Share

Bab 9 Kejadian yang Parah

Dua pria itu asik menikmati santap malamnya. Namun, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh piring saja. Tidak ada yang memulai percakapan. Asep menatap lekat calon kakak iparnya itu dengan seksama. Dia belum berani memulai, ada rasa segan ke Gema. Walau seumuran Asep merasa Gema jauh lebih dewasa daripada dirinya. Gema menyadari gestur Asep yang penasaran dengan topik pembicaraan. Dia pun menatap lama calon adik iparnya itu. Dia jauh lebih penasaran kehidupan Asep. Sejak kapan Tania dekat, mengapa memilih Tania, dan semua pertanyaan bercampur aduk di kepalanya. Gema menghela napas panjang, lalu meletakkan piring kosong di sampingnya. Dia pun duduk bersila dengan menghisap rokok.

"Apa yang membuatmu tertarik dengan adikku? Kamu sudah yakin?" tanya Gema penuh dengan penekanan.

"Sudah, banyak hal. Tapi, yang pasti senyumannya, kebaikannya, kesetiannya. Dalam pola pikirnya dan mengambil keputusan." Asep cepat-cepat menelan baksonya.

"Tapi, kamu tahu sendiri. Keluargaku kacau dengan penuh hutang. Jika, nanti ibuku berbuat nekat. Entah, memintamu melunasi atau membahayakanmu, bagaimana?" seru Gema yang menatap tajam Asep

"Tahu, sangat paham. Tidak apa-apa, aku akan membantu. Tenang, akanku hadapi itu semua. Jangan pernah menyentuh orang-orang disekitarku. Sedikit aja terluka, habis itu orang!" seru Asep dengan mengacungkan garpu. Gema pun cekikikan.

"Oke-oke, baguslah. Tenang, aku pun akan membantumu. Kita utamakan kebahagiaan Tania. Aku banyak hutang jasa ke Tania, Asep. Mau bersama-sama melawan ibuku?"

"Iya, Tania harus hidup tenang dan bahagia. Kasian, asmanya kambuh terus. Waw, yakin mau melawan ibu sendiri? Kalau aku sih boleh-boleh saja, tergantung situasinya." Asep menyalakan rokoknya dengan meminum kopi buatan Tania.

"Yakin, dulu aku salah. Terus diam dan mengalah. Kalau saja aku tegas dari awal. Mungkin sifat egois ibu tidak akan separah ini," keluh Gema yang memijat dahinya.

"Baiklah, sepakat?" Asep menyodorkan tangan ke Gema dan berjabat tangan menyetujuinya.

Pukul 21.00 WIB, dua pria yang sedang menghabiskan bakso. Mereka asik melanjutkan berbincang-bincang dengan topik yang berbeda. Tertawa bersama seperti bertemu dengan kawan lama yang jarang bertemu. Keakraban yang sangat harmonis, dilihat langsung Ucup dan Tania. Tania tersenyum melihat momen itu, karena hal itu momen indah yang sangat langka. Sebab, dengan mantannya yang dulu pun Gema tidak sedekat ini. Ucup mengelus lembut kepala anaknya, mereka saling bertatapan dalam. Ada rasa bahagia yang tidak bisa diungkapkan sang ayah. Tania berkaca-kaca, memeluk erat, mengecup pipi dan kening Ucup.

"Abah, ini nyata, ya? Aku masih linglung nih," jelas Tania yang bermanja-manja.

"Nyata, Neng. Kamu sudah yakin? Nanti Abah sendirian atuh," lirih Ucup yang membalas pelukan itu.

"Yakin, yakin banget. Enggak! Tetap ikut aku." Tania mencubit ayahnya.

"Hmm, udah bicara sama Asep? Tapi, nanti aku ngerepotin kalian. Enggak, usah."

"Sudah, Asep enggak keberatan. Malah senang kok. Tetap, ikut aku. Kita harus hidup bahagia lepas dari ikatan setan ini."

"Hmm ... istriku bagaimana?"

"Abah, cobalah pikirkan dulu kebahagiaan kita. Sekali ini saja."

"...." Ucup tak menjawab hanya mengecup kening Tania.

"Abah! Yah?"

"Hah ... baiklah."

"Ingat, ketika sudah menjadi istri. Pahalamu ada di suami. Jangan membantah, jangan egois, jangan serakah. Oke?" Nasihat Ucup yang diingat baik-baik oleh Tania. Tania pun mengangguk paham.

