"Dari mana, Syid?" tanya Bu Risma, ibunya. Ia melihat ada yang berbeda dengan wajah anaknya kali ini. "Kusut gitu mukanya." Tidak menjawab ibunya, Rasyid malah berjalan ke depan dispenser air. Ia mengambil gelas dari atas rak lalu mengisinya dengan air putih. Laki-laki yang baru datang itu segera meneguk seluruh isi gelas tersebut hingga tandas.Bu Risma tidak lagi bertanya. Ia mengamati tingkah putranya yang tidak biasa. Tatapannya tak berpindah dari sang putra, tapi bibirnya enggan bertanya. Wanita paruh baya itu menunggu anak laki-lakinya menceritakan sendiri apa yang sedang dirasakannya."Pak Hamid baru saja negur Rasyid, Bu." Rasyid mulai bercerita setelah dirasa hatinya tenang."Kamu habis melakukan kesalahan?""Iya, kesalahan yang sangat besar.""Dipecat?"Rasyid menoleh dengan cepat ke arah wajah ibunya, lalu buru-buru meralat ucapannya. "Bukan soal kerjaan.""Lalu?""Soal nafkah untuk anak-anak.""Kenapa sama nafkah anak-anak?""Dia minta Rasyid untuk kasih nafkah rutin tia
"Ini Ratih kan?" tanya Rasyid masih tak percaya dengan apa yang ada di depannya."Iya, ini Ratih. Kamu Rasyid, kan?" balas perempuan itu dengan raut kaget."Iya, aku Rasyid. Masya Allah kita ketemu lagi setelah sekian tahun," ungkap Rasyid salah tingkah.Tak hanya Rasyid, Ratih pun demikian. Sekian tahun berlalu tak disangka hari ini mereka ketemu karena sebuah ketidaksengajaan."Mari masuk," ucap Ratih sambil membuka daun pintu rumah kos-nya lebar-lebar. Ada sebuah ruang tamu di sebelah deretan kamar saling berhadapan yang semua pintunya tertutup rapat. Di ujung kamar itu terdapat ruangan kecil yang bersebelahan dengan dua ruang kamar mandi. Tempat itu cukup bersih dan nyaman.Aditya menyapu sekitar dengan kedua ekor matanya. Sebuah rumah yang jauh berbeda dengan rumah yang selama ini ia tempati. Akan tetapi, ia sudah mantap untuk berubah dan memulai hidup baru.Rasyid duduk bersebelahan dengan Aditya di ujung sofa sedangkan Ratih duduk di ujung sofa yang lainnya."Emm ... kamu apa
Rasyid dan Aditya menoleh secara bersamaan ke arah Ratih. Keduanya menatap wajah pemilik kosan itu dengan tatapan penuh tanda tanya."Emm anu, kan, itu, apaa ... Kan lebih enak kalau Mas Rasyid yang anterin soalnya sudah kenal," ujar Ratih terbata. Ia keceplosan. Hatinya yang kebat-kebit membuat lidahnya susah dikendalikan."Tapi maaf, saya ngga bisa. Nanti sore ada keperluan sampai malam."Jawaban Rasyid itu seketika meredupkan binar di mata Ratih."Enggak, Om. Biar Adit datang sendiri aja."Rasyid mengangguk cepat. Keduanya lantas pamit dari hadapan pemilik kos tersebut."Ya sudah, kita pamit ya?" ujar Rasyid mengakhiri pertemuan mereka. Ia berdiri lebih dulu untuk bersalaman dengan Ratih."Mas," panggil Ratih lirih saat ia sudah mulai melangkah keluar dari ruang tamu rumah kosnya."Iya?" Rasyid pun menghentikan langkahnya. Ia membiarkan Aditya berjalan lebih dulu dan menunggu di dekat motornya terparkir."Aku boleh minta nomor Mas?" ucap Ratih malu-malu. Ia tidak memiliki kesempata
Sebuah undangan sudah berada dalam genggaman Anita. Ia membacanya dengan rasa haru yang meletup di dalam dada. Teman rasa saudara selama bekerja di konveksi milik suaminya ketika menjanda kini sedang berbahagia. "Assalamualaikum, Nisaaa," ucap Anita senang setelah panggilannya terhubung. Ia tak sanggup menahan rasa bahagianya sendiri. Rasa itu harus diungkapkan pada sang pemilik."Waalaikum salam, Bu Boss. Apa kabar? Sudah bahagia sekarang." Nisa menjawab dengan semangat. Ia juga senang karena rekannya kini sudah tidak lagi menyandang status janda."Alhamdulillah baik dan bahagia. Kamu juga sedang berbahagia, kenapa baru kasih kabar sekarang? Katanya dulu mau ajak aku belanja buat seserahan, tapi aku ngga dikabari sampai sekarang. Tau-tau udah ada undangannya aja." Anita berujar sambil mengawasi Nata yang sedang bermain dengan deretan mobil-mobilan di atas playmat."Iya, rencana kemarin emang gitu. Tapi ibu bos kan sudah sibuk sama pak bos, jadi ya mana berani ganggu.""Ish biasa aja
