Sesuatu yang basah dan hitam, menetes mengotori wajahnya. Begitu membuka mata, Raesaka sudah berada di dalam ruangan sempit berwarna krem bercahaya suram. Ada sesuatu yang menggantung, memenuhi langit-langit ruangan berbau debu dan besi itu.Tia ada di sana, menempel pada siling, memunggungi Raesaka yang masih berbaring. Lehernya memanjang dan melengkung ke bawah, sehingga kepala dan wajahnya yang terbalik berada tepat di hadapan Raesaka. Namun, ada sesuatu yang berbeda—tidak, aku tidak ingin melihatnya, tetapi aku harus melihatnya! Tidak ada kain yang menutupi kedua matanya, dan tampak dua rongga mata yang sangat gelap dan menyedihkan, meneteskan darah kental. Bahunya tetap buntung, tidak mengeluarkan tangan-tangannya yang aneh.Guuuuuuuunnnnnnnnnnnnnngggg. Bunyi gong berdengung panjang memenuhi ruangan. Tidak ada siapa pun di sana, begitu pula dengan gong-nya.Sensasi mengerikan bergelayut mengepung Raesaka, membuat tubuhnya membeku sama sekali, dan udara di sekelilingnya menjadi
“Sepertinya, wajah kamu enggak asing,” kata seseorang. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”Mulanya Raeasaka tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Hal pertama yang dilihatnya dari balik kabut yang menyelimuti matanya adalah bulir-bulir air dingin, bercampur keringat dan tetesan darahnya sendiri, berjatuhan di atas permukaan meja coklat muda. Kedua tangannya dalam keadaan kosong dan bebas, saling bertautan di hadapannya, dan bajunya basah. Perlahan, rasa sakit dan sensasi panas merambat di sekujur tubuhnya yang bergetar hebat; kepalanya (yang semula ia kira meledak) pusing bukan main, dan setiap udara yang dihirupnya hanya memicu rasa ngilu yang tajam di dadanya. Sambil bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa bertahan (haruskah ia bersyukur, atau mengutuk atas rasa sakit yang menyiksanya sekarang?), ia mengangkat wajahnya pelan-pelan.Di sisi kanan, tiga orang duduk di lantai, dalam keadaan dibelenggu dan mulutnya ditutupi lakban belapis-lapis, begitu pula dengan ti
Ketika membuka matanya, Raesaka tidak ingat apa pun kecuali namanya sendiri.Bunyi ritme jantung mengiringi cahaya yang merambat pada dinding dan siling putih, membantunya merealisasikan keadaan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali, merasakan aliran udara melalui selang yang disematkan pada hidungnya. Tidak ada rasa sakit selain sensasi aneh yang mengganjal kerongkongannya, punggung tangannya, dan bagian kemaluannya. Kepala dan dadanya dibebat, dan gips membalut lengan kiri dan kanannya. Ia melirik ke samping, melihat seorang perawat berbaju serba biru tua, memakai penutup kepala dan masker, bergerak-gerak di sampingnya, sedang melakukan pemeriksaan berkala.Perawat itu, yang baru saja selesai memasang kantung air kemih kosong, menoleh dan menyadari tatapan lemah Raesaka. Ia kemudian mengangkat tangan dan menggerakannya di depan Raesaka, memastikan Raesaka memang benar-benar sadar. Raesaka mengikuti gerakan tangan perawat itu.“Anda bisa mendengar saya, Pak?” tanya perawat.Raesa
Di hari yang agak mendung dan gerah, Raesaka, yang sudah bisa menenangkan diri sepenuhnya, sedang menonton film black-comedy tentang perilaku politikus yang rela melakukan apa saja demi memenuhi ambisinya untuk berkuasa. Film itu mengingatkannya pada buku yang pernah dibacanya di perpustakaan ibunya, tetapi lupa judulnya. Dia harus menahan diri supaya tidak tertawa terlalu lepas, agar tidak menyakiti tubuhnya.Sebetulnya, Raesaka menghindari acara berita, terutama yang berkaitan dengan institusinya, dan ia juga tidak mau tahu bagaimana kabar Arkavi dan perkembangan kasusnya (terkecuali, ia akan hadir apabila pengadilan membutuhkan kesaksiannya).Berhubung tidak ada lagi acara yang menarik, Raesaka memutuskan pergi ke halaman belakang rumah ibunya. Sambil duduk bersandar pada pohon kersen yang belum berbuah, semilir angin sore menyejukkan kepalanya yang sedang mengenang Purangga, Ivan, Akarsana dan rekan-rekannya yang lain. Hatinya melantunkan doa-doa yang sudah lama tidak pernah diu
