Jadi, ini yang dirasakan Lavi. Kau bangun di suatu pagi, melakukan semua kegiatan yang sudah semestinya kau lakukan—sarapan dengan daging giling seolah Dhiena lupa semalam semua penghuni baru pesta bakar kalori terbesar sepanjang masa, tetapi kami tetap senang menyantapnya. Hanya Dalton yang protes, “Perutku mual melihat daging lagi, tapi rasanya enak, jadi tak masalah.” Lalu setelah melalui ritual pagi demi menjaga kebugaran tubuh—lari keliling ladang belakang ditambah sedikit peregangan dengan pedang dan panah—tiba-tiba segalanya terasa kosong. Aku tahu apa yang harus kulakukan setelah ini, barangkali menghampiri Jesse atau Profesor Merla untuk membahas sedikit titik yang harus didatangi, tetapi benakku seperti tak ingin pergi. Rasanya benar-benar kosong.Kalau memang ini yang dimaksud Lavi, aku mengalaminya berkali-kali.Siang itu, aku tetap di dalam Joglo, melihat medali-medali misi yang sudah kudapatkan. Sebanyak apa pun medali ini te
Cukup banyak penghuni yang berkeliaran di padang rumput, terutama saat kami melintas di jam ramai. Kupikirkan kami tak akan terlalu menarik perhatian—sampai kusadari kalau banyak kandidat baru yang mengagumi Mika. Cukup jelas dari cara mereka memandang Mika. Aku cukup kenal dengan cara memandang itu, terutama karena banyak yang memandang Lavi dengan cara sama bahkan saat aku berada di sampingnya. Kuingat lagi, jarang sekali ada penghuni cowok yang dapat perlakuan seperti itu. Kebanyakan para cewek penghuni lama.“Sejak kapan kau dikenali kandidat baru?” tanyaku.“Sejak mereka berkenalan di tim tungku.” Kami sudah mulai naik tangga ke pondok utama. “Cara mereka menatapku lucu sekali.”“Aku jadi tidak nyaman.”“Harusnya itu kata-kataku.”Kami berhasil naik setengah jalan ke pondok utama dengan obrolan ringan yang tenang, sebelum akhirnya seseorang muncul dari arah Pendopo—seolah-
Aku sedang berjalan beberapa langkah di tanah alam liar yang penuh batang besar melintang ketika menyadari suara pertempuran terdengar di balik pepohonan.Suaranya begitu sengit, tiba-tiba saja kakiku bergerak otomatis ke sumber suara. Dahan-dahan pendek menghalangi jalan, tetapi aku semakin mempercepat langkah, menghalau semua yang menghalangi, dan kakiku semakin bergerak cepat melewati batang melintang super besar yang bertebaran di tiap pijakan. Benakku mendadak berdebar-debar, rasanya ada beban langit dipindahkan ke benakku—dan kepalaku kacau, apa yang kulihat semestinya alam liar, tetapi yang kurasakan hanya kegelapan. Ada kehampaan besar di depan sana.Aku menyambar semak besar, melewati barisan pepohonan sempit, dan di sanalah aku melihat sumber kekacauan.Pertempuran.Kabut—atau debu, tetapi aku tidak yakin di hutan bisa ada debu mengepul sebanyak itu, jadi tampaknya itu butiran tanah yang terangkat karena momentum—bertebaran di
Aku terbangun sembari merasakan jemari-jemari kecil meremas jemariku—dan tanpa sadar tampaknya aku juga balas meremasnya sangat kuat.Mataku terbuka, merasakan sensasi perih yang begitu menyengat di mataku ketika menemukan lampu menyala di langit-langit. Aku tidak ingat pernah tertidur tanpa mematikan lampu—sampai kusadari kalau bentuk langit-langit ruangan yang ini agak berbeda dengan langit-langit kamarku. Kemudian aku merasakan jemari kecil, membawa pandanganku yang perih dan berat ke pemilik tangan itu—lengan yang kecil dan pendek, pundak yang sangat kecil, bentuk wajah yang gemas.Fal.Fal menatapku dengan sorot campur aduk—kurasakan simpati, sedih, takut, cemas, dan semua hal yang membuatnya sedikit cemberut seperti ekspresinya saat menahan tangis. Dengan impulsif, aku mengambil napas—kurasakan benakku agak mengganjal seperti sesuatu mengganggu jalur pernapasanku. Dan tiba-tiba aku juga menarik ingus seperti habis menangis. Hi
Sisa malam habis tanpa ada masalah. Aku tertidur lagi bersama Fal sampai matahari terbit. Fal masih tertidur di sampingku dan mengingat semua yang sudah dia lakukan saat aku bermimpi, aku tidak ingin mengganggunya. Sebenarnya aku ingin menghabiskan pagi di batu nisan Ibu, tetapi memikirkan Fal—aku tahu kalau lebih baik menghabiskan waktu dengannya yang terlelap dibanding di batu nisan yang tidak bisa menyadari keberadaanku lagi. Reila benar. Aku terus memikirkan itu sepanjang malam—Ibu sudah tiada. Mau bagaimana pun juga, Ibu sudah tiada. Barangkali ketika aku selalu terdiam di batu nisannya seolah Ibu bisa mengerti apa yang kurasakan, itu juga bukti bahwa aku tidak bisa menerima kepergiannya.Orang yang diizinkan terus hidup tidak boleh mengerti apa yang terjadi pada keberadaan yang telah tiada—gagasan itu hanya berarti satu: pada dasarnya, orang yang ditinggalkan harus tetap melanjutkan perjalanannya. Aku harus melanjutkan perjalananku. Aku boleh bersedih.
