"Lepas! Ibu, aku mohon!" lirih Tania yang mencoba melepaskan tangan Sang ibu.
"Ah! Sialan! Siapa itu?" jerit Rose yang merasakan sakit di punggungnya sampai jatuh tersungkur. "Aku, kenapa? Lepasin Tania!" murka Iis setelah melemparkan kursi lipat itu. "Tahan!" tegas Ujang yang menarik paksa Iis yang sudah marah besar. "Kemari!" Asep menarik lengan Tania dan menghadang tangan Rose yang ingin melukai Tania lagi. "Ibu!" Gema sudah naik pitam dan menampar Rose. "Asep, Ujang. Terima kasih. Tapi, ini urusan kami. Maaf, kalian pulang saja. Mengerti, kan?" mohon Gema yang merasa malu. Dan dia menatap dalam dua pria itu. "Baik, kami paham. Semuanya, kami pamit. Assalamualaikum." Ujang menepuk bahu Asep untuk jangan ikut campur. "Hubungi aku. Jika butuh pertolongan. Oke!" bisik Asep ke Tania. Tania menarik baju Asep yang sangat berat untuk melepaskannya. Tangan kekar itu menepuk lembut tangan Tania. Dan perlahan dua pria itu pergi. "Waalaikumsalam, Tania masuk. Cindy! Masuk ke kamar! Iis pulang ke rumahmu." Gema menarik tangan tiga wanita yang masih syok atas murkanya. Apa lagi Rose yang terdiam sembari menahan sakit di pipi dan punggung. Tania tidak ingin berbicara sedikit pun, hanya berpamitan ke Ucup untuk istirahat. Gema memandang sendu dari balik pintu kamar Tania. Gema paham rasa benci dan marahnya terhadap Sang ibu. Tania yang malang menangis pilu dengan dada yang sesak dan napas tersengal-sengal. Penyakit bawaan yang kambuh kembali. Wanita bermata sendu itu tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya kembali demam tinggi dan menggigil. Keesokkan harinya, Gema ingin membangunkan Tania pun tersentak saat melihat adiknya lemas tak berdaya. Sang kakak memeriksa dan memberi roti untuk sarapan lalu memakan obatnya. Gema sangat cemas dengan keadaan yang kacau itu. Dia menelepon Gilang untuk memberi ijin sakit untuk Tania. "Yuk, ke rumah sakit aja, ya? Napas kamu makin pendek," bujuk Gema yang tidak tega melihat Tania seperti itu. "Pa-paling di u-uap, Kang. Ke kli-nik ... saja. Lebih murah di-kit." Tania merasa sesak napas. Gema menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan bandel! Ayo!" Mengambil jaket tebal dan kupluk. Menyuruh Tania berganti pakaian. "Kang Gema, enggak kerja? Bi-biarin, aku pergi sen-sendiri." "Kamu teh lagi sakit. Kalau pingsan di jalan gimana? Nurut!" "Oke." Mereka pun bersiap-siap, meminta ijin ke Ucup untuk berobat ke IGD di RSUD Lembang Bandung. Dua orang yang sedang menaiki motor, dibuntuti seseorang dari belakang. Tania yang penasaran melirik spion depan. Di belakang Tania dan Gema ada satu mobil Suzuki APV hitam. Lalu di samping mobil itu ada motor Honda Supra X warna hitam strip merah. Tania menyipitkan matanya, merasa tidak asing dengan motor itu. Namun, lupa lagi siapa yang menggunakan motor Supra X itu. Dua orang yang menggunakan helm full face, menyulitkan Tania untuk mengenalinya. Saat berhenti di lampu merah, motor itu pun berhenti tepat di samping motor matik Gema. Mata tajam Gema terus mengamati penumpang di belakangnya. Dia menyadari gerak-gerik adiknya yang aneh. "Ada apa? Itu temanmu? Kenal?" tanya Gema yang membuat Tania tersentak kaget. "Eh, entahlah. Sepertinya kenal. Tapi, siapa, ya? Dari tadi ngikutin." Tania memiringkan kepalanya hingga berpapasan melihat wajah Gema di kaca spion. "Hah, itu perasaanmu saja. Kalau dingin pakai sarung tangannya." "Mungkin, oke. Sudahku pakai." Tania menunjukkan dua tangannya ke depan. "Tolol! Kenapa diam di sini!" geram penumpang motor Supra X yang memukul helm pengemudinya. "Lupa! Mundur juga percuma." Pria yang di depan itu menggerakkan