari tadi dibawa jalan lurus tanpa tujuan. Tambah capek lagi dengan sikap Daffa yang mendadak sedingin es. Apa dia sudah kembali ke versi lamanya? Yang songong bin jutek itu?Ah ... Dea sama sekali tak bisa bayangkan itu.
Petrikor menguar menusuk hidung, ikut mewarnai sore yang perlahan mendung. Dua manusia itu masih saling diam walau anak hujan mulai turun. Orang-orang di sekelilingnya berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Entahkah itu di bibir kafe, atau di dalamnya, atau bahkan ada juga yang berjejer di bawah terpal pedagang kaki lima yang mangkal.Llihatlah bagaimana dua manusia itu saling kunci pandang, dengan butir-butir putih mendarat di pucuk rambut. Sehingga jika dilihat hanya selintas, akan terlihat seperti telur kutu rambut."Aku tahu dari anak minimarket, tapi bukan Nana." Mengaku juga Daffa, kali ini tanpa harus membuat hati Dea bergetar. "Bukan yang cewek juga." Daffa menambahkan. Dari sorot matanya, Daffa benar-benar seperti kecewa berat.Dea masih diburu rasa kaget, ia hanya diam macam boneka salju yang beku. Menatap mata Daffa yang berkaca-kaca."Alasan kamu hilang berbulan-bulan itu ... apa karena itu? Tiba-tiba kamu membatalkan janji hari itu, dengan alasan ada kepentingan mende
"Heh, dasar ba*ingan!" umpat Nana tak lama setelah berjega di hadapan Daffa yang hanya menatapnya dalam kebisuan.Tapi Daffa mengerti mengapa Nana mengamuk dan menyebutnya dengan kalimat tak pantas begitu. Pikirnya, pasti Dea sudah curhat masalah semalam. Setahunya, kan Nana sahabat Dea.Daffa menghela napasnya dalam-dalam. Membuang tatap ke lain arah, sebab malas saja rasanya. Pasti pembahasannya tak jauh-jauh dari betapa berengseknya Daffa karena sudah melukai hati Dea."Pergilah, Nana. Saya tak mau berurusan dengan kamu," usir Daffa tak gentar. Dia bangkit dari kursi yang sedang diduduki, lalu beranjak sambil membawa tabung gas menuju motornya.Namun, tangan Nana sigap menghalangi. Wajah Nana mengeras, meski ia tak bisa mengatakan apa pun. Tangan Nana mengepal kuat, lalu hanya dalam hitungan detik saja satu pukulan darinya mendarat begitu keras di perut berotot Daffa, hingga tabung gas yang diangkat sebelah tangan Daffa itu lepas. Beruntung tak sampai jatuh menimpa kaki, jika iya b
Dea ketika mendapat pesan-pesan dari pacar yang hilang sejak semalam. Dahinya mengernyit, bibir cemberut, monyong hampir lima senti. Saat itu Dea sedang melakukan cek kesehatan di rumah sakit, makanya ia tak bisa menerima telepon karena antrean dan tanggung, setelah ini bagiannya masuk.Dea yakin jika diterima panggilannya, percakapan akan sangat panjang sekali meluber ke mana-mana. Tapi didiamkan juga cukup mengganggu, sebab pesan demi pesan masuk ke ponselnya runut.Membuat kekesalan Dea memuncak. Akhirnya Dea membalas pesan Daffa dengan kalimat singkat, padat, dan bisa dikata jelas.[Jangan ganggu, lagi di rumah sakit.]Begitu isinya. Dea tak lagi menyembunyikan soal kesehatannya, karena dia yakin Nana pasti sudah mengatakannya hari ini, terbukti dari pesan Daffa yang mengatakan dia telah mengetahui apa yang terjadi. Memangnya siapa lagi yang akan bisa membeberkan semua jika bukan Nana Banana?Pesan yang membuat jantung Daffa serasa mau jatuh dari balik rusuknya. Mengira jika Dea a