Share

Bab 2. Tulang Punggung Keluarga

Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. 

Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. 

“Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.

Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” 

Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”

Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. 

Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.

“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. 

“Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah risikonya. Jika kamu tak bisa melawan, maka siap-siap saja akan menjadi pecundang.” Asta berucap santai, sama sekali tak terusik dengan wajah pias perempuan di hadapannya. 

Suasana di sekitar mereka semakin terasa tak nyaman. 

Binar mendongak, menatap tepat pada Asta yang sedang memasang wajah datar. “Saya paham, terima kasih atas saran yang Pak Asta berikan.” 

Lelaki itu mengangkat bahu acuh tak acuh. “Tentu, dan sekarang kembali ke ruanganmu. Lalu jangan lupa kirim revisi mengenai laporan yang saya minta.”

“Baik, Pak.” Binar bangkit dari duduknya seraya melangkah menuju pintu. Namun, suara berat dan dingin Asta membuatnya terhenti. 

“Bersikaplah biasa, seolah kita hanya orang asing yang baru mengenal. Jangan sampai orang di kantor ini mengetahui jika kita pernah menjadi sepasang kekasih.” 

***

“Lembur lagi?” 

Binar baru saja mendudukan bokong pada kursi kayu yang terdapat di ruang tamu rumahnya, ia mengangguk pelan mendengar pertanyaan sang ayah. 

“Gaji UMR tapi kerja sampai sebegininya, lebih baik ikut saja anak Bu Darmi kerja di bar.” 

“Ayah!” teriak Binar tanpa sadar. 

“Apa? Begitu saja marah, saya hanya memberi saran. Toh, cuma menemani para lelaki minum saja.” Rio menatap putrinya santai. 

Binar menggeleng tak percaya, mimpi apa ia mempunyai orang tua yang jika berbicara tak pernah memfilter ucapannya. 

“Tolong jaga bicara Ayah, kalau tidak bisa memberi kontribusi pada keluarga ini. Setidaknya jaga sikap.” Perempuan itu berucap dingin, ia sudah lelah bekerja seharian. Tapi ketika sampai rumah, ada saja cobaan yang menguras emosi.  

“Halah, sok sekali kamu. Sebelum saya di PHK, siapa yang memberi kamu makan sampai sebesar ini? Jadi, jangan pernah merasa paling berkuasa mentang-mentang hanya mencari sesuap nasi!” Rio mengambil rokok yang terselip di telinganya, lalu menginjak-injak sembari keluar dari rumah dengan bantingan pintu keras. 

Binar menyandarkan punggung pada kursi, dadanya naik turun mencoba menahan emosi. Rio di PHK tujuh tahun yang lalu, dan sampai detik ini kerjaannya hanya mengomel serta mengeluh. Jika Binar tidak bekerja, maka siapa yang bisa diandalkan? 

Selain bekerja di kantor, Binar juga punya bisnis kue kering yang dijual secara online. Jika tak begitu, mana bisa menutupi kebutuhan keluarganya. Tanpa sadar air matanya mengalir deras, terlalu lelah untuk mengucapkan sepatah kata pun.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Binar dengan cepat-cepat mengusap air matanya yang sedang berjatuhan. 

“Binar, sudah pulang, Nak?” tanya Jihan seraya duduk di samping sang putri. 

“Iya, Bu. Mengapa belum tidur? Sudah pukul sembilan malam.” 

Jihan tersenyum tipis. “Ibu lagi nunggu Mika. Adik kamu itu lagi ke rumah temannya untuk membicarakan perihal kos mereka nanti.” 

Binar membenarkan posisi duduknya, menatap sang ibu serius. 

“Jadi, pada akhirnya Mika mau kos berdua?” tanya perempuan itu dengan raut lega. 

“Iya, untunglah. Agar menekan pengeluaran, rencananya mereka akan berangkat besok siang ke Jakarta,” jelas Jihan. 

Sejujurnya ia sangat sedih harus berpisah dengan putri bungsunya yang akan berkuliah di luar kota. Mika sangat menja, membuat Jihan khawatir jika perempuan itu tak bisa melakukan semuanya sendiri. 

“Aku senang mendengarnya, berarti nanti aku atur ulang mengenai kebutuhan Mika,” ucap Binar ceria.

“Tapi, Nak. Kamu tahu sendiri kalau Mika tidak bisa makan sembarangan. Setidaknya jangan kurangi budget yang kamu siapkan untuknya, agar dia bisa membeli makanan enak serta sehat.” Perempuan paruh baya itu menggenggam lembut tangan tangan sang putri sulung, matanya menyorot penuh permohonan. 

Binar menggigit bibir bawah, membuang pandangan ke arah lain. 

“Jika kamu tak mau, tidak apa-apa. Biar nanti Ibu saja yang cari kerja, maaf telah menyusahkanmu selama ini, Nak," ujar Jihan sedih. 

Perempuan itu langsung mengalihkan atensi pada Jihan. “Jangan, Ibu sedang sakit. Lebih baik istirahat saja di rumah, dan untuk kebutuhan Mika nanti aku yang urus.” 

Jihan tersenyum haru, lalu memeluk Binar erat. Ia tak tahu lagi harus berterima kasih seperti apa, putrinya ini sejak dulu selalu berkorban demi keluarga.

“Oh, ya, Bu. Ini ada titipan uang dari Mama Uti.” Binar melepas pelukan Jihan, mengambil tas kerjanya dan memberikan pecahan 100 ribu sebanyak 10 lembar. 

“Ba–banyak sekali, Nak.” Bibir Jihan bergetar tatkala menerimanya. 

Binar tersenyum lebar. “Warung Mama Uti memang lagi rame-ramenya, sampai kualahan walau sudah dibantu tiga karyawan. Dia juga berpesan untuk ambil lauk besok pagi buat sarapan kita.” 

Entah mengapa mantan istri ayahnya itu sangat royal pada keluarganya. Namun, yang jauh lebih mengherankan lagi. Kenapa sang ayah selalu mendapatkan perempuan baik-baik. 

“Wah, uang dari mana itu?” tanya Rio yang baru saja datang. Bau asap rokok tercium sangat menyengat kala ia mendekat. 

“Dari Uti, Mas.” Jihan menyahut sembari tersenyum lebar. 

“Sini minta, besok saya ganti.” Rio menadahkan tangan, menatap lembaran uang itu dengan lapar.

Jihan tergugu, ia menatap suaminya takut-takut. 

“Enak saja, itu uang Ibu. Jika mau, ya cari kerja.” Binar membuka suara, tak peduli ayahnya akan marah besar. 

Benar saja, wajah pria paruh baya itu seketika memerah … seakan menahan amarah yang siap meledak. 

“Mas!” teriak Jihan tanpa sadar ketika Rio sudah mengambil alih uang yang ada di tangannya. 

Pria itu terkekeh serak, lantas menoleh ke arah Binar. Mengabaikan teriakan Jihan. “Jika bisa mendapatkannya dengan mudah, mengapa harus bekerja susah payah!” Ia menepuk kepala Binar dengan uang di tangannya, lantas berlalu pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status