Share

Bab 5. Tawaran Sang Mantan

Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya.

“Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. 

 Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar.

“Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.

“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu.

“Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. 

“Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik.

Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya.

Mata Binar berkaca-kaca, ia meremas kedua tangan ketika orang-orang mulai berkumpul.

Mereka semua menatapnya dengan berbagai ekspresi, tidak sedikit yang melempar tatapan mencemooh serta tak suka.

“Ada apa ini? Masih pagi kalian sudah ribut saja,” ucap Asta sembari bersedekap dada.

“Pak, Binar ceroboh sekali. Dia menabrak saya sampi laptop saya terjatuh,” adu Ratna sedih.

Asta melihat laptop mahal itu di lantai dalam keadaan mengenaskan, atensi lelaki itu beralih pada Binar yang berdiri kaku dengan wajah pucat pasi. 

“Bisa kamu jelaskan mengapa membuat kekacauan pagi-pagi seperti ini?” tanya Asta dengan aura intimidasi. 

Binar menatap liar ke sekitar, tatapan menghakimi yang semua orang layangkan padanya membuat nyali perempuan itu menciut. 

“Jawab, malah diam saja!” Salah satu diantara mereka berseru, membuat keringat dingin mulai bercucuran pada pelipis Binar. 

“Baik, mungkin kamu butuh ruang untuk berbicara,” kata Asta. Ia mengalihkan pandangan pada Ratna. “Kamu juga, mari ikut saya. Dan kalian semua, kembali ke ruangan masing-masing.”

***

“Jadi, kamu tetap meminta laptop baru?” tanya Asta sekali lagi.

“Benar, Pak. Saya tidak mau jika diperbaiki,” balas Ratna sambil melihat ke arah Asta.

Asta terdiam sejenak, mengalihkan pandangan pada Binar. “Lalu apakah kamu siap menggantinya?”

Perempuan itu menggeleng kuat. “Saya hanya mampu untuk memperbaiki Pak, jika Mbak Ratna tidak keberatan. Ayo, kita ke tempat service. Agar tahu apa saja yang rusak, dan saya bisa menyiapkan dananya,” imbuh Binar. Walau tidak yakin sisa uang tabungannya mencukupi.

“Lho, kenapa kamu yang ngatur? Itu laptop punya saya, dan kamu sebagai pelaku di sini. Jadi, kalau saya minta ganti, ya ganti. Tidak ada tapi-tapian!” serunya tak suka.

Binar menggigit bibir bawah, meremas rok yang dikenakan. Perempuan itu mulai memikirkan pekerjaan sampingan apalagi yang harus dikerjakan setelah ini. 

“Saya setuju dengan Ratna, ini memang hak dia untuk meminta pertanggung jawaban darimu,” cetus Asta.

Sontak mata perempuan itu berbinar tatkala dibela oleh sang atasan, ia mengulum bibir. Menatap Asta menggoda, sayangnya atensi lelaki itu sedang fokus pada Binar. 

“Saya memang salah karena ceroboh, tapi seharusnya Anda cek dulu CCTV. Apakah Mbak Ratna saat menuruni tangga juga sedang terburu-buru sehingga tidak melihat keberadaan saya. Jangan langsung menjatuhkan kesalahan di satu orang saja,” timpal Binar mencoba berani.

Ratna melotot, tak menyangka perempuan yang sering dibully ini bisa membela diri.

Lain halnya dengan Asta yang sedang memasang seringai, lelaki itu bersedekap. Menatap lurus pada Binar. “Ya, sudah. Mana bukti CCTV-nya, saya mau lihat.”

Binar membeku, matanya memanas—ia seperti dipermainkan sekarang.

“Di tangga tidak ada CCTV, Pak. Kalau di koridor baru ada, maafkan Binar karena sudah sok tahu. Maklum dia anak baru.” Ratna tersenyum simpul, puas sekali melihat perempuan itu dipojokkan.

Asta mengangguk-anggukan kepala. “Kamu benar juga, jalan satu-satunya dia harus ganti rugi.”

Jadi, begini rasanya di saat tak ada yang berpihak padanya? Binar tersenyum getir, ia sudah mulai terbiasa menerima ketidakadilan dalam hidup. 

“Kalau begitu, saya tunggu laptop barunya besok pagi.” Ratna berucap ceria. “Terima kasih juga untuk Pak Asta karena sudah bersikap adil, saya permisi dulu, Pak.”

Perempuan itu bangkit dan berlalu pergi, Binar pun dengan cepat mengikuti langkah Ratna. Tidak ingin berlama-lama di ruangan Asta. Namun, ketika hendak mencapai pintu. Suara lelaki itu menghentikan langkahnya.

“Bagaimana jika saya membantumu?” tanya Asta tersenyum miring. Bangkit dari duduknya sembari mendekat ke arah Binar.

Ia berdiri di belakang perempuan itu, menundukkan badan seolah memeluk Binar dari belakang. Lantas berbisik lirih penuh godaan, “Layani saya malam ini, saya ingin melihat sehebat apa dirimu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status