Keberangkatan kali ini beda. Ada yang mengantar kami: Lavi.Fal sudah melepas keberangkatan kami di gerha. Dia tidak terlalu melihat keberangkatan kami dengan penuh cemas, dia bahkan secara sadar berkata, “Kalian pasti pulang, jadi sampai bertemu besok.” Lalu meringis tertawa. Jadi, kali ini yang mengantar sampai bukit perbatasan hanya Lavi.“Yah, mungkin tidak ada apa-apa di sana,” katanya, pada kami.“Dua titik,” Reila mengingatkan.“Sebelum ini aku pergi ke dua titik dan tidak ada apa-apa.”“Kami,” koreksiku.“Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu, jangan merajuk begitu.”Sama seperti saat keberangkatanku dengan Lavi, Mister tidak banyak bicara untuk menjelaskan prosedur. Dia hanya mengobrol normal dengan Profesor Merla membicarakan regu Jenderal yang sudah berangkat lebih dulu. Keberangkatan kali ini membawa tiga regu. Regu pertama berisi Nadir dan Jenderal. Reg
Trek awal kami bagiku begitu bersahabat untuk ukuran alam liar.Hanya ada medan yang tertutup semak-semak dan dikelilingi pohon normal. Setidaknya pohon dengan akar, batang, dan dahan-dahan berukuran normal. Tidak ada tanah miring. Rata. Namun, beberapa ratus meter ke depan akan sedikit turun, tetapi tidak ada ancaman berarti. Itu cukup menenangkan.Namun, Reila berkata, “Kemarin kita ketemu ular di tempat begini, bukan hal mustahil kalau sekarang—” Lalu kubilang, “Aku bisa merasakan keberadaan ular, jadi tidak perlu cemas. Tidak ada apa-apa di kumpulan semak sampai beberapa ratus meter ke depan. Mau aku saja yang di depan?”Gagasan itu juga baru untuk Profesor Merla, jadi dia mempersilahkanku di barisan depan, membuka jalur ke arah titik patroli. Satu-satunya yang bisa membuat jengkel di trek ini hanya semak-semak yang membuat gatal-gatal. Selebihnya tidak ada, jadi Profesor Merla bisa memulai obrolan kelewat ringan dengan berkata,
Posisi kami lebih landai dari pola medan alam liar yang biasa kutemui.Barangkali itulah mengapa saat ini kami bisa bertemu puing-puing. Ada satu konsep bagi Padang Anushka bahwa puing-puing selalu dekat dengan keberadaan musuh—aku sebenarnya tak terlalu percaya dengan gagasan itu, tetapi dengan cara paling kebetulan yang bisa terjadi, aku tiba-tiba merasakan keberadaan manusia.Aku melaporkan itu ke Profesor Merla.Perintahnya langsung muncul dengan jelas: berhenti, amati dari jauh. Hanya itu. Bukan perintah sederhana yang terkesan langsung menyerang seperti hilangkan diri kami dengan kabut atau sergap tanpa ragu. Kami berhenti agak jauh dari puing-puing, tetapi puing-puing terlihat di balik pepohonan. Aku berjongkok, merasakan langkah kaki—Profesor Merla dan Reila jongkok di dekatku.“Menjauh,” kataku. “Semakin jauh.”“Berapa orang?”“Satu.”“Mencurigakan. Mustahil mu