kepalanya ke belakang sampai beradu helm. "Duh, mobil APV itu. Pasti suruhan preman, kan? Harusnya kita di belakang itu biar aman, Tata!" "Ari poho! Kumaha deui, Kang Doni. Paling penting yang di motor matik itu. Jangan sampai lepas!" Gema dan Tania sampai dengan selamat, berobat dengan mesin uap. Penyakit asma Tania sangat parah. Stres dan kelelahan semakin memperburuk. Gema menunggu di luar, menoleh ke belakang terus menerus. Dia gelisah melihat gerombolan pria serba baju hitam terus mondar-mandir. Dia mengingat Rose yang membuat kacau hidupnya. Pengobatan pun hanya satu jam. Gema langsung mengajak pulang sang adik setelah membeli obat. Firasat sang kakak pun terjadi, mobil APV hitam terus menempel ke motor. Kejar-kejaran pun terjadi, motor Supra X tak mau kalah mengejar dua kendaraan yang ada di depannya. Tania panik dan memeluk erat Gema. "Kang, mereka siapa? Aku takut! Kya!" teriak Tania saat mobil itu menyenggol motor. "Enggak tahu! Pegang yang erat! Aku mau ngebut!" sahut Gema yang bermanuver berbahaya. Menyalip dan menghindar terus dengan kecepatan tinggi. "Berhenti! Aku bilang berhenti!" Pria yang membuka kaca depan dengan menodongkan parang. "Jangan berani menyentuh mereka!" murka Tata yang muncul dari samping mobil. Doni yang di belakang mengeluarkan pentungan dan menghantam tangan pria yang mengacungkan senjata tajam itu. Pengendara motor itu menghantam kuat mobil hingga oleng, satu orang itu meloncat ke kap mobil dan satu meloncat masuk ke kaca. Mobil berhenti hampir menabrak pengendara lain. Gema yang sudah jauh berhenti mendadak, melihat perkelahian sengit warga yang menghancurkan mobil itu. Tanpa berpikir panjang lagi melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah. Tania menangis tersedu-sedu, nyawanya benar-benar terancam. Baru saja mereka sampai mendengar percakapan Rose dan Cindy dari balik kamar Ucup. "Ya, mau gimana lagi. Aku mah ingin cepat-cepat dilunasin biar bisa ngutang lagi." Suara Rose yang menggema. "Pokoknya, Bos Abdullah sudah berjanji seperti itu. Kalau kalian tidak bisa melunasinya. Tania nikah aja sama Si Bos. Bereskan!" geram Rose dengan cekikikan bersama Cindy. "Bos sudah lihat wajah Tania, loh. Sesuai seleranya," timpal Cindy menepuk-nepuk bahu Ucup yang menahan marahnya. "Tania, masuk ke kamar. Beristirahatlah. Akang yang urus semuanya. Itu tidak akan terjadi!" Gema memeluk dan memapah Tania yang hanya terdiam. Sang adik hanya menangis dan meringkuk di kasur. Sakitnya melebihi sakit fisik, mentalnya sudah terkoyak-koyak. Tania pun perlahan terlelap tidur. *** Pukul 17.00 WIB, Taman Galaksi sangat ramai. Si Badut sangat murung, sebab asistennya tidak datang. Si Tukang Balon berkali-kali menghela napas berat. Suara riuh orang-orang yang bercengkrama dan suara musik pun membuat mereka tidak bersemangat. Pertunjukan sudah selesai pun Tania belum datang juga. Mereka sangat khawatir mengingat kejadian malam itu. Asep menatap langit senja, Ujang berkemas-kemas hingga melirik ke kanan. Ujang memfokuskan penglihatannya, mata pun menyipit. Dia melihat seseorang yang sangat dikenal berjalan ke belakang taman, tapi sedikit ragu. "Ate, Kangen, ya? Murung terus?" tanya Ujang. "Apa sih! Aku khawatir saja. Apa Tania baik-baik saja?" terka Asep yang menyender ke kursi besi. "Hah, kok bisa sih di keluarganya seperti itu. Tadi aku melihat seseorang deh. Tuh." Ujang menunjuk ke kursi besi di taman belakang khusus bermacam pohon besar. "Tania, ya? Kok enggak ke sini sih." Asep langsung menghampiri. Dia terdiam sejenak sebab mendengar tangisan pilu. Dia berbalik arah dan berlari ke Ujang lagi. Asep memaksa