"Bagaimana dengan Naila jika saya menerima tawaran itu, Bu? Ah Anita asal menjawab, lupa ngga berpikir jauh sebelum mengiyakan." Aku mendesah. Antara butuh tapi juga ada Naila di sisi yang menjadi pertimbangan."Ngapain kok kamu pusing. Naila sudah besar, sudah kelas enam. Bisa apa-apa sendiri. Kamu tinggal masak terus kasih jatah jajan baru bisa ditinggal kerja. Kalau ada apa-apa biar ke sini, nemenin ibu.""Beneran boleh, Bu?" sahutku senang."Ya boleh, to. Gimanapun Naila juga cucuku. Bagaimana pun kelakuan Rasyid padamu, Ibu harap tidak memutus hubungan ibu denganmu atau ibu dengan Naila."Aku menatap wajah Ibu dengan mata menghangat. Lagi-lagi terbersit rasa bersalah dalam diriku. Sungguh ini pelajaran buatku, sebelum berbicara banyak jangan menjudge orang lain dengan sangkaan yang belum tentu benar adanya.Usai berbicara banyak dengan ibu, aku kembali pulang ke rumah. Mengistirahatkan badan dan pikiran yang terasa menyita waktu dan hatiku. Alhamdulillah, satu persatu masalah mul
Khadijah menatapku dengan pandangan penuh tanya. Bibirnya mengatup rapat menunggu aku menjawab pertanyaannya."Pak Hamid?" dahiku mengernyit. "Pak Hamid siapa?" Aku tak paham siapa yang dia maksud. Tidak ada orang bernama Hamid di sekitarku."Pak Hamid Karzai." Khadijah menjawab dengan tegas. Ada nada kesal dari suaranya itu.Kepalaku kembali berpikir, lalu sinyal-sinyal dalam kepalaku saling menyahut. "Pak Hamid Karzai yang jadi kepala sekolah?"Khadijah mengangguk. "Iya. Mengapa dia seantusias itu meminta kami untuk menerima kamu di sini, sementara kamu tidak pandai mengoperasikan mesin besar ini." Tangan Khadijah menunjuk mesin di depan kami."Ini konveksi besar, yang butuh tenaga ahli untuk bisa mengoperasikannya. Minimal kerja di sini duah lihai pegang mesin jahit. Lah kamu?" Aku mengalihkan pandangan dari wajah Khadijah, kemudian mataku melihat ujung jarum yang menancap di bagian depan mesin jahit ini. Mengapa tanya demikian, aku juga tak tahu jawabannya.Kepalaku kembali mengi
Sehari setelah permintaan Naila untuk pindah rumah, aku pun menurutinya. Kupakai uang tabungan yang selama ini kusimpan untuk biaya kontrak rumah yang kini kutempati. Sebuah rumah di perumahan yang jauh dari kata bagus, tapi cukup sederhana dan layak tinggal. Terlebih rumah ini membuat kami nyaman berada di dalamnya.Tinggal di tempat yang baru tanpa memberi kabar pada siapapun ternyata lumayan memberikan ketenangan. Bahkan ibu mertua pun tidak kuberi tahu kalau kami telah pindah rumah. Beruntung pemilik rumah ini sudah menyediakan semua perabotan rumah tangga sehingga aku tidak perlu membawa barang-barang yang banyak dan pasti membuat orang lain penasaran untuk bertanya.Panggilan dari Mas Rasyid masih kuabaikan. Salah sendiri menyakitiku dengan cara yang tidak beradab. Terserah mau kebingungan mencari keberadaanku atau bagaimana aku tak lagi peduli. Terbiasa dengan rasa sakit rupanya membuat tingkat ketidakpedulianku terhadap Mas Rasyid makin meningkat. Biarlah, terserah dia mau b
Akhirnya aku menyerah. Kubiarkan Mas Rasyid membawaku ke tempat dimana Aisyah dirawat. Biarlah, sekali saja menuruti keinginan calon mantan suami untuk bisa lepas darinya dan perempuan perebut laki-laki orang lain. Lagi pula hatiku sudah kebas akan perbuatan keduanya. Meskipun seringkali aku malas berbicara dengannya tapi tak mengapa. Toh ini yang terakhir."Mengapa tidak berbicara denganku dulu sebelum memutuskan untuk berpisah?" tanya Mas Rasyid setelah mobil mulai melaju dengan tenang.Aku menoleh sekilas, kemudian tersenyum sumbang. Pertanyaan macam apa itu?"Buat apa? Selalu begitu jawaban Mas Rasyid. Mana pernah berusaha berpikir bagaimana ketika Mas Rasyid berada di posisiku? Selalu saja aku yang diminta untuk mengalah." Aku menjawab tanpa menoleh. Cukup menunjukkan keseriusanku dengan ucapan, tak perlu menunjukkan ekspresi wajahku padanya."Bukan begitu, Dek. Mas mau yang terbaik untuk kita semua!""Sayangnya yang terbaik untuk Mas tidak menjadi yang terbaik untukku. Seringka
