"Mas, ayo ikut aku ke rumah!" Valerie datang saat rumah dalam keadaan sepi. Bumi bekerja, Embun di toko pakaian miliknya, Pak Salim berada di toko sembakonya, sedangkan Bu Nadine dan anak-anak sedang tidur siang."Mau kemana, Val?""Ke rumahku. Keluarga besarku sudah datang. Ini kesempatan kita untuk memperjuangkan hubungan ini. Om, tante, dan sepupu-sepupuku pasti mau mendukung kita. Papa dan Mama pasti terpojokkan.""Aku gak bisa, Val. Arista baru saja keluar dari rumah sakit. Aku mau menemaninya."Bastian menolak ajakan Valerie. Selain karena ingin terus berada di dekat anaknya, Bastian juga enggan berurusan lagi dengan keluarga Valerie."Maaf, Val. Sepertinya kita harus mengakhiri hubungan ini. Keluargaku tak sebanding dengan keluargamu. Yang akan kita dapatkan hanyalah kesengsaraan dan penderitaan.""Kamu jahat, Mas. Bisa-bisanya berbicara seperti itu. Begitu mudahnya melepaskan hubungan ini," Valerie kesal dengan perkataan Bastian.Bastian ingat betul. Selama berhubungan dengan
"Alan tampan dan kaya. Tapi hatiku masih tertaut di Bastian. Aaahhh … bingung."Valerie sedang pusing memikirkan dua pria yang kini ada di hidupnya. Dia nyaman dengan Alan, tapi cintanya masih lebih besar dengan Bastian."Apa aku samperin Bastian ke rumahnya, ya? Minta maaf sekali lagi. Sepertinya dia mau menerimaku lagi. Bastian lemah. Seberapa kuat dia ingin menjauhiku, tetap tak bisa. Sudah beruntung ada wanita sepertiku yang mau menerima dia apa adanya." Valerie begitu percaya diri. Dia mengira Bastian akan menerimanya kembali. Akan melupakan kejadian kemarin.Valerie lantas pergi menuju rumah Bastian. Dia berangkat dari butik miliknya. Karena ketika dia sudah pulang ke rumah, maka izin untuk keluar lagi akan susah. Inilah satu-satunya cara agar bisa pergi dengan leluasa, tanpa adanya larangan dari sang ayah.Toko sembako milik keluarga Embun, buka. Valerie lantas melajukan mobilnya hingga ke depan rumah Bastian. TokTokTokTak ada jawaban. Rumahnya kosong tak berpenghuni."Kema
"Sementara Bastian belum pulang ke rumahnya, bagaimana kalau aku terima ajakan Alan untuk makan malam?" tanya Valerie pada pantulan dirinya di cermin.TriiingTriiingTriiingPonsel mahalnya kembali berdering. Itu dari Alan Mandala. Valerie berdehem, membuat suara selembut mungkin untuk menerima panggilan telepon dari Alan."Halo …." ucap Valerie setelah dia menggeser layar di ponselnya."Halo, Sayang.""Apa? Sayang?" Wajah Valerie bersemu merah. Detak jantungnya semakin kencang mendengar panggilan sayang dari Alan. Dia tak mengira kalau dirinya akan mampu merasakan cinta secepat ini setelah hubungannya terancam kandas dengan Bastian."Eh … maaf, Val. Kamu gak nyaman, ya, dipanggil sayang?" tanya Alan di seberang sana.Tentu saja Valerie menggeleng. Dia sama sekali tak keberatan dengan panggilan itu. Bahkan hatinya terasa berbunga-bunga mendengar satu kata itu terucap dari bibir Alan. Dia hanya kaget. Tak menyangka pria itu mampu menyentuh hatinya secepat ini."Val … Val. Kok gak nyah
"Nah, sekarang kamu tinggal sama kami saja, ya. Sekarang kita satu keluarga." Embun dan keluarganya merangkul Laras ke pelukan mereka. Laras kini resmi menjadi bagian dari keluarga mereka. "Ini kamar kamu, Ras. Berdekatan dengan kamar Arista."Setelah ibunya tiada, Laras mengira dirinya tak akan sanggup lagi untuk hidup—tak akan sanggup bertahan di dunia ini. Tapi dia salah. Embun dan keluarganya kini siap merangkulnya ke dekapan mereka.Malam ini, Laras memutuskan untuk tidur di kamar Arista. Gadis kecil itu merengek minta ditemani. Kecupan hangat selalu Laras daratkan di kening anak itu. Senandung merdu diperdengarkan untuk mengiringi mimpi yang akan segera datang. Arista telah tertidur.CeklekBaru saja ingin memejamkan mata dan menemani Arista di dalam mimpi, Laras harus terjaga kembali karena mendengar pintu yang dibuka."Mas Bastian?" gumam Laras.Kenapa Bastian datang tiba-tiba ke kamar Arista? Bukankah dia tahu kalau malam ini Laras yang menemani anaknya?Saat Laras sibuk me
