Share

Si Badut Itu, Pangeranku!
Si Badut Itu, Pangeranku!
Author: Siska Kurniawati

Bab 1 Pagi Yang Membara

"Lepasin! Sakit! Tolong ...!" jerit Tania Nuraini yang terus diseret-seret dan terus dipeluk. Tiga preman itu sangat beringas.

"Diam! Stt! Jangan coba-coba kabur. Masuk ke mobil." Preman yang mengancam.

"Woy! Lepasin temanku!" Si Badut melihat jelas adegan itu dan disusul sahabatnya. Mereka berlari kencang untuk menolong.

Tania terus melawan dan berontak dari orang-orang besar dan berkulit sawo matang. Tania dan Iis dibekap kain, tubuh menjadi lemas. Preman-preman itu baru mau mengendong mereka. Si Badut dan Si Tukang Balon langsung menendang dan menarik lawannya. Baku hantam terjadi, saling serang dan bertahan begitu alot. Tania dan Iis terkulai lemah dan setengah sadar di pinggir trotoar. Tania memfokuskan matanya, melihat pertarungan dashyat. Si Badut alias Asep Saepudin mengeluarkan jurus silat, sedangkan Si Tukang Balon alias Ujang Sumarwan mengeluarkan jurus taekwondo. Preman-preman itu pun takluk dan memilih mundur.

"Tania! Iis! Sadar, ini kami." Ujang yang membawa minyak kayu putih dan sapu tangan menghapus aroma bius itu.

"Tania, lihat sini. Ini angka berapa?" tanya Asep sambil mengacungkan dua jarinya.

"Dua! Asep? Ujang?" tanya Tania yang mendekatkan wajah ke Asep.

"Enggak usah deket-deket mukanya. Nanti aku enggak tahan, loh." Asep Si Badut langsung mendorong wajah imut itu untuk menjauh.

"Aku takut!" lirih Tania. Tania dan Iis menangis pilu. Dua pria itu saling bertatapan. Masing-masing ditenangkan dengan mengelus punggung.

"Apa ini sindikat orang itu?" bisik Asep ke Ujang yang sedang berpikir. Ujang menggelengkan kepalanya.

"Belum, pasti. Amankan mereka dulu. Mereka dalam bahaya!" bisik Ujang yang menenangkan Iis.

"Ko kamu ada di sini?" tanya Tania yang terus menghirup saputangan itu.

"Hmm, aku kebetulan lewat saja. Baru pulang dari aktraksi di taman. Ada yang terluka?" Si Badut, menyodorkan tangannya.

"Aku enggak apa-apa." Tania mengelus lutut dan tangannya.

"Bohong." Asep langsung menggendong ala bride style, Tania merangkul lehernya sambil memejamkan mata. Wajah mereka sangat dekat.

"Engkelku sakit! Gendong!" rayu Iis ke Ujang sambil meringis kesakitan.

"Hah, manja! Sini!" Ujang berjongkok, Iis tak menyangka. "Mau enggak?" Iis pun memeluk leher Ujang dengan senyum-senyum sendiri.

"Malam-malam jangan berdua saja. Pulang kerja minta jemput kakakmu bisa, kan?" tegur Asep memarahi Tania yang cemberut.

"Mereka siapa? Preman mana? Rentenir?" Asep menoleh dan menatap dalam mata cokelat itu.

"Enggak, tahu. Aku juga enggak paham, kenapa? Jahat!" Tania terisak-isak lagi dan mempererat rangkulan. Kepalanya menyentuh leher Asep.

"Tutup matamu, kalau aku suruh buka. Baru buka matamu."

"Mau apa?" tanya Tania. Pria itu terdiam. Tania pun menuruti saja.

Perjalanan yang sunyi, Asep dan Ujang meletakan dua wanita itu di kursi besi. Asep dan Ujang sibuk mempersiapkan kejutan. Terdengar suara gemercik api, tercium bubuk yang terbakar. Asep berbisik ke Tania, "Buka matamu." Tania dan Iis terkejut dan terkesima dengan belasan kembang api yang dinyalakan dan disusun mengelilingi mereka. Mereka ada di sebuah taman bunga.

"Waw, indah! Sungguh indah, Asep. Terima kasih."

***

Keesokan harinya.

"Aduh, Gusti ... aku harus gimana ini? Hari ini harus beli obat, stock makanan, dan belum bayar hutang lagi!" Wanita berambut ikal sepunggung itu, mengacak-acak rambut hitamnya.