Suasana rumah mendadak hening. Tak ada tanya Anita atau celoteh Nata dalam rumah itu. Anita menghindari suaminya sejak kejadian di meja makan sore tadi. Ia membawa Nata ke dalam kamarnya hingga Nata terlelap."Nata sudah tidur?" tanya Hamid setelah ia masuk ke dalam kamarnya. Pekerjaannya telah selesai, ia kembali mendekati istrinya untuk melepas rindu setelah kesibukannya seharian tadi."Sudah." Anita menjawab sekenanya tanpa menoleh. Ponsel yang menyala di depannya itu tak juga disingkirkan meskipun ada sang suami di depannya. Ia terkesan menghindar."Ngga pengen duduk dekat Mas sini?" tanya Hamid yang sudah duduk di atas ranjang sambil mengamati tubuh bagian belakang istrinya.Anita tidak menjawab. Ia masih enggan meletakkan benda pintar itu untuk melayani sang suami."Masih marah?" Hamid kembali mencecar Anita dengan pertanyaan. Ia pun berdiri dari duduknya lalu menghampiri Anita. Meja rias itu menjadi tujuan Hamid untuk meletakkan bobot tubuhnya. Ia bersandar di meja rias itu sa
Anita mondar-mandir di ruang tengah rumahnya, mengabaikan Nata yang sedang asik bermain di lantai bersama beberapa macam mobil kesayangannya. Di genggamannya terdapat ponsel yang sedang ia tunggu getarannya."Mas Hamid lama ngga kasih kabar," gumam Anita sedikit kesal. Ia hanya bisa menunggu tanpa berani bertanya, apalagi meminta untuk cepat-cepat pulang.Anita duduk di sofa panjang yang ada di dekat Nata. Ia memandang layar ponsel sambil sesekali memperhatikan Nata.Sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel Anita. Ia segera membukanya.[Kamu siap-siap ya, habis ini saya pulang. Kita ke tempat Nisa]Wajah cemas Anita seketika sirna. Seulas senyuman terbit menjadi pengganti bibir yang sejak tadi tak henti berdesis. Ia segera mengajak Nata bersiap agar ketika sang suami tiba bisa segera berangkat.Sebuah gamis berwarna maroon dengan aksen mutiara di sekitar dada dan lengan menjadi pakaian yang dikenakan Anita sore ini. Gamis itu dipadukan dengan kerudung warna soft pink menjadikan w
"Ratih," lirih Rasyid hampir tak terdengar suaranya. Ia tercengang dengan tangan yang masih memegang Nata di atas pangkuannya. Bayi berumur setahun itu sibuk mengunyah kue gabus keju sambil sesekali tertawa karena godaan rekan ayahnya yang ada di sekeliling.Ratih berjalan mendekati Rasyid yang sedang duduk di barisan kursi tamu. Langkah kaki perempuan bergamis navy itu terhenti tepat di belakang kursi yang ditempati ayahnya Nata."Mas Rasyid kenal sama Nisa? Atau temennya Riswan?" Ratih kembali bersuara. Ia penasaran dengan apa yang dilihatnya."Mbak Ratih kenal sama Pak Rasyid juga? Beliau ini satu kerjaan sama aku." Nisa yang ada di dekat Rasyid bersama teman-temannya yang lain turut menimpali."Oh temen kerja?""Silahkan duduk, Mbak," ujar Aditya yang tengah duduk di samping Rasyid. Ia memberikan tempat untuk Ratih bisa bergabung bersama dengan teman-teman Nisa, Rasyid khususnya."Iya. Mbak Ratih kok kenal sama Pak Rasyid?" Dahi Nisa berkerut. Pikiran negatif mulai bermunculan dal
"Single atau tidak itu bukan ukuran untuk seseorang menerima ajakan orang lain.""Aku bukan orang lain, Mas. Aku Ratih, wanita yang kamu harapkan dulu!" ucap Ratih sedikit memaksa. Ia meraih pergelangan tangan Rasyid untuk dipegang agar laki-laki di depannya itu tak lagi mengalihkan pandangannya.Namun Rasyid menepis tangan Ratih itu."Mantan, Tih! Mantan! Itu pun dulu, sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi diantara kita jadi kamu jangan memaksaku menuruti permintaanmu. Kamu sudah bersuami kan?" Ada sedikit penekan dalam ucapan Rasyid, berharap Ratih sadar dan membiarkannya pergi."Pernikahanku sudah tidak sehat, Mas. Kalau Mas mau, kita bisa bicarakan ini untuk mewujudkan apa yang Mas inginkan dulu." Ratih menunduk, merasai keinginan hati yang seharusnya tidak diungkapkan saat ini."Oh, jadi ini laki-laki yang membuatmu ingin berpisah?" ucap seseorang yang baru saja datang. Mata seseorang itu menatap Ratih dan Rasyid bergantian dengan letupan emosi yang mulai menyala.Ratih mendongak,