Tania pun terlelap tidur dipelukan hangat Ucup. Asep yang melihatnya pun meminta ijin ke Gema dan Ucup untuk menggendong Tania ke kamarnya. Asep dengan hati-hati dan perlahan mengangkat Tania. Pria tampan itu membaringkan tubuh Tania ke kasur. Mata elang yang berfokus pada wajah sendu nan cantik itu. Asep semakin terpesona, memandang lama dan menarik selimut. Asep berbisik, "Selamat tidur, Istriku. Mimpi indah, Taniaku." Dia pun pergi dan berbincang bertiga di ruang tamu. Tania yang setengah sadar, tersenyum lebar dengan pipi merah merona. Dia merasa gemas langsung menggigit bantal, menahan jeritnya dan perlahan terlelap lagi.

***

Asep pun berpamitan pulang, memang sudah sangat larut malam. Ucup dan Gema pun beristirahat dengan kebahagiaan. Sedangkan, Rose dan Cindy tidur dengan kemurkaan dan kekesalan. Asep berjalan cepat, perasaannya tidak enak. Semenjak Rose menelepon orang asing itu. Rumah Tania sudah dikepung para preman lagi. Asep sudah menghubungi Ujang agar tidak ke mana-mana selama beberapa hari. Dia menduga di belakang ada yang mengikuti, dari panca inderanya menduga ada tiga orang yang mengikuti. Dari depan terlihat satu mobil APV hitam, gerombolan orang berjaket hitam keluar. Asep menghela napas panjang, dia berhenti menunggu orang-orang itu menghampirinya. Di jalan raya yang sudah sepi, hanya ditemani lampu jalan. Suasana menjadi tegang, dua orang dari arah belakang berlari kencang. Sedangkan, preman di depan mengeluarkan senjata tumpul.

"Hah! Menyebalkan. Si Ujang lama!" batin Asep yang langsung menghindar dan memasang kuda-kuda.

"Malam ini. Kami tidak akan kabur lagi! Serang!" teriak pemimpin preman yang ada di depan Asep.

"Yakin? Dasar, preman bayaran!" teriak Asep yang menangkis pukulan dan menangkis tendangan secara bersamaan.

"Kamu siapa sebenarnya? Sombong sekali! Akan kubunuh kamu!" gertak pria botak berotot besar langsung mengayunkan tongkat baseball ke kepala Asep.

"Cari saja sampai dapat. Aku tidak bisa dilacak, kawan!" goda Asep yang mengedipkan mata. Saat dia berhasil menangkis tongkat dan memukul balik dengan tendangan maut ke wajah musuh.

Asep mengeluarkan jurus silat Cimande dengan menonjok tulang rahang preman yang satunya lagi. Mereka yang ada di depan mobil sangat frustasi melihat Asep mampu bertahan. Akhirnya, satu tangan diangkat ke depan tanda dimulai untuk menyerang. Baku hantam pun terjadi lebih alot dari waktu itu. Beberapa pukulan dan tendangan mendarat ke Asep. Tetesan darah di hidung, mulut, dahi Asep sudah terjun bebas. Lebam dan bengkak pun tak terhindarkan. Pihak lawan pun sama malah jauh lebih parah lagi. Asep sudah terpojok di trotoar. Dia jatuh tersungkur, mengerang kesakitan saat tangannya diinjak. Lalu dua orang lagi memegang tangan Asep, Si pemimpin membawa tongkat baseball dan mengayunkan ke kepala. Asep memejamkan mata, muncul bayangan wanita yang perlahan telah mengisi hatinya. Mengisi kekosongan hati yang sudah bertahun-tahun berkarat. Tiba-tiba suara sirine polisi mendekati mereka, preman-preman itu ingin kabur. Namun, terlambat Asep menahan Si pemimpin itu. Sisanya di kejar polisi bersenjata lengkap. Ujang yang terengah-engah berlari langsung membantu Asep.

"Gila! Kenapa enggak kabur? Bodoh!" Ujang yang mengeluarkan borgol langsung menahan Si pemimpin itu.

"Kan sengaja! Biar bisa tangkap dan diinterogasi, Tata .. Eh, Ujang-Ujang. Salah!" Asep menepuk jidatnya dengan keras.

"Stt! Kang Doni mah ...! Eh, aku jadi latah juga." Menepuk bahu Asep.

"Kalian! Bawa semua ke truk! Cepat!" perintah Komandan berkumis tipis yang menggeplak kepala Ujang.

"Doni, hati-hati! Identitas kalian itu rahasia! Jangan sampai tersebut dihadapan musuh!"

"Siap, Komandan Restu! Maaf, khilaf!" Asep memberi hormat ke atasannya.

"Kamu yakin dengan rencana ini? Ingat! Identitasmu sensitif. Jangan mempermainkan pekerjaan dan perasaanmu," tegas Komandan Restu yang memapah Asep ke mobil patroli.

