Share

Maaf

Di ruang kerjanya yang bertingkat, Angga merebahkan punggung ke sofa. Badannya bagai dicengkram oleh sesuatu yang berat. Sedangkan hatinya terasa mengembun sesuatu yang membuatnya ngilu. Kenapa primadona hatinya yang tiba-tiba muncul di hari sangat kurang tepat. Belum lagi, Angga sendiri menjadi dalang atas berakhirnya rumah tangga Mahra si Nona Aceh itu.

Angga menatap langit-langit yang abu-abu. Membayangkan hancurnya hati Mahra terhadap sikap Refans. Dia menggigit gerahamnya, geram. Laki-laki jakung itu sangat benci kepada lelaki yang suka mempermainkan hati wanita. Apalagi wanita baik-baik seperti Asyuratul Nadia Mahra.

Angga berlari kecil, wajahnya gelisah. Tanpa berbicara sepatahpun dengan orang kantornya, dia keluar kantor hendak mencari Mahra. Dengan perlahan dia memutar pedal mobil hingga mendekati pagar rumah yang terbilang mewah. Senyap, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang di dalam sana, hatinya berkecamuk. Kemana Mahra? Sudah dua kali dia ke rumah itu. Baru beberapa hari yang lalu Refans bilang Mahra sudah pergi. Lantas untuk apa dia ke situ lagi? Angga menjadi bimbang. Kenapa  Angga seperti orang kehilangan arah.

Tiba-tiba sebuah mobil mendekatinya yang terpaku di depan gerbang. Refans keluar dengan kacamata besarnya di wajah. Karena beberapa bagian wajahnya memar.

“Ngapain kau ke sini lagi bajingan?” bentak Refans sambil mendekati Angga.

“Kemana Mahra? Bangsat!’’ Angga mendekati Refans sembari memegang kerah bajunya. Refans menepis.

Refans mengernyit kening. Kenapa dengan laki-laki di depannya? Bukankah kemarin dia sudah menjelaskan kalau Mahra sudah pergi? Dan kenapa dia begitu mencari pada Mahra? Tiba-tiba hati Refans menjadi panas.

“Apa kau ditolak oleh mantan istriku itu,” Refans nampak tersenyum mengejek.

“Dengar ya, aku bukan kau yang suka mempermainkan perempuan. Aku lelaki yang menjaga hati wanita. Dimana Mahra?” bentak Angga lagi.

“Kamu tuli atau apa? Kemarin sudah kukatakan kalau dia sudah pergi sejak sehari setelah perceraian kami?”  Amarah Refans sudah memuncak, ingin sekali menonjok wajah Refans yang terlihat gelisah itu. Bukan dia sudah lupa, bagaimana Angga memukulnya tempo hari. Tapi dia tahan. Nasip perusahaannya ada di tangga laki-laki yang sudah menjadi musuh berbuyutannya.

“Dimana sekarang Mahra?” Angga kembali menarik kerah baju Refans. “Atau rahasiamu viral?” tambah Refans lagi.

“Aku rasa dia sudah pulang ke rumah ibu bapaknya di Banda Aceh.” Refans terpaksa menurunkan nada bicaranya.

Seraya kerah bajunya dilepaskan oleh Angga dia pun pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

“Ada apa dengan Angga? Kenapa dia begitu ingin menemui Mahra? Apa dia mengenalnya?” gumam Refans. Entah kenapa rasa sakit menghujam hatinya. Dia sangat keberatan kalau Angga menemui Mahra. Tapi, siapa dia? Dia sama sekali tidak lagi punya hak.

Refans menatap kepergian Angga dari hadapannya dengan bimbang.

“Dari mana dia mengenali Mahra? Sok akrab pula main panggil Mahra?” gumam Refans dengan kesal.

**

Angga segera beranjak melajukan mobil ke kantor. Menghubungi beberpa bodyguardnya. Dia mengemudi dengan mengambil jalan tikus.

“Kita akan  ke Aceh!” perintah Angga pada bodyguardnya melalui  panggilan telepon.

Angga nekad. Untuk menemui Mahra sang pujaan di Aceh. Entah untuk apa dia menemuinya. Dia pun tidak mengetahui maksudnya menyusul Mahra jauh-jauh ke ujung negeri sana.

Angga datang seorang diri dengan mengendarai mobil kelas biasa ke rumah Mahra. Tanpa bodyguard-bodyguarnya.

“Mahra ada orang mencarimu?” panggil Meilinda. Selama pulang ke rumah, putri bungsunya itu lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Meilinda tidak Heran. Putrinya memang suka di dalam rumah, membaca dan menulis adalah hobinya.

“Siapa Mak?” tanya Mahra muncul dengan baju piyama lengan panjang di depan pintu.

