Share

Bab 4. Mengulang Waktu

“Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini.

Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.

“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.

Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan.

“Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.

Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta.

Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. 

***

“Lauk hanya ikan asin sama udang? Jihan … Jihan. Kamu pikir saya gelandangan!” sentak Rio kasar. Menendang kursi di meja makan seraya mendengkus.

“Mas, ini saja sudah lebih dari cukup. Aku juga lagi hemat, uang pemberian dari Uti, Mas yang ambil semuanya.” Jihan menghembuskan napas lelah.

Puluhan tahun ia sabar menghadapi sifat Rio yang seperti ini, apalagi alasannya selain karena cinta dan kedua anaknya. Jihan pernah ingin menyerah, pun ketika dulu sang suami memutuskan untuk menikah lagi. Tapi selalu gagal, ia justru semakin terikat dengan pria itu.

“Alasan, masih ada Binar. Minta saja sama dia, anak itu mana mungkin kekurangan uang. Dia bekerja kantoran serta jualan kue.” Rio mengambil korek serta rokok yang ia selipkan pada telinga, lalu kembali duduk. 

Jihan memberi jarak, tak suka bau asap rokok. 

“Binar sudah banyak menanggung kebutuhan keluarga ini, bahkan hampir 100%. Setidaknya jangan memberikan dia beban lagi," kata Jihan.

“Alah, anggap saja itu sebagai balas budi dan baktinya kepada orang tua. Toh, semua ini juga berkat kita,” timpal Rio sembari membuang asap rokoknya dengan santai.

Benar, bukan? Sudah sepantasnya seorang anak memberikan balasan atas jasa orang tuanya. Ya, setidaknya itu yang dipikirkan oleh pria itu.

“Tapi kasihan Binar, Mas. Dia bekerja keras selama ini, bulan depan saja aku mungkin malu meminta padanya, karena Binar sudah mengeluarkan uang banyak untuk kebutuhan kuliahnya Mika.” Jihan menatap Rio sendu, berharap bisa berdiskusi untuk langkah yang akan mereka ambil ke depannya.

Seringai terbit pada bibir kehitaman pria itu, ia mengambil ponsel, lulu menyerahkannya pada Jihan.

“Apa ini, Mas. Kenapa ada foto Binar?” tanya perempuan itu bingung.

Rio tersenyum lebar sembari menjawab, “Teman saya salah satu orang yang bekerja di pertambangan, dia sudah mempunyai satu orang cucu. Kebetulan waktu itu dia pernah ke sini dan melihat Binar, lalu menaruh rasa suka detik itu juga. Menurutmu bagaimana, apa kita terima saja dia sebagai pendamping hidupnya? Toh, uang akan selalu mengalir, Binar juga tak perlu repot-repot bekerja lagi.”

Ponsel itu terjatuh dari tangan Jihan, membuat Rio membelalak. Lalu dengan cepat bangkit serta mendorong Jihah, dan mengambil benda pipih itu. 

“Benar-benar kamu, ya! Ponsel saya rusak!” teriak Rio marah. 

“Mas, selama ini aku sabar dengan semua sifat kamu. Tapi tolong jangan libatkan Binar dalam hal seperti ini, biarkan dia memilih pendamping hidupnya. Bagaimana mungkin kamu tega menjodohkan dia dengan seseorang yang sudah mempunyai cucu ...,” balas Jihan dengan mata bergetar.

“Apanya yang salah? Toh, nanti Binar kecipratan uangnya. Dia juga tidak perlu susah payah kerja banting tulang.” Riko mengambil piring yang berisi lauk pauk di atas meja, lalu membuangnya untuk melampiaskan kekesalan karena Jihan merusak ponsel miliknya.

Jihan yang melihat itu semua terduduk, tak punya tenaga lebih untuk menghadapi sang suami yang sedang mengamuk. Wanita itu hanya bisa menangis karena tidak mempunyai kuasa dan keberanian.

“Ada apa ini?” tanya Binar yang baru saja pulang bekerja, ia melihat ke arah lantai. Begitu banyak lauk pauk berceceran, perempuan itu menggeram, sudah ditebak siapa yang membuat ulah.

Binar menatap nyalang pada pada Rio, melangkah mendekat dengan tangan terkepal kuat. 

“Bisa tidak, Ayah berhenti membuat ulah sehari saja. Jujur aku sangat lelah, pulang bekerja alih-alih mendapatkan kenyamanan, tapi Ayah selalu membuatku semakin pusing,” ungkap Binar penuh penekanan.