"Tabungan tinggal segini! Semoga sampai ke tanggal gajianku," lirih Tania saat melihat buku tabungan. Dia beranjak dari kasur dan mencari seseorang.

Di Perumahan Balista, Cikole, Lembang-Bandung. Begitu asri penuh perkebunan, taman bunga, dan lahan hijau sangat menyegarkan jiwa. Berbeda dengan Tania Nuraini, wanita single kebingungan. Dia sebenarnya malu untuk meminjam uang. Dia berjalan ke arah teras, memandangi sesosok pria tinggi berkulit kuning langsat yang susah payah menyalakan motor matiknya. Gema Suryo menoleh ke Tania dengan tersenyum hangat. Namun, dari arah belakang terdengar suara piring plastik dibanting ke meja makan.

"Eta Si Eneng! Baru bangun jam segini! Liat meja kosong gini, belum masak? Lapar, yeuh!" omel Cindy yang langsung melemparkan tudung saji ke Tania.

"Istighfar, Cindy! Tolong, jangan kasar. Dia kemarin baru pulang tengah malam. Tania kerja, loh! Kasian cape. Harusnya kamu bantu adikku urus rumah. Bukan, yang diurus kuku sama rambut saja!" seru Gema sambil mengambil tudung saji. Dan mengecek keadaan Tania yang meringis kesakitan.

"Ih, mulai! Belain terus. Adik tiri ini dibela! Males. Dapur itu buat pembantu!" timpal Sang istri yang memandang sinis Tania.

"Apa maksudmu? Tania itu pembantu? Gila kamu! Dia tetap adikku! Akanku bela sampai kapan pun."

"Kamu yang gila! Ya. Puas! Jadi, enggak nafsu makan. Ah!" Cindy duduk di kursi tamu.

"Akang, sudah-sudah. Nanti aku masak kok." Tania menenangkan Gema dan meletakan benda berwarna biru itu di meja tamu.

"Enggak usah, nanti beli makanan yang sudah jadi saja. Kamu sekarang berangkat kerja lagi, kan? Istirahatlah dulu. Jadi, ada apa?" tanya Gema yang menghela napas panjang.

"Uang sudah menipis. Akang, punya uang enggak? Tania mau pinjem dulu. Nanti aku ganti pas gajian, deh."

"Oh, ada. Nih, ambil semua." Gema mengelus rambut Tania, adik tirinya yang mulai berkaca-kaca. Pria itu memberi uang lebih untuk memenuhi kebutuhan yang lain.

"Ini kebanyakan. Nanti ibu sama Teh Cindy marah lagi." Tania menyodorkan lagi. Gema menggelengkan kepala.

"Terima kasih. Kang Gema jaga kesehatan juga. Mata bengkak dan merah. Lembur lagi, ya?" Kakak tirinya terdiam, terlihat mata mulai berkaca-kaca juga.

"Hutang kita banyak! Paham, kan?"

Gema menatap dalam Tania, bersyukur di keluarga masih ada tempat untuk saling bersandar. Mereka saling menggenggam tangan begitu erat. Hati Kakak-Adik tak sedarah itu sangat terluka dalam. Harus bisa mengalah demi ketenangan bersama. Apa lagi posisi Gema serba salah, satu sisi Cindy istrinya. Satu sisi lagi ibu kandungnya, Gema jadi susah mengambil keputusan. Tania dan Gema menoleh bersamaan, memfokuskan pendengaran. Terdengar suara wanita berteriak histeris dari arah kamar. Mereka syok pintu dibuka kasar, melihat foto pigura melayang dan menghantam tembok. Wanita berambut Bob Klasik hitam itu cek-cok hebat. Tidak kalah pria yang terus menarik baju daster untuk menahan kepergian sang istri.

"Teuing! Teu paduli! Aku butuh berkas ini. Aku minta uang saja susah. Makanya, jangan lumpuh!" hina Rose, sang ibu tiri, sambil membawa berkas sertifikat rumah.

"Astaghfirullah aladzim! Istighfar, Rose! Kan, uang udah dikasih. Masih kurang? Buat apa atuh?" tanya pria paruh baya yang berbaring di lantai karena jatuh dari kasur.

"Kurang! Kenapa, ya. Aku menikahi orang miskin!" Rose mencebik. "Shopping, Hangout, Manicure and Pedicure lah!" Rose menepis dan mendorong suaminya hingga tersungkur ke belakang.

"Rose Daryoto!" jerit pria berumur 60 tahun yang tak berdaya, mengejar pun harus menyeret tubuhnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status