Share

Bab 5 Si Badut Beraksi

"Oke, semua setuju, kan. Jadi, aku yang memilih tempatnya. Ada dua tempat mau ke Farm House atau Orchid Forest di Cikole. Mau yang mana?" usul Iis yang membuat semua berpikir keras. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan.

"Orchid Forest atuh!" Serempak Ujang dan Tania menjawab kegirangan. Asep menepuk jidatnya lagi.

"Tetap, kita minta ijin dulu ke keluarga kalian, kan?" ujar Asep yang membuat mereka berpikir. Dan sepakat setuju, berangkat ke rumah Tania dan Iis. Sekalian menitipkan barang-barang mereka.

"Bagaimana Gema dan Abah, boleh? Ayolah ...," tanya Tania.

"Pak, Bu. Boleh, kan? Ya, ya!" tanya Iis ke kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama di teras rumah Tania. Asep dan Ujang tersenyum tetap menunggu di teras dekat gerobak.

"Duh, berdebar jantungku. Seperti bertemu camer nih." Ujang menarik napas dalam-dalam.

"Huhf!" Asep menahan tawanya.

Asep Saepudin dan Ujang Sumarwan sudah sangat akrab dengan warga setempat. Mereka sering membantu kegiatan RT dan RW. Juga mengontrak di jalan besar seberang taman Galaksi. Gema menatap dalam Si Badut. Pak Aan pun menatap Ujang, kedua pria itu menundukkan kepala. Pak Aan memanggil mereka untuk berbicara sebentar.

"Cuma ke sana saja? Tidak ke mana-mana lagi? Tidak ada maksud lain, kan?" cecar Aan yang penuh curiga. Gema menepuk-nepuk bahu Asep.

"Iya, Pak. Kang Gema. Cuma dua jam di sana. Langsung pulang kok." Ujang meyakinkan.

"Baiklah, jangan lebih dari jam 21.00. Jaga mereka dan hati-hati di jalannya," ucap Gema yang disetujui Aan.

***

Para wanita bersorak gembira, langsung masuk berdandan rapi dan cantik. Ujang dan Asep berbincang bersama keluarga kecil Tania dan Iis. Mereka pun berangkat dan sampai di tempat wisata Orchid Forest, Cikole, Lembang-Bandung. Di sana penuh pohon pinus, kebun bunga, dan resort yang indah dihiasi lampu gantung warna-warni. Paling lucu adalah pria-pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang melihatnya. Ujang dan Asep tetap menggunakan kostum pentas tadi. Tania dan Iis tertawa dengan memukul tangan masing-masing. Dengan percaya dirinya tetap berjalan-jalan dan berswafoto. Saat foto berempat Iis sangat jail, dia mendorong Tania ke samping. Dibantu Ujang dari belakang mendorong Asep. Hingga dua orang itu bertabrakan dan saling berpelukan. Lensa kamera pun mengabadikan momen itu. Pria bermata cokelat nan tajam, begitu lekat menatap wajah cantik Tania. Jantung Asep berdebar kencang, untuk pertama kali baginya terpesona oleh sesuatu. Wajah pria yang kaku itu berubah jadi merah merona lagi. Tania semakin mati kutu, wajahnya pun semerah tomat. Tania melihat jelas rahang yang kokoh, tanpa sadar menyentuhnya. Ujang dan Iis memberi jempol, misinya sukses.

"Permisi!" ujar Asep yang berlalu pergi ke kursi kayu. Menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Aku ada di mana ini. Apa aku di surga, ya?" Tania berjongkok menghadap lampu jalan dan menahan jeritnya.

"Momen yang tepat. Ayo, kita pergi aja. Bukannya mau ke toilet tadi?" tanya Iis ke Ujang yang membenarkan perkataannya. Mereka cekikikan meninggalkan kedua sahabatnya.

"Iis ... Kamu—, kok pada pergi! Ujang! Iis!" panggil wanita berambut ikal panjang itu. Asep menoleh dan menghampiri Tania.

"Kamu enggak apa-apa? Kenapa berteriak?" Asep celingukan mencari Ujang dan Iis.

"Ah, maaf. Aku kaget saja. Tiba-tiba sendirian. Aku tidak suka sendirian." Suasana hati Tania berubah jadi sendu.