Ujang untuk membuat buket bunga mawar dari balon. "Halo, aku Si Ate. Badut yang imut, seperti wanita di depanku ini. Yah, ... imutnya luntur." Hibur pria badut itu, menyeka air mata Tania. Lantas bersimpuh dan memberikan buket bunga mawar dari balon. "A-aa Asep? Makasih! Uh ... huaa!" jerit wanita berambut hitam itu. Dia menerima lalu tangan kanannya memeluk erat buket itu. "Ada apa? Cerita atuh." Asep perlahan menepuk-nepuk bahu dan menggenggam erat tangan Tania. "Aku malu! Ini aib paling menjijikan! Aku enggak bisa cerita ke Iis. Iis pasti marah banget," keluh Tania yang membalas genggaman itu dengan menatap dalam Asep. "Jangan dipendam sendiri. Aku juga temanmu, kan? Aku sakit kalau melihatmu seperti ini." Asep melepaskan hidung merah itu dan duduk disampingnya. "Ya, aku bingung. Cerita yang pasti buat orang kabur hanya mendengarkannya saja. Tapi, cuma Aa yang selalu ada di sisiku. Di kondisi apa pun. Selalu menolongku. Terima kasih, Aa." "Ujang, Iis, Gema, dan Abah selalu di sisimu juga. Jangan sampai lupa! Kamu tidak sendirian. Sama-sama." "Aku mohon. Berceritalah. Jangan sungkan." Tangan kekarnya mengelus lembut rambut Tania yang terurai. Tania terdiam dan tangisnya semakin kencang lagi. Asep menghela napas panjang, mulai kebingungan. Dia merogoh saku mengambil tiga bola warna-warni. Langsung dilempar ke atas dengan bergiliran. Tania mulai melirik Asep yang beratraksi bola. Wanita itu menghapus air mata, serius menonton Si Badut. Berlanjut keaktrasi selanjutnya melompati tali, sampai ke aktraksi paling Tania sukai yaitu sulap dan akrobatik. Tania masih sesekali sesenggukan, sedikit tersenyum malah menangis lagi. Asep geram memegang wajah Tania hingga saling bertatapan. Pria itu mendekatkan dahinya ke dahi Tania dan Asep berkata, "Kalau tidak cerita. Apa kamu mau aku cium paksa?" Otomatis wanita berparas cantik itu merona, jantung berdebar, dan bingung untuk menjawabnya. Tania pun mengangguk akan bercerita saja, tentang semua hal. Dari curhatan ke Iis pun pria itu jadi tahu. Asep duduk disampingnya sambil merangkul bahu Tania. Asep sangat baik mendengarkan tanpa menyela sedikitpun. Tania sesekali menempel di dada lebar Asep yang kokoh itu. Karena kisahnya yang sangat menyakitkan membutuhkan sandaran. Asep syok saat mendengar satu nama. Dia mencengkeram kuat kedua bahu Tania. Wanita itu terkejut melihat raut wajah Asep yang terlihat marah. "Siapa? Abdullah? Nama belakangnya apa?" cecar Asep yang tidak percaya dengan pendengarannya. "Aku juga enggak tahu. Cuma dengar Bos Abdullah, gitu!" jawab Tania yang meringis kesakitan. Si Badut sadar dan melepaskan tangannya. "Kalau ditanya soal melunasi. Jujur aku enggak bisa kalau terburu-buru. Aa, aku enggak mau! Takut! Lebih baik aku menikahi pria yang jelas. Bawa Abah dan aku keluar dari rumah itu." Lanjutnya dengan menggenggam baju badut itu. "Gawat! Apa aku harus menyelam sambil minum air, kah?" gumam Asep yang berpikir keras. "Hah! Maksudnya?" "Setidaknya dengan hal ini. Aku dan Tania diuntungkan. Entahlah, untuk rasa masih terlalu asing. Yah, sambil menyusun rencana yang lainnya," batin Asep. Dia yang tersentak oleh sentuhan dari tangan Tania. "Bukan apa-apa. Lupakan. Kalau aku yang mengajakmu menikah, mau tidak? Tapi nikah kontrak dulu." "Nikah kontrak? Ta-tapi, aku ingin menikah sungguhan, Aa!" terang Tania yang cemberut. "Nikahnya beneran, Cantik. Cuma ah ... gimana, ya. Aku menjelaskannya." Asep menggaruk kepalanya yang kebingungan. "Dengar, maksudku. Kita buat perjanjian pranikah. Neng sama Aa tentuin syarat, inginnya apa dan maunya gimana. Harus dalam kontrak yang tertulis