Share

Sepaket Luka & Penawarnya
Sepaket Luka & Penawarnya
Penulis: Ana j

Bab 1. Setelah Tujuh Tahun Berlalu

Ternyata dunia sesempit ini, ya?

~Binar Rembulan.

Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. 

"Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?

Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan.

"Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon.

Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.

Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.

Binar menghembuskan napas lega tatkala melihat sang leader mematikan teleponnya, tapi hanya sebentar—karena setelah itu ia merasakan jika pasokan udara di sekelilingnya menipis, seiring dengan mata hazel yang menyorotnya dalam.

Mengapa takdir mempertemukan mereka kembali setelah tujuh tahun berlalu? Binar menelan ludah susah payah, tenggorokannya terasa pahit ... ia ingin menghilang detik ini juga!

“Apa kamu akan terus berdiri di depan pintu?” tanya lelaki itu dengan suara baritonenya yang khas.

Pertanyaan itu membuyarkan Binar dari lamunannya, ia berdeham gugup seraya melangkah dengan berat hati.

“Silakan duduk,” titah sosok rupawan itu.

“Terima kasih, Pak.” Binar berucap lirih, mencoba menekan rasa tak nyaman pada dirinya.

“Binar Rembulan, apa kau tahu kesalahanmu?” tanyanya to the point. Lelaki itu duduk dengan aura dominan, menatap tepat pada wajah manis di hadapannya.

Binar menunduk, meremas roknya gugup. “Tahu, Pak. Saya ke sini ingin merevisinya.”

“Bagaimana jika laporan itu sudah saya kirim ke SPV? Kamu tentu tahu apa yang terjadi, bukan hanya dirimu saja kena dampaknya, tapi divisi operasional juga terkena getahnya,” ungkap sang atasan, membuat Binar semakin takut.

“Sa–saya … saya tahu jika Pak Asta sangat teliti. Tidak mungkin mengirim report ke SPV tanpa mengeceknya terlebih dahulu,” balas Binar mencoba berani. Menatap tepat pada sorot hazel memukau itu. 

Asta Mahardikha, sosok rupawan yang mampu mencuri perhatian kaum hawa tatkala berpapasan dengannya. Lelaki itu tersenyum miring, menatap Binar penuh arti. “Sepertinya kamu mengenal saya begitu baik, padahal kita hanya orang asing.”

Binar tergugu, ia seperti dejavu. Kalimat itu yang ia lontarkan dulu pada Asta ketika memutus hubungan dengan lelaki ini.

“Lupakan, mari kita bahas kembali mengenai laporan yang salah kamu input.” Suasana di sekitar mereka terasa canggung. “Saya minta report incoming pada tanggal 26 serta laporan outgoing di tanggal 31. Namun, setelah saya cek mengapa isi reportnya adalah data returan? Apa sebegitu banyaknya pekerjaanmu hingga tak fokus?”

Binar meremas kedua tangan gugup, ingin mengadu jika memang benar pekerjaannya begitu banyak. Ia juga disuruh membuat kopi serta membeli sarapan, belum lagi membantu seniornya yang lain walau pekerjaannya sendiri belum selesai.

“Maaf, saya akan perbaiki lagi—”

“Tidak, saya tidak butuh kata maaf. Saya hanya bertanya, alasan kamu begitu teledor karena apa. Jika tak ada reason yang masuk akal, maka nilai KPI kamu akan jelek nantinya,” sela Asta cepat.

Mengapa pria ini begitu enteng kala mengatakan itu semua, tak tahukan dia jika Binar begitu takut mendengarnya?

Perempuan 25 tahun itu mencoba untuk tenang, setelah bisa mengendalikan diri, ia menatap tepat pada sorot yang sedang menatap balik ke arahnya. 

“Saya mengerjakan yang bukan pekerjaan saya, ingin menolak tapi saya paham betul apa impact-nya.” Binar meremas kemejanya. “Bukan maksud saya mengadu, tapi ini alasan saya tak fokus karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan.”

Asta terdiam, meneliti raut perempuan di hadapannya penuh selidik. “Apakah yang kamu katakan ini sungguhan? Atau hanya alibi untuk menyelamatkan diri?”

Napas Binar tercekat, pupil matanya bergetar, dan tawa getir keluar begitu saja seiring dengan gelengan kepala yang menatap Asta tak percaya. “Saya tidak menyangka jika Anda berpikir sepicik itu, Pak Asta yang terhormat.” 

Jika boleh jujur, Binar sangat sakit hati sekarang. Ia tak tahu mengapa Asta tega mengatakan kalimat menyakitkan itu. Menuduhnya yang tidak-tidak untuk membela diri? Yang benar saja!

Padahal Asta tentu tahu seperti apa kepribadian Binar, mereka mengenal sejak SMP. Lalu menjalin kisah asmara kala memasuki SMA, meskipun berakhir setelah tiga tahun berjalan.

“Saya hanya menebak, mengapa kamu begitu marah?” tanya Asta santai. Ia berdeham singkat, sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “Sekali lagi saya bertanya, siapa menyuruhmu mengerjakan yang bukan pekerjaanmu?” 

“Memangnya apa yang akan Anda lakukan jika saya mengatakannya?” Binar bertanya balik, meski nyali menciut saat mata mereka bersirobok.

Pria itu tersenyum miring, dengan santai bangkit dari duduknya seraya mendekat ke arah Binar. Lalu membungkukkan badan sambil berbisik serak. “Tentu saja memberikan hukuman, karena membuat mantan terburuk saya kesusahan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status