Sesaat sebelum rahasia itu terbongkar ...."Dea, tunggu!" Pak Jhon masih tidak menyerah untuk mengejar anaknya, sampai tak menyadari Pak Jhon sudah dekat ke jalan raya utama. "Aduh, anak itu benar-benar pejalan kaki yang cepat. Apa dia tidak kehabisan nafas berjalan secepat ini?"Pak Jhon celingukan, akhirnya ia menyadari ada yang salah di situ. Ah, pantas kakinya terasa sakit, serta keringat pun sudah deras-derasnya macam gerimis yang datang membasahi tanpa diundang."Sudah jauh-jauh sampai di sini, bagaimana mungkin aku kembali dengan tangan kosong?" Sudah terlanjur capek, Pak Jhon akhirnya memilih untuk pergi ke mart sendiri.Namun, setelah berjalan menuju tujuan, Pak Jhon melihat Dea sedang berlari. "Nah, itu dia si Dea! De—"Ketika baru saja mau memanggilnya, suara Pak Jhon langsung hilang ketika dia melihat Dea memeluk seorang laki-laki. Pak Jhon tremor di tempatnya, sebelum kemurkaan menguasai.Setelah bisa mengendalikan diri, barulah Pak Jhon berjalan mendekat, dan hal itu ben
BLAAAAM!Pintu rumah ditutup begitu keras, sehingga ketiga kakak Dea yang sudah berkumpul di ruang tengah, membantu Kak Maya menatap ke arah Pak Jhon dan Dea.Mereka tentunya penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi hanya mampu diam. Karena bagi mereka, Pak Jhon yang sedang marah bagaikan singa yang sedang lapar, bila di antara mereka mengganggu, bisa-bisa mereka akan ikut menjadi mangsa juga."Duduk! Duduk!" Pak Jhon menunjuk sofa. Tapi Dea malah tak mau, dia berjalan cepat dan masuk ke kamar. Baru saja mau mengunci pintu, Pak Jhon dengan kasar menendang hingga keluar suara keras hasil dari bantingan pintu tersebut.Dea pun terjatuh karenanya.Lalu apa Pak Jhon merasa bersalah? Tidak sama sekali, ia benar-benar kalap seperti sedang dikuasai setan.Kak Maya, Kak Anita, dan Kak Dina berdiri. Melihat."Pantas kamu akhir-akhir ini jadi pembangkang, ternyata kamu punya pacar di luaran sana! Gila kamu, ya! Nggak ngomong sama bapak!" teriak Pak Jhon. Dan karena teriakan itu, semua orang akhi
Daffa menatap diri di pantulan cerminnya. Sambil memegangi HP. Tertegun untuk waktu yang cukup lama. Mendadak darah seperti bergolak dalam tubuhnya, Daffa gemetar."Jadi ... selama ini aku berpacaran dengan anak orang kaya?" Daffa menelan ludah ketika mengetahui Dea anak siapa.Pak Jhon, pemilik perusahaan properti terbesar di Indonesia, bahkan bisnisnya tak hanya satu, tapi banyak dan tak hanya di Indonesia saja, di manca negara pun ada.Hampir saja ponsel pintar itu jatuh ke lantai. Namun, Daffa buru-buru menangkapnya dengan susah payah, sebelum akhirnya duduk pasrah di atas ranjang."Kalau begini, dengan apa aku harus memperjuangkan? Kami tak sepadan. Aku hanya anak petani yang sangat jauh bila dibandingkan dengannya. Ya Allah, beri hamba petunjuk."Hilir mudik wajah Dea menari dalam rongga pikirnya. Entahlah, Daffa sangat tidak bisa konsentrasi apalagi setelah kejadian malam ini.Pantas kalau bapaknya galak. Orang kaya sudah pasti akan mengutamakan soal bibit bebet dan bobot. Seda
Dea mual setiap kali melihat wajah Pak Jhon. Apalagi saat di mobil duduk bersebelahan. Ketiga kakaknya sengaja membuat Pak Jhon dan Dea duduk bersama. Niatnya, sih memang bagus agar keduanya bisa saling meredam kemarahan masing-masing, atau setidaknya bisa saling meluruskan permasalahan yang sedang terjadi."Bisa geser dikit tidak, sih?!""Ck! Sempit!"Tapi lihat saja, boro-boro bisa saling meluruskan, yang ada dari sejak pergi hingga setengah perjalanan terjadi, keduanya ribut terus seperti kucing dan tikus.Tiga kakak Dea yang duduk di paling belakang saling pandang satu sama lain. Sebenarnya Kak Dina dan Kak Maya ikut tak setuju atas hubungan rahasia Dea dengan laki-laki bernama Daffa itu, apalagi setelah tahu kalau sidianya Dea bukan orang kaya, bahkan kerjanya di kecamatan.Tak selevel!Begitu kata Kak Dina. Malah ia menambahkan, bila Dea sampai nekat menikah dengan Daffa, pasti setiap hari alergi karena dia begitu miskin.Astagfirullah ... Kak Anita yang paling eling di antara m
