Share

Bab 5 Ada Hal yang Ingin Kuberi Tahu

Suara getar ponsel di atas meja membuat Nadia tersadar dari lamunannya.

Melihat panggilan itu dari Sam Fabian, dokter yang merawat ibunya, Nadia buru-buru mengangkatnya.

"Dokter Sam! Apa terjadi sesuatu dengan ibuku?" tanya Nadia dengan gugup.

"Nadia, sekarang kamu ada waktu datang ke rumah sakit?" balas Sam.

Nada bicara Sam yang ganjil membuat Nadia seketika berdiri dan berkata, "Ada! Aku akan segera ke sana!"

Dua puluh menit kemudian.

Nadia hanya mengenakan kemeja kerjanya. Dia turun dari mobil di pintu masuk rumah sakit.

Embusan angin dingin membuat Nadia tiba-tiba bersin. Dia tergesa-gesa masuk ke dalam rumah sakit.

Begitu keluar dari lift, dia melihat seorang pria berjaket kulit berdiri di depan kamar rawat ibunya.

Sambil mengapit sebatang rokok di mulutnya, dia marah-marah kepada Sam.

Begitu melihat pria itu, Nadia mengepalkan tangannya dan berjalan dengan cepat.

Suara langkah kaki Nadia membuat Sam dan pria itu menoleh.

Melihat kedatangan Nadia, pria itu tersenyum dan mencibir, "Lho, Bu Sekretaris sudah datang, ya!"

Nadia menoleh sejenak ke arah Sam dengan ekspresi seperti minta maaf. Kemudian, dia berkata kepada pria itu dengan nada yang dingin, "Kak Rudi, waktu itu aku sudah bilang dengan jelas, kalian ingin tagih utang nggak harus sampai datang ke kamar rawat ibuku, 'kan!"

Rudi menggigit-gigit rokok di mulutnya itu, lalu berkata, "Ayahmu menghilang lagi. Kalau nggak cari ibumu, kami harus cari siapa?"

Nadia menahan emosinya. Sambil memelototi Rudi, dia bertanya, "Kali ini utangnya berapa?"

"Nggak banyak, 60 juta sudah termasuk bunga!" jawab Rudi.

Ekspresi Nadia seketika berubah menjadi jengkel dan berkata, "Bulan lalu hanya 30 juta!"

Rudi menatap Nadia sambil mencibir, "Kamu tanya ayahmu. Aku ada bukti utangnya. Kamu kenal dengan tulisan ayahmu, 'kan? Aku hanya menagih sesuai jumlah seharusnya."

Selesai berbicara, Rudi mengeluarkan surat pernyataan utang dan menyerahkan kepada Nadia untuk dibaca.

Nadia marah, tetapi tidak ada alasan untuk membantah hal tersebut.

Lagi pula, ayahnya kecanduan judi dan sering meminjam uang untuk berjudi. Dalam beberapa tahun terakhir, Nadia sudah melunasi utang lama, tetapi tetap ada utang yang baru.

Selama utang itu belum dilunasi, para penagih akan datang ke rumah sakit mencari ibunya.

Karena kondisi ibunya sekarang tidak boleh ada tekanan batin, Nadia pun memilih menahan amarahnya. "Oke! Aku yang bayar! Tapi kalau kalian berani datang ke rumah sakit lagi, jangan pikir bisa dapat uang lagi dariku!" seru Nadia.

Selesai berbicara, Nadia mengeluarkan ponselnya dan mentransfer 60 juta ke rekening Rudi.

Setelah menerima uang itu, Rudi menggoyang-goyangkan ponselnya lalu pergi dari rumah sakit dengan senang.

Sam menatap Nadia dengan prihatin dan berkata, "Nadia, kalau masalah ini diselesaikan seperti ini terus, bebanmu akan bertambah berat."

Nadia tersenyum pahit sambil berkata, "Bagaimanapun, dia adalah ayahku."

Sebenarnya tiga tahun lalu, ketika ayahnya menjual dia kepada beberapa pria tua itu, dia berpikir untuk memutuskan hubungan dan tidak akan lagi peduli dengan urusan ayahnya.

Namun, ibunya jatuh sakit. Nadia menjadi tidak tega ketika melihat ibunya tidak bisa tidur dengan tenang karena mengkhawatirkan ayahnya.

Di dunia ini, semua hubungan dapat diputuskan, kecuali ikatan darah dan kekeluargaan.

Melihat wajah Nadia berangsur-angsur memucat, Sam bertanya sambil mengernyit, "Kamu sakit?"

"Nggak, aku baik-baik saja ...."

Nadia menggelengkan kepalanya, tetapi kepalanya terasa pusing dan hampir kehilangan keseimbangan.

Sam buru-buru mengulurkan tangan untuk menopang Nadia. Ketika telapak tangannya menyentuh kulit Nadia yang panas, Sam tertegun sejenak.

"Nadia, kamu demam?" tanya Sam dengan ekspresi khawatir yang jarang terlihat.

Nadia mencoba mengecek. Tangan menyentuh wajah, terasa panas, lalu dia berkata, "Aku terlalu sibuk sampai nggak sadar. Nanti aku akan minum obat. Terima kasih, Dokter. Aku masuk lihat ibuku dulu."

Selesai berbicara, Nadia melewati Sam dan masuk ke kamar rawat ibunya.

Baru masuk ke kamar Nadia sudah merasa sangat sedih saat melihat pipi ibunya makin cekung dan pucat karena sakit.

Dia mengedipkan matanya dengan cepat dan mengatur emosinya, lalu melangkah maju dan berkata, "Ibu, hari ini sudah selesai infus?"

Karin Yatna yang sedang berbaring perlahan menoleh. Dia menatap Nadia dengan ekspresi kasihan, "Masalah ayahmu merepotkanmu lagi."

Nadia tersenyum seakan tidak peduli hal itu. Dia menuangkan air hangat ke gelas sambil berkata, "Namanya juga keluarga, jadi harus saling bantu."

Melihat Nadia sangat berbakti, Karin menjadi makin cemas.

Dia tertegun sejenak, lalu berkata, "Nad, tinggalkan keluarga ini."

Tangan Nadia yang memegang gelas itu terhenti. "Jangan bilang seperti itu lagi. Ibu adalah ibuku, aku nggak mungkin meninggalkan Ibu," ujarnya.

"Apa kamu ingin selalu terseret utang ayahmu?" seru Karin yang tiba-tiba menjadi gusar.

Nadia berpura-pura tersenyum santai dan berkata, "Ibu, gaji tahunanku nggak rendah. Kalian sudah membesarkanku hingga usai sekarang. Jadi, sudah seharusnya aku berbakti kepada kalian, 'kan?"

Karin Yatna mengernyit dan berkata dengan suara tegas, "Berbakti nggak berarti menghancurkan hidupmu! Ibu tahu kondisi tubuh sendiri, Ibu pasti akan mati! Kalau ingin berbakti, dengarin Ibu, cepat buat KK-mu sendiri!"

"Ibu!" Nadia buru-buru menggenggam tangan Karin dan lanjut berkata, "Aku janji, aku akan jaga diri dengan baik-baik, oke?"

Sambil menatap Nadia, mata Karin mulai buram seperti berkabut dan hatinya tidak tenang.

Karin tidak tega membiarkan putrinya menanggung utang sebesar itu sendirian.

Dia kenal betul sifat suaminya yang tidak akan pernah bisa berhenti berjudi.

Saat memikirkan hal tersebut, Karin menutup mata dengan frustrasi. Setelah menghela napas panjang, dia berkata, "Nad, ada hal yang ingin ibu beri tahu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status