Selain Valerie, ada satu wanita lagi yang patah hati mendengar perjodohan Laras dengan Bastian. Dia adalah Mutia, pegawai di toko Pak Salim.Mutia berjalan lunglai. Dia yang semula diperintahkan mengecek barang di gudang oleh Pak Salim, harus mendengar berita perjodohan Bastian lewat telinganya sendiri. Gudang di toko sembako milik Pak Salim memang berdekatan dengan rumah Embun dan keluarganya. "Mutia, kenapa kamu lemes gitu?" tanya Pak Salim setelah melihat salah satu pegawainya berjalan gontai."Mana catatan barang yang saya minta?" tanya Pak Salim. Catatan yang Mutia pegang kini telah beralih ke tangan bos-nya."Pak … sepertinya saya demam. Badan saya terasa lemes."Pak Salim mengerutkan kening mendengar pernyataan Mutia yang tiba-tiba ini. Padahal beberapa menit lalu, sebelum dia menyuruh pegawainya itu pergi ke gudang belakang, semuanya nampak biasa-biasa saja. Mutia sehat walafiat. Tak terlihat tanda-tanda sakit sedikitpun."Saya izin pulang lebih awal ya, Pak. Kemarin saya jug
"Nah, kenalin … ini namanya Mutia. Dia yang biasanya bantu-bantu Bapak di kasir." Pak Salim memperkenalkan Mutia pada Laras. Setelah tiga hari tak diberi kesempatan untuk membantu keluarga Embun, akhirnya hari ini Laras mendapatkan keinginannya. Dia diterima oleh Pak Salim untuk bantu-bantu di toko sembako miliknya. Laras melakukan ini karena merasa tak enak harus numpang hidup dan berdiam diri saja di rumah. Pagi tadi, saat Laras izin ke luar rumah mencari kerja, Embun lantas menahannya. Pada akhirnya gadis itu diperkenankan untuk ikut membantu mereka. "Hai, Mutia. Namaku Laras." Laras mengulurkan tangannya, berharap Mutia akan menyambut baik keramah-tamahannya."Dia ini calon istri Bastian. Tolong dibantu, ya, Mut!" Pak Salim kembali menambahkan informasi yang semakin membuat Mutia kesal. Karena merasa tak enak hati pada sang bos, Mutia pun terpaksa menjabat tangan Laras."Namaku Mutia," ucapnya singkat diikuti dengan senyuman tipis yang sedikit dipaksakan."Kalau gitu, Bapak tin
"Tak apa, Nak. Yang penting kamu senang. Ini dimakan dulu bekalnya."Pak Salim tak terpengaruh dengan aduan Mutia. Dia tak memarahi Laras seperti perkiraan Mutia. Dan memang kenyataannya Laras tak bersalah. Justru dia yang bekerja dengan keras hari ini. Sedangkan Mutia hanya fokus dengan ponselnya."Eh … Pak. Maaf, saya baru selesai beli makan." Anton datang dan bertegur sapa dengan sang bos. Pak Salim pun tersenyum dan menepuk bahu anak buahnya itu."Ras … ini aku belikan makanan buat kamu. Kamu belum makan, 'kan?"Laras lantas menatap bekal yang baru saja diberikan oleh Pak Salim. Melihat bekal yang ada di tangannya, Anton pun mengerti."Ooh … kamu sudah bawa bekal?" tanya Anton."Iya. Saya yang membawakannya. Tapi makasi ya, Ton. Kamu sudah perhatian dengan calon menantu saya," ucap Pak Salim.Anton terkejut. Calon menantu? Bukankah Laras ini pegawai baru di toko ini?"Ca … calon menantu? Bukankah kata Mutia …."Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Mutia langsung berlari mengha
TokTokTok"Permisi Bu Nadine … Permisi Pak Salim."Terdengar suara ketukan dan orang yang memanggil-manggil nama pemilik rumah.Embun dan yang lainnya menoleh ke arah pintu. Merasa heran dengan tamu yang datang berkunjung malam-malam begini. Sudah jam 9 malam."Biar aku aja yang buka pintunya, Mbak," ucap Laras. Dia berinisiatif untuk bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke depan pintu untuk melihat tamu yang datang.Semua orang di ruangan itu membiarkan Laras menemui tamu di depan.Ceklek"Loh … Laras? Kamu bener-bener tinggal di sini?" tanya Mutia.Laras terkejut dengan kedatangan Mutia bersama seorang wanita paruh baya di sampingnya. Dia adalah Bu Idah, Ibunda Mutia."Siapa dia, Mut?" bisik Bu Idah pada anaknya. Tapi Laras masih bisa mendengarnya."Dia orangnya, Bu. Gadis kampung yang berhasil memikat keluarga Bastian dengan peletnya," ucap Mutia dengan sinis."Ooh … jadi ini orangnya? Lebih cantikan kamu, Mut. Sepertinya bener kalau dia ini pakai pelet. Kalau gak, mana mungkin