dikertas dan bertandatangan di atas materai." "Oh ... tapi, kenapa? Aa suka sama Neng? Apa karena kasihan? Aa jangan mempermainkan perasaanku." Mata sembabnya kembali berlinang air mata. "Suka? Aku pun masih ragu. Bukan, aku tidak akan menyakitimu! Paham! Sejujurnya, aku pun selalu didesak orang tua untuk segera menikah. Kalau tidak aku pun dijodohkan." Asep menjawab dengan sedikit berbohong. "Tania, kamu suka sama aku? Mau sama aku yang cuma kerja jadi badut? Aku merasa tidak pantas kalau bersanding denganmu." Lanjut pria yang murung kembali. "Entahlah, aku pun bingung. Semua rasa terlalu campur aduk. Dijodohkan? Hah ... malah aku yang merasa tidak pantas Aa. Hutangku banyak dan keluargaku kacau." "Soal pekerjaan aku tidak masalah. Selama Aa mau bekerja dengan halal. Aku tidak mau menunda-nunda pernikahan lagi. Tapi ... ibu tiriku pasti menyulitkan aku lagi." Lanjut wanita yang menatap langit yang sudah gelap. "Hm, Itu bukan salahmu dan bukan hutangmu. Setidaknya, kamu aman dan terlindungi saat menikah. Soal ibu tirimu, aku akan pikirkan nanti." Asep menatap dalam Tania. "Yang harus kamu tahu. Aku tidak ikhlas kalau kamu menikah paksa sama orang lain. Aku tidak suka kamu hanya dijadikan barang dan pencetak uang. Gimana? Mau?" tanya Asep yang kedua kalinya. Tania hanya terdiam. "Baiklah, tapi aku masih bimbang. Takut juga." "Ok, aku paham. Ini terlalu mendadak. Lusa, kita bertemu di sini dan sudah membawa list persyaratan dengan materai. Kalau sudah sepakat, aku ke rumahmu dan kamu ke rumahku." Asep mengelus lembut rambut lawan bicaranya, perlahan memberikan senyuman manisnya. Tania pun tersenyum juga, hatinya begitu lega sekali. Pria berumur 30 tahun itu, memberanikan diri untuk maju. Tania tertekun melihat bibir merah yang masih bermake-up badut. Bibir di atas tipis dan tebal dibawah, Tania menyentuh bibir seksi itu. Asep menahan tangan mungil itu, wajahnya pun maju dan mengecup kening Tania. Wanita itu terpejam sebentar, tubuhnya merasakan setruman yang aneh. "Tubuhmu kok hangat? Sakit?" tanya Asep. "Begitulah, asmaku sering kambuh akhir-akhir ini." "Sekarang, kita pulang. Sudah malam dan kamu harus istirahat." Mereka pun berjalan bersama, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Asep yang masih malu-malu, mencoba untuk bergandengan tangan. Dua orang yang masih bingung dengan perasaanya masing-masing. Terhanyut dalam diam yang menenangkan hati. Akhirnya, mereka pun sampai. Gema yang sedang menunggu di teras. Asep pun mengantarkan Tania sampai teras. Dia memberi salam dan berpamitan pulang. Gema yang mengerutkan kening saat melihat adiknya tersipu malu dan senyum-senyum sendirian. Dia jadi penasaran. Asep pun pulang dan berjalan sendirian, sambil melepaskan wig rambut. "Keluar kamu!" perintah Asep dan berbalik ke arah pohon besar di trotoar. "Kamu yakin? Tolong, fokus bekerja dong, Kang. Jangan pakai perasaan. Kasian, anak orang." Pria bertubuh sedang itu keluar dari pohon dan merangkul sahabat karibnya. "Yakin, tidak akan! Tenang soal pekerjaan mah. Yang penting sama-sama untung, kan? Aku bisa lebih dekat lagi dengan semuanya." Asep tersenyum simpul.Tania terdiam diujung kasur, menatap langit dari jendela kamarnya. Cahaya remang-remang dari bulan menyoroti kasur itu. Tania tersenyum dan berguling-guling di kasur dengan sprei warna merah mudanya. Dia memeluk bantal, lalu cekikikan saat mengingat kejadian tadi. Tangan kanannya meraba kening dan perlahan dielus-elus. Dia tidak menyangka Asep akan melakukan hal itu. Wanita yang masih tersipu malu, merogoh ponsel di sakunya. Ibu jari terus menggeser layar, hingga berhenti di satu foto. Saat Tania dan Asep saling berpelukan. Tania mengigit bantal dan kaki menendang-nendang ke atas. Kring! Kring! Kring! "Belum tidur?" sahut Asep bersuara bass dari seberang sana. "Belum, banyak pikiran. Aa enggak tidur?" tanya Tania yang merasa meleleh saat mendengar suara pria itu dari telepon. "Belum, sama banyak pikiran juga. Soal yang tadi, aku minta maaf nyentuh sembarangan, Neng." "Kenapa minta maaf? Neng, malah senang loh! Eh ... ups!" Tania memb