“Mak tidak tahu siapa, laki-laki itu sangat tampan. Temui sana!” Meilinda pun berlalu, Angga sudah dipersilakan duduk di ruang tamu.

Mahra menghentikan langkahnya saat melihat Angga duduk dengan raut cemas di wajahnya. Ada apa lelaki itu di sini? Mahra mencerna-cerna. Dia ingat wajah Angga yang kemarin memukul Refans habis-habisan. Dia juga yang sok kenal dengannya.

“Mahra!” sapa Angga seraya bangun dari tempat duduk. Saat melihat Mahra ,muncul di depannya.

“Ada perlu apa?”tanya Mahra sambil berdiri melipat tangan.

“Sa-saya Angga yang kemarin…” ucapannya terhenti saat Mahra memotongnya.

“Ya kamu perusak rumah tangga orang. Semestinya kamu setelah menceraikan istrimu bukan berarti kamu menjebak suami saya juga menceraikan saya, hah!” bentak Mahra, matanya berkaca-kaca. Dia memang tidak biasa marah, kalaupun marah akhirnya dia menangis.

Angga tenggelam di tempat berdiri. Dia bisa merasakan betapa hati Mahra hancur oleh ucapan talak Refans. Siapa yang tidak hancur, ditalak tanpa alasan yang jelas. Namun, dia heran kenapa jadi dia yang menjadi perusak rumah tangganya?

“Maksud saya bukan begitu. Tapi memang Refans yang bajingan, dia selingkuh dengan istri saya. Juga mengelabuhi salah satu proyek hingga saya rugi besar.” Angga terdiam sejenak. “Namun saya ke sini bukan untuk itu.”

Mahra masih memperhatikannya dengan dingin. Entah kenapa laki-laki itu bisa muncul di rumahnya.

“Saya kesini untuk minta maaf. Apapun yang terjadi diluar kehendak saya. Saya tidak tahu kalau Refans sama sekali tidak mempertahankan rumah tangga kalian. Untuk itu saya benar-benar minta maaf!” Angga menatap wajah ayu di depannya dengan lekat.

Mahra menghembus napas dengan kasar. “Baik. Sudah saya maafkan.”

Angga menatapnya dengan lekat.  “Apakah ikhlas memaafkan saya?”

Mahra hanya menggangguk. Namun masih menatapnya  Angga dengan dingin.

“Saya sudah memaafkanmu, sekarang pergilah!” ucap Mahra dengan lembut.

“Baik.” Angga pun segera hendak beranjak pergi.

“Eh kok tamunya sudah mau pergi aja. Ni baru baru dibuat minum!”

 Angga tercekat tidak enak jika segera pergi. Tapi, Mahra sudah mengusirnya.

“Silahkan diminum nak!” Meilinda mempersilahkan angga.

“Mak, Mahra ke dalam dulu!” Perempuan lembut itu segera beranjak wajahnya sama sekali tidak ramah.

“Lo ini tamunya kok ditinggalin?” Meilinda melihat putrinya yang berlalu menaiki tangga ke lantai dua.

“Tidak apa Bu. Saya sudah selesai dengan Mahra.” Angga menegak minumannya. Dia ingin segera pergi. Takut ditanya-tanya sama Ibunya Mahra.

“Maaf anak ini dari mana?”

“Saya Angga Bu. Temannya Refans.”

“Oh.” Meilinda hanya ber oh. Sekelumit yang terpikir mungkin laki-laki di depannya menanyakan tentang Refans sehingga anaknya menjadi badmood.

“Nak Angga tinggal di mana?” Meilinda tidak tahu memulai percakapan apa dengan laki-laki asing itu.

“Di Bandung Bu,” jelas Angga.

Meilinda membolakan mata. “Jauhnya!”

Angga hanya tersenyum. Dia pun baru menyadari. Kalau dia sudah terbang jauh hanya untuk sebuah kata maaf dari Mahra.

“Baiklah Bu. Saya permisi!” seru Angga.

Meilinda hanya menggangguk laki-laki itu pun pergi dengan wajah yang ditekuk. Dia berusaha menunjukkan keramahan saat bertatapan dengan Pak Burhan. Laki-laki kepala lima itu yang tidak mengenali laki-laki itu hanya mengangguk kecil.

“Siapa ?” tanya Burhan yang melihat istrinya yang masih menatap mobil laki-laki itu keluar gerbang.

“Kawan Mahra.”

“Mahra kemana?”

“Udah naik ke atas.”

“Loh kok gitu?”

Meilinda hanya bergidik bahu. 

Angga keluar dari perkerangan rumah itu dengan hati lega. Setidaknya, dia sudah minta maaf langsung pada Mahra. Hatinya kini nelangsa. Impiannya memiliki Mahra kembali menggebu. Tapi, mana mungkin Mahra mau?

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status