Perempuan itu menepuk dadanya kuat, seolah mengatakan jika bebannya sangat berat. Menjadi anak anak pertama tentu harus tahan banting, dan rasanya ia ingin menyerah saat ini juga.

“Halah! Kamu selalu mendramatisir keadaan, padahal hanya bekerja di depan komputer, tapi sudah mengeluh seperti ini,” ejek Rio.”Ingat, saya ini orang yang membesarkan kamu, memberi makan dan tempat tinggal. Urus ibumu sana! Lusa ada yang perlu saya bicarakan, dan ini menyangkut masa depanmu.”

Rio menendang kembali kursi yang ada di meja makan, lantas berlalu pergi begitu saja.

Sementara Binar, membeku di tempatnya. Perempuan itu tidak ada tenaga untuk berbicara sepatah kata pun.

“Binar, maafkan Ibu yang tak bisa mengontrol ayahmu. Dia memang seperti itu jika sedang marah, tolong maklumi sifatnya, ya.” Jihan bangkit seraya menghampiri sang putri.

Rumah sederhana itu diisi dengan keheningan, Binar sama sekali tak membalas perkataan ibunya. 

“Lebih baik kamu makan dulu yuk, nanti Ibu buatkan nasi goreng,” ajak Jihan. Akan tetapi, sang putri masih bergeming di tempatnya.

Secara perlahan, Binar melepas tautan tangan Jihan di lengannya. Ia menatap sang ibu lamat-lamat, melihat wajah yang sudah tak lagi muda lagi, tapi masih cantik di usianya saat ini.

“Kalau aku di posisi Ibu, sudah dari dulu aku meninggalkan Ayah. Penjudi, pemabuk, kasar! Sama sekali tidak ada bagus-bagusnya,” sindir Binar datar. 

“Binar!” bentak Jihan tanpa sadar, setelah itu baru menutup mulut dengan bibir bergetar. “Maaf …. bukan maksud Ibu membentakmu, untuk kedepannya jangan pernah berbicara seperti itu lagi. Mau bagaimanapun dia tetap ayahmu.”

Binar tertawa getir, perempuan itu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tidak tahu lagi harus melakukan apa, luka di hatinya sedang berdarah-darah, beban yang dipikul begitu berat. Tak ada yang mengerti dirinya satu pun.

Lantas, bagaimana ia bisa bertahan untuk ke depannya?

Secara perlahan ia menurunkan tangan, menghembuskan napas pelan agar tak emosi menghadapi ibunya yang keras kepala jika menyangkut sang ayah.

“Baik, ini memang salahku. Seharusnya aku yang mengerti Ayah, bukan sebaliknya.” Jihan menggeleng ribut, tapi Binar terus melanjutkan ucapannya, “Mungkin memang Ibu tidak bisa lepas dari Ayah, tapi aku berharap semoga nanti kalian akan bercerai—”

Hening … Namun, tidak dengan napas Binar yang memburu. Wanita itu memegang pipinya. Lalu tersenyum pahit. 

Jihan melihat tangannya yang bergetar hebat, perempuan paruh baya itu pucat pasi. Baru kali ini ia lepas kendali dan menyakiti Binar.

Bibir pucatnya bergetar, ia mengalihkan atensi pada sang putri yang sedang terpaku—tanpa ekspresi. Jihan mendekat, memegang lengan Binar penuh sesal. “Sa–sayang … maafkan Ibu, Nak.”

“Aku tahu ibu perempuan yang lembut dan baik, tapi sepertinya keadan membuat Ibu seperti ini,” sahut Binar pelan, tanpa emosi. 

Di tengah kegilaan yang menggerogoti jiwanya, serta rasa kecewa dan amarah yang menumpuk di dada. Ia tetap memuji ibunya. 

Perempuan itu melepas tangan Jihan dari lengannya, menatap sang ibu dengan wajah wajah datar.

Ruangan itu kembali diisi dengan suara tangis Jihan karena merasa bersalah, sedangkan Binar masih mengumpulkan tenaga untuk berbicara.

“Andai bisa mengulang waktu.” Binar menelan ludah susah payah, air matanya mengalir begitu saja. “Aku ingin Ibu kembali ke masa muda, bertemu dengan orang yang memperlakukan Ibu dengan baik. Tidak apa-apa aku tak lahir di dunia ini, asal Ibu bahagia."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status