"Oke, oke. Maaf, bukan maksud yang aneh-aneh. Enggak, Akang juga tahu kita cuma sahabat dan teman saja. Aku tahu ... tapi," jelas Tania yang menunduk."Kang Gema, enggak mau aku bahagia? Begitu?""Bukan! Kamu harus bahagia, tapi aku takut kejadian yang lalu terulang lagi. Kamu yakin? Ibu pasti marah besar." Gema memegang bahu Tania hingga saling pandang."Yakin! Hatiku berkata seperti itu. Aa Asep pasti bisa menghadapi ibu. Tidak akan terulang lagi, Kang.""Apa karena pekerjaan Aa Asep, Kang? Akang jadi ragu?" tanya Tania yang duduk di pinggir kasur."Iya, tapi aku percaya Asep akan berjuang untukmu. Kamu tahu sendiri. Ibuku yang jadi masalahnya." Gema bersimpuh dan menggenggam tangan sang adik."Itulah yang ingin dibuktikan sama Aa Asep. Bahwa dia mampu dan bisa. Dan aku pun ingin buktikan tanpa pacaran bisa kok menikah.""Oke, aku paham. Ibu pasti nolak atau malah merendahkan Asep. Seperti mantanmu, Galuh. Bagaimana? Asep s
Dua pria itu asik menikmati santap malamnya. Namun, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh piring saja. Tidak ada yang memulai percakapan. Asep menatap lekat calon kakak iparnya itu dengan seksama. Dia belum berani memulai, ada rasa segan ke Gema. Walau seumuran Asep merasa Gema jauh lebih dewasa daripada dirinya. Gema menyadari gestur Asep yang penasaran dengan topik pembicaraan. Dia pun menatap lama calon adik iparnya itu. Dia jauh lebih penasaran kehidupan Asep. Sejak kapan Tania dekat, mengapa memilih Tania, dan semua pertanyaan bercampur aduk di kepalanya. Gema menghela napas panjang, lalu meletakkan piring kosong di sampingnya. Dia pun duduk bersila dengan menghisap rokok. "Apa yang membuatmu tertarik dengan adikku? Kamu sudah yakin?" tanya Gema penuh dengan penekanan. "Sudah, banyak hal. Tapi, yang pasti senyumannya, kebaikannya, kesetiannya. Dalam pola pikirnya dan mengambil keputusan." Asep cepat-cepat menelan baksonya. "Tapi, kamu tahu se
"Aa, sudah aku mohon!" lirih Tania yang menangis dengan memalingkan muka. Asep langsung melepaskan bibir seksinya."Ma-maaf, aku minta maaf!" mohon Asep yang langsung menjauh dan mendekap mulut. "Apa yang aku perbuat? Kenapa? Bodoh! Aku bodoh!" batin Asep yang mengatur napasnya."Ada apa sama Aa? Kenapa dilanggar sih?" murka Tania yang bangun, rambut yang masih berantakan langsung dirapikan. Warna lipstik yang menyebar ke semua bibirnya dan bibir Asep."Maaf, enggak tahu kenapa! Tapi, jujur saja aku tidak bisa mengendalikannya." Asep menghapus air mata Tania. Dan Asep menghapus bekas lipstik di bibirnya."Aku salah! Tampar! Tampar aku!" teriak Asep yang menarik telapak tangan Tania ke arah pipinya yang masih penuh lebam itu."Enggak, aku enggak tega. Masa aku buat orang sakit makin kesakitan. Aa kenapa? Aa suka sama aku?" cecar Tania yang meletakan telapak tangannya di pipi Asep. Lalu mengelus lembut luka itu."Iya. Aku