PoV AisyahAku duduk merenung di sudut ruang guru, kebetulan meja untukku berada di bagian paling ujung. Beberapa hari ini rasanya aku tak bersemangat. Sakit di anggota tubuh bagian dada ini rasanya mengganggu sekali."Kenapa, Bu? Kok murung terus dari tadi?" tanya Pak Rasyid, rekan sejawat. Beliau baik sekali. Sering mengantarku pulang saat tak sengaja bertemu di depan sekolahan ketika menunggu kang ojek tak juga datang. Ia juga ramah dan peduli. Tidak seperti Mas Angga yang cuek padaku. "Ngga apa-apa, Pak. Dada saya sakit, makanya duduk diem aja dari tadi." Aku memaksa bibirku untuk tersenyum menyambut sapaannya. Jam mengajar sedang berlangsung dan kami sama-sama tidak ada jam mengajar kali ini sehingga ruang guru ini kosong."Izin pulang saja, dari pada kenapa-kenapa," usul Pak Rasyid memberi saran."Enggak, Pak. Kang ojek langganan masih belum bisa jemput kalau jam segini, nunggu satu jam lagi," tolakku halus setelah melihat jam di pergelangan tangan."Kok nunggu ojek? Ya sudah b
Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan hati lega. Antara lega dengan apa yang menimpa Aisyah dan lega karena Mas Rasyid tak lagi menghalangiku untuk tetap melanjutkan perpisahan ini. Berat dan sakit, tapi aku tak boleh bersedih. Janin dalam kandungan ini masih butuh asupan kebahagiaan untuk tetap tumbuh dengan baik."Dek, tunggu. Biar Mas antar," teriak Mas Rasyid sambil berlari kecil mengejar langkahku.Aku menghentikan langkah untuk melihat calon mantan suamiku. Tersirat rasa khawatir pada wajah yang tak lepas dari pandanganku itu. Ia berlari untuk mensejajarkan langkah kami setelahnya, tapi sayangnya aku sudah tak ingin lagi berada didekatnya. Muak sudah aku padanya. Enggan lagi berhubungan dengannya setelah ini. Cukup ini yang terakhir.Kadang kebaikan hati kita dimanfaatkan oleh orang lain, termasuk lawan jenis yang akhirnya menaruh rasa pada diri karena kebaikan yang kita berikan. Kukira suamiku bisa menjaga diri dan cintanya untuk kami, keluarganya tapi nyatanya aku
Kehamilanku sudah menginjak angka delapan bulan. Kondisi fisik makin lemah dan aku terpaksa sering izin tidak masuk kerja karena tak kuasa untuk menopang berat tubuh. Admin konveksi sudah menganjurkan untukku agar segera cuti, tapi aku merasa masih mampu. Tak apalah, sedikit memaksa bekerja keras agar waktu bersama si kecil lebih lama setelah melahirkan.Terpaksa aku pun mengabari Bulik agar datang ke rumah untuk membantu dan menunggui ku di rumah hingga waktu lahiran tiba."Assalamualaikum," sapa suara di luar ketika aku sedang menikmati siaran televisi. Kebetulan hari ini adalah Minggu dan aku sedang bersantai di rumah karena tidak sedang mendapatkan jam berkunjung untuk Naila.Dengan kepayahan aku bangkit dari tempat duduk di ruang tengah untuk melihat siapa gerangan yang datang."Waalaikum salam," jawabku seraya memutar anakan kunci. Tinggal sendirian membuatku selalu mengunci pintu setelah bepergian, karena khawatir akan ketiduran atau hal tak terduga lainnya. Bagaimana pun seka
"Bulik, bisa ngga sih ditahan ucapannya kalau ada Ibu? Bagaimana pun hubungan Anita sama Mas Rasyid, ibu itu akan tetap menjadi nenek Naila, juga jadi ibu buat saya." Aku mencoba berbicara pada Bulik selepas kepergian Ibu."Ya ngga apa-apa. Biar dia juga paham kalau kamu ngga bisa begini terus. Kamu juga butuh menata masa depan, masak iya janda terus. Kalau sudah seumuran Bulik sih, ngga apa-apa. Tapi kalau masih seusia kamu ya harus nikah lagi." Bulik menjawab dengan semangatnya. Ia tak peduli pada permintaanku untuk menjaga ucapannya di depan ibu."Iya, tapi ngga semata-mata bilang begitu sama Ibu. Apalagi di depan Ibu secara langsung, Anita yang ngga enak sama beliau.""Wes toh, Nduk. Kamu itu jangan ngga enakan! Nanti kamu menderita sendiri." Lagi, Bulik menjawab sesuka hatinya.Aku yang terlanjur malu dan merasa tidak enak pada Ibu sebaiknya diam dan mencari waktu yang tepat untuk bicara pada Ibu. Akhirnya aku pun pergi ke kamar, sepertinya berbicara dengan Bulik akan membuatku l