"Oh, tadi aku merasa tanganmu dingin. Ada yang sakit?" Tania terdiam dan napasnya mulai tersengal-sengal. Asep menyadari itu, menarik tangan untuk duduk di kursi.

"Aku kedinginan ... jalan jauh. Aku punya asma. Ambil Ventolin Inhalerku di tas! Cepat!" pinta Tania yang mulai batuk-batuk dan merasa sesak napas.

"Oke, sebentar. Makannya jangan pakai short dress tipis gini sih." Dia menemukannya. Tania langsung menghisap obatnya dengan cepat. Asep mengambil jaket kulit warna cokelat di tasnya, langsung diletakkan ke punggung Tania.

"Pakai."

"Nanti kamu kedinginan juga!"

"Tidak, aku bisa genggam tanganmu, kan? Kita jadi hangat." Terdengar sangat indah kata-kata itu. Membuat wanita yang sudah lama single jadi meleleh parah.

"Duh, kok panas, ya? Mau ke toilet dulu? Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian." Tania hanya mengangguk. Dua orang itu berjalan sambil bergandengan tangan.

Tania menatap lekat tangan besar dan kekar itu. Dia merasakan kehangatan yang berbeda dan terlindungi. Asep mempererat genggaman setiap ada keramaian di jalan yang dilaluinya. Sesekali tubuh tegap Asep menjadi penghalang untuk menghalangi orang yang akan menabrak Tania. Malam yang indah dan di tempat yang romantis. Hari ini adalah kenangan indah di taman bunga. Akhirnya, Iis dan Ujang muncul dengan tertawa riang. Ujang sudah berganti pakaian, disusul Asep yang sudah merasa gerah dan mengganti pakaiannya.

"Oh, My God! Oh, My Lord! Tania liat mereka. Tuh kan mereka cocoknya jadi model!" puji Iis saat dua pria berjalan beriringan dan berpakaian modis. Berjalan ke arah mereka seperti sedang catwalk.

"Oh, Mamamia lezatoz! Ganteng banget!" ucap Tania yang tidak berkedip sedikitpun.

"Untung kita ganti baju, kalau cuma kaos oblong dan training. Serasa beda kasta. Kharismatik mereka di luar nalar." Langsung Iis mengambil foto yang banyak.

"Kalian tutup mulut. Nanti lalat masuk." Asep mencubit pipi Tania, tapi dia terdiam saat menyadari pipi Tania bengkak.

"Pipimu kenapa? Abis ditonjok? Ngomong sama siapa? Preman yang kemarin?" tanya Asep yang penuh khawatir.

"Oh, tadi pagi abis di tampar. Itu Teh Cindy, tapi aku sudah membalasnya dengan tendangan langit." Iis menyombongkan diri, Ujang pun bertepuk tangan.

"Tania?"

"Yuk, enggak usah dibahas. Aku ingin senang-senang di sini."

***

Mereka pun bersenang-senang selama dua jam. Pukul 21.00 WIB pun pulang ke rumah Tania. Baru sampai di teras depan terdengar pertengkaran lagi. Iis memeluk Tania yang gemetar hebat. Ujang dan Asep menajamkan instingnya. Tanpa menoleh sedikit pun dua orang itu merasakan ada yang mengintai rumah itu.

"Apa itu dia?" bisik Ujang. Dibalas Asep, "Entahlah, kita teruskan saja."

"Mana anak sialan itu! Aku tidak peduli, kamu sama Tania harus bayar hutang itu." Rose marah besar, ketika dinasehati anaknya dan melawannya.

"Nah, tuh datang. Masa kita pulang malam di marahin. Dia enggak dimarahin tuh. Marahin juga dong! Memang, enggak adil!" keluh Cindy yang keluar rumah. Memandangi kedua pria itu dengan sinis.

"Kalau enggak bisa cari pacar! Tolong, berguna sedikit, ya!" sindir Cindy yang membuat Iis ingin menendangnya lagi. Namun, langsung ditahan Ujang.

"Kalau kamu masih bisa ketawa bahagia. Berarti masih sanggup bayar semuanya. Masuk! Besok cari uang lagi!" perintah Rose sambil menjambak Tania. Ujang dan Asep syok, berlari untuk membantu Tania. Iis membawa kursi lipat langsung dilempar ke tubuh Rose.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status