Langit masih terlihat cerah di sana. Tapi tanpa siapa pun sadari, ada segunduk awan hitam mengarak dari selatan. Pertanda apakah itu? Pastinya bukan pertanda dewi cinta akan turun."Namanya Daffa." Dea memulai. Sedang Pak Jhon memerhatikan dari jarak dekat, mendengarkan dengan saksama.'Daffa ... sudah kutandai nama dan orangnya.'"Pekerjaannya karyawan di kecamatan. Dea nggak tahu bagian apa-apanya, atau berapa gajinya, tapi setiap ketemu, kalau makan dia yang bayarin." Sedikit sombong, soalnya yang dulu-dulu kebanyakan Dea yang bayarin."Ga usah senyam senyum! Cuma dijajanin bakmi lima belas ribu sampai mau dibegoin!" dengus Pak Jhon. Ish ish ... Dea jadi bete."Dia baik, kok. Nggak pernah anggap Dea bego kayak bapak!"Almak skakmat! Pak Jhon seketika sesak nafas. Ia langsung mengambil air di meja, lalu meneguknya. Kamvret si Dea. Pikir Pak Jhon. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu terang-terangan di depannya. Berani sekali anak itu."Lanjut! Jangan belok ke mana-mana. Bikin bapakmu
Pak Jhon bersiap mau menikmati pemandangan di mana mentari benar-benar mau tenggelam. Ia baru selesai salat magrib dan mau bersantai. Tapi rencana gagal total gara-gara mendengar keributan di depan."Ada apaan, sih? Mereka ribut lagi? Kayak anak kecil aja!" Pak Jhon susah payah bangkit dari duduknya. Bertemu dengan Anita, ia bertanya. Tapi jawaban Anita sama saja membuat tak puas, sebab wanita itu pun tak tahu apa yang sedang diributkan."Dari suaranya, sih Kak Dina sama Maya." Kak Anita berjalan di belakang Pak Jhon. Berpikir sama, mungkin mereka meributkan sesuatu.Bukan hal aneh bila empat bersaudara itu ribut. Pak Jhon selalu menjadi penengah di antara mereka kalau sedang kumat. Makanya, mendengar ada suara keras itu, Pak Jhon dan Kak Anita berpikir bahwa mereka sedang bertengkar.Namun, setelah sampai ke depan. Pak Jhon menautkan kedua alisnya, terkejut melihat sosok lelaki yang tak lain adalah Daffa."Kamu!" Pak Jhon menunjuk wajah Daffa.Kedatangan pria tambun berwajah garang i
Malam mulai menyapa, tetapi keenam orang itu masih di sana, setia meski angin melambai-lambai membelai wajah secara kasar, menyelusupkan dinginnya ke badan hingga ke tulang.Daffa berdiri di tengah keheningan. Menatap cinta yang dianggap sejatinya dengan tatapan iba. Selain mengibai karena dipaksa memilih oleh bapaknya sendiri, ia juga iba karena sesuatu hal yang tak bisa ia jelaskan di hati atau pikiran."Katakan Dea! Kamu pilih siapa?! Bapak atau laki-laki yang baru kamu kenal seumur jagung itu?! Katakan!" paksa Pak Jhon. Pria setengah baya itu mulai terisak.Isak yang bukan sembarang isakan. Pak Jhon merasa sakit, teringat pesan mendiang istrinya. Pak Jhon merasa gagal menjadi bapak yang baik, yang bisa menjaga putri bungsunya. Bagi Pak Jhon, Dea sudah tak terselamatkan lagi. Maka ia menyerahkan keputusan kepada Dea saat ini.Alasan tangisnya menguap adalah, Pak Jhon takut Dea memilih Daffa.Tapi anehnya, walau ketakutan itu datang menghantuinya, Pak Jhon tetap tak ingin menarik ka
Daffa pikir mendatangi orang tua Dea sore menjelang malam itu adalah keputusan yang paling tepat. Tapi mana tahu kalau bapak Dea memiliki penyakit jantung yang pada akhirnya membuat orang tua Dea harus dibawa ke rumah sakit.CRAAASH!Air keran mengalir deras sederas kecemasan yang menggunung di hati Daffa. Dia sudah sampai ke hotel penginapan yang disediakan Pak Camat, sedang cuci muka.Beberapa kali menampar diri dengan dinginnya air, tetap saja rasa bersalah itu bersarang di matanya. Ketika ia menatap diri, bayang-bayang detik Pak Jhon jatuh pingsan menghantui tak henti-henti.Keran dimatikannya, lalu tubuh tinggi tegap itu merosot lunglai. Daffa terduduk di lantai toilet hotel dengan tangan meremas rambutnya frustrasi."Ya Allah, tolong selamatkan bapak Dea ...."Malam yang seharusnya menjadi malam kemenangan itu, ubah menjadi malam tragis yang mungkin akan menjadi kenangan paling buruk di sepanjang hidupnya.Bukan membuat Pak Jhon mengalah dan merestuinya, justru keberanian Daffa