"Nanti kamu pulang langsung ke rumah. Jangan minta yang aneh-aneh sama Ujang. Oh, jangan pelukan di motor! Paham?" perintah Asep saat melihat wanita itu siap-siap pulang bersama Ujang. "Oke, Hottie. Cie, cemburu nih?" goda Tania dengan merangkul lengan Ujang. Ujang pun langsung merespon dengan mimik wajah super model. "Lepas, Ujang! Iya, enggak suka." Asep melempar bantal lagi ke arah wajah Ujang. Langsung disambut tertawa jahil dari mereka. Tania bersalaman dan berpelukan sebentar. "Aa makan yang banyak. Istirahat yang cukup. Biar nanti aku bisa ketemu ibu dan ayah Aa." Tania menoleh ke arah gantungan baju. Dia baru berdiri dan sadar ada benda aneh di situ. "Aa itu apa? Ada rompi yang sering dipakai tentara sama polisi gitu deh?" tanya Tania yang membuat panik kedua pria itu. Ujang langsung menutup gantungan yang ada di belakang pintu. "Oh, itu. Dulu kalau tampil di event ulang tahun atau syukuran anak-anak sekolah. Pakai itu." Ase
"Iya, tapi jangan pakai baju seksi. Pakai kaos sama celana pendek selutut. Paham?" cetus Asep yang membuat Tania cekikikan. "Aa juga sama jangan yang ketat dan pendek. Paham?" balas Tania yang membuat Asep tertawa lepas. Mereka pun berangkat lagi dengan hati senang. Di belokan setelah jembatan kuning, Asep masuk ke gang kecil dan masuk lagi melewati gapura. Mereka pun berhenti di sebuah rumah dengan halaman belakang perkebunan dan sawah. Rumah sederhana berwarna biru langit dan putih. Ada dua orang yang sudah menunggu di depan teras duduk di bangku rotan. Wanita dan pria paruh baya dengan uban yang menghiasi rambutnya. Mereka tersenyum manis dan berdiri menyambut sang anak dan calon mantunya. Nissa berlinang airmata, langsung memeluk erat Asep. Sang ayah Uun Kurniawan menepuk-nepuk bahu anaknya. Dia menarik lembut Tania dan mereka saling berpelukan hangat. Mereka menangis bahagia dan rindu yang terbayarkan. Asep memang sudah lama tidak
"Lepasin! Sakit! Tolong ...!" jerit Tania Nuraini yang terus diseret-seret dan terus dipeluk. Tiga preman itu sangat beringas. "Diam! Stt! Jangan coba-coba kabur. Masuk ke mobil." Preman yang mengancam. "Woy! Lepasin temanku!" Si Badut melihat jelas adegan itu dan disusul sahabatnya. Mereka berlari kencang untuk menolong. Tania terus melawan dan berontak dari orang-orang besar dan berkulit sawo matang. Tania dan Iis dibekap kain, tubuh menjadi lemas. Preman-preman itu baru mau mengendong mereka. Si Badut dan Si Tukang Balon langsung menendang dan menarik lawannya. Baku hantam terjadi, saling serang dan bertahan begitu alot. Tania dan Iis terkulai lemah dan setengah sadar di pinggir trotoar. Tania memfokuskan matanya, melihat pertarungan dashyat. Si Badut alias Asep Saepudin mengeluarkan jurus silat, sedangkan Si Tukang Balon alias Ujang Sumarwan mengeluarkan jurus taekwondo. Preman-preman itu pun takluk dan memilih mundur. "Tania! Iis! Sadar, ini kami." Ujang yang membawa minyak k
Rose menarik Cindy, mengajaknya untuk pergi ke bank. Tania dan Gema langsung berlari ke dalam untuk mencegah mereka. Tentu tenaga Gema lebih besar dan dapat merebut berkas itu. Cindy yang marah merebut kunci motor dengan cepat. Tania terkejut, tangan Rose mendarat tepat di pipi anak kandungnya. Tania ingin menampar balik, tetapi ditahan oleh Gema. Namun, Tania lengah baru mau menoleh. Tangan Cindy mendarat di pipi adik iparnya. Gema langsung memeluk adiknya yang terguncang. Anehnya, Rose masih sempat mengambil uang yang masih digenggam Tania. Gema terus menahan tubuh mungil yang terus bergetar hebat. Tania menahan amarahnya demi Gema. Rose menarik paksa merebut berkas lagi, dibantu menantunya. Gema pun bertengkar hebat, melawan dua orang yang sangat dia sayangi. Saat Tania ingin menolong ayah kandungnya, langkahnya terhenti karena mendengar satu kalimat dari Cindy Berna. "Kalau saja kamu nikah, kita bisa hidup enak! Apa susahnya sih dijodohin enggak mau." "Ulangi lagi!" murka Tania