Rasa kecewa—karena Prisha tidak bisa dijenguk—melumer bersama coklat batang yang dikulumnya, dan Raesaka duduk di kursi belakang kereta api. Pemandangan sawah, bukit, dan gedung-gedung di kejauhan bergerak cepat berlawanan arah, dan itu membuat hatinya menjadi lapang. Setelah coklatnya habis, ia meneguk air dari botol, memakai masker hitam dan membetulkan posisi topi merah tuanya agar rapi. Kedua tangannya yang masih terbalut gips, ditutup jaket parasut coklat gelap.Bagi Raesaka, Niskala itu beraroma seperti dapur dan kolam ikan neneknya. Di sana, senyuman dan pelukan hangat neneknya menyambutnya. Di tengah kesibukan para asisten rumah tangganya, neneknya terus berbicara dan bertanya-tanya sambil mengantar Raesaka ke kamar yang dulu pernah digunakannya selama bertahun-tahun.Walaupun ada sedikit perubahan (tidak ada lagi poster-poster idola yang menempel pada dindingnya), wangi kamarnya tetap sama seperti dulu. Tadinya, begitu Raesaka ditempatkan di Narwastu, Dewangga mengusulkan
Bersama Aliosa dan dua sepupunya yang lain, Elis dan Erik (anak kembar Saphira yang masih duduk di bangku kelas tiga), Raesaka duduk di pinggiran kolam, memancing ikan mujair. Ikan-ikan itu digoreng, menjadi lauk pelengkap nasi liwet untuk makan siang. Di bawah siang yang terik, wangi-wangi hangat bawang, kencur, dan cabai rawit memenuhi udara di sekitar dapur.Raesaka ingin sekali menikmati nasi liwet-nya sambil duduk di balai-balai luar samping dapur, tetapi tempat itu hanya boleh digunakan oleh tukang kebun dan dua asisten rumah tangga. Neneknya akan melarangnya makan di sana. Walau begitu, neneknya tidak sepenuhnya kaku. Neneknya sangat suka menyimak obrolan cucu-cucunya sambil makan, mau itu cerita sedih atau pengalaman konyol sekali pun. Ketika Aliosa, Elis dan Erik menghabiskan puding-puding dingin di ruang tengah sembari menonton televisi, Raesaka dan neneknya masih ada di dapur, mengobrol.“Ibu kamu menikah delapan bulan setelah Kakek meninggal,” cerita neneknya. Jemarinya
Dinaungi suasana cafe yang riuh rendah, keduanya duduk berseberangan, dan terlihat sangat asing. Arumi, yang selalu berusaha menghindari pandangan Raesaka, hanya makan sedikit dan tidak berbicara banyak—ia bahkan tidak ceria seperti biasanya. Kadang-kadang, gadis itu tampak tidak nyaman dengan kursi yang didudukinya, berkali-kali menunduk, seakan-akan ia sedang dalam keadaan waspada karena takut jatuh dari lantai dua. Dia menjadi agak kikuk dan kehilangan fokus.“Kamu sakit, Rum?” tanya Raesaka, curiga.“Hah?” Kali ini Arumi mengangkat kepalanya, menatap Raesaka sambil menyematkan rambutnya ke belakang telinga, lalu menunduk dan mengerutkan kening. “Oh... enggak kok.”“Terus, kenapa makannya enggak dihabisin? Kamu suka zuppa zoup ‘kan?” Pandangan Raesaka terus tertuju pada Arumi.“Tadi.. sebenernya, aku udah makan di rumah, jadi aku...” Tiba-tiba Arumi mengangkat tangannya, menutupi mulutnya sendiri, dan menatap Raesaka selama beberapa detik, lalu berpaling. Masih sambil menutupi mulu
“Ibu pernah baca buku bagus—Ibu lupa judul bukunya apa,” kata Marsala di pagi hari. “Buku itu bercerita tentang seseorang yang mencari harta karun hingga ke pelosok negeri. Dia bertemu berbagai macam orang, salah satunya orang pintar dan bijak yang dikira penyihir oleh warga sekitar. Setelah berkelana panjang dan lama, apa yang dicarinya selama ini rupanya terkubur di halaman rumahnya sendiri. Ah, Ibu ingin baca buku itu sekali lagi. Andai aja Ibu ingat judul bukunya, mungkin bisa kamu carikan suatu hari.” “Terus, apa yang mau Ibu sampaikan?”“Nah, kesimpulan dari cerita itu adalah sering kali apa yang kita cari sesungguhnya sudah ada di dekat kita.”“Apa Ibu bertemu Ayah seperti itu juga? Tiba-tiba dia muncul di halaman depan rumah?” tanya Raesaka, yang kemudian terpana mendengar tawa ibunya gara-gara candaannya, tapi ibunya hanya tertawa, tidak membicarakan suaminya.* * *Air kran membasuh wajahnya beberapa kali. Di depan cermin, titik-titik air mengalir di pipi dan dagunya