"Yakin, Komandan! Siap, tidak akan. Saya sudah berjanji." Asep membusungkan dada dan perlahan masuk ke mobil.

"Hah, baiklah. Soal Tania kita bicarakan lagi nanti. Obati dulu ini," perintah Restu yang langsung menutup mobil. Sang supir pun melaju dengan cepat ke Rumah Sakit terdekat.

***

Tania gelisah menatap jam dinding di kantornya. Sudah dua hari sejak Asep datang ke rumah. Asep sulit dihubungi, menelepon yang paling sulit. Menelepon Ujang pun hanya menjawab hal yang sama. Tania khawatir sekali. Kalau kirim pesan masih bisa hanya saja balasannya lama sekali. Tania sudah dua malam bermimpi buruk soal Asep. Di mimpinya saat berjalan bersama atau bercengkrama di bawah pohon rindang. Ada sosok hitam besar yang diam di belakang Asep, sering menarik paksa pria itu hingga hilang di telan kegelapan. Tinggal beberapa menit lagi jam pulang kerja, Tania berniat untuk mendatangi kontrakan Asep dan Ujang. Wanita berumur 27 tahun ini bergegas pergi saat ojek online sudah menunggunya di depan.

"Aa! Assalamualaikum, Aa ini Eneng. Buka!" teriak Tania mengetuk kontrakan sangat sederhana di dalam gang kecil.

"Aa! Jawab! Ada di dalam, kan?" Tania mencoba membuka pintu yang pasti dikunci.

Gedebruk! Klontrang!

"Meow ...! Meoww! Meow ... uhuk!" Suara pria yang menirukan kucing yang tersedak ludah sendiri hingga terbatuk-batuk.

"Masa kucing bisa batuk, sih! Buka! Atau aku dobrak. Satu ... dua ... ti—," gertak Tania yang sudah menarik rok hitamnya untuk berlari.

"Ujang! Buka!" bisik Asep yang mendorong Ujang ke pintu.

"Oke-oke, aku buka. Waalaikumsalam, ada apa nih?" tanya Ujang yang menahan pintu dan hanya setengah tubuh menahan pintu.

"Awas!" Tania langsung menendang perut Ujang hingga terpental ke tembok.

"Tania!" jerit Asep yang terbaring lemah di kasur kecil nan usang.

"Aa? Aa kenapa? Kok banyak perban gini? Aa!" lirih Tania yang menangis kencang melihat kondisi calon suaminya yang sangat parah.

"Biasa. Jatuh dari motor. Sudah, aku baik-baik saja." Asep menarik tangan Tania untuk duduk di sampingnya.

"Bohong! Kenapa ada lebam? Emang, ke pentok apa? Jujur!" teriak Tania yang ditenangkan Asep dengan menggenggam tangan.

"Ke pentok aspal, dong. Apa lagi coba!" gerutu Ujang yang meringis kesakitan.

"Diam!" Serempak dua sejoli itu membentak Ujang.

"Oke! Dari pada jadi obat nyamuk. Aku di teras saja!" omel Ujang yang membanting pintu.

"Aa. Je. las. in!" Nada penuh penekanan. Akhirnya, Asep menjelaskan secara singkat dan intinya saja. Tentu, dengan sedikit bumbu kebohongan.

"Ini gara-gara aku. Maaf. Kalau saja kita enggak bertemu. Aa enggak akan kaya gini." Tania memeluk erat Asep.

"Jangan ngomong gitu! Kamu enggak salah apa-apa, Taniaku. Ini sudah takdir kita." Asep mempererat pelukannya.

"Walau aku masih asing dengan cinta. Tapi, kamulah yang membuat harapan baru untukku. Menjadi kunci utama dalam masa depanku." Lanjut Asep.

"Aa ...! Yah, aku pun sama. Hatiku sudah mati. Sejak masa laluku yang kejam. Mungkin, kita butuh waktu untuk sembuh dari luka masing-masing." Tania melonggarkan pelukannya. Mereka bertatapan lama. Lalu, Tania menceritakan mimpi buruknya.

"Maaf, aku membuatmu khawatir. Aku harus mulai beradaptasi lagi dalam menyesuaikan dengan pasangan. Sungguh, aku suka lupa." Asep mengecup punggung tangan Tania.

"Aku juga sama, Aa. Maaf, kalau aku suka cerewet dan protektif sekali. Aku masih penuh ketakutan ditinggalkan lagi."

"Aku paham dan mengerti." Asep memainkan rambut Tania yang diurai. Dia perlahan mencium dan mengendus rambut Tania sangat lama.

"Indah dan wangi. Aku suka." Jari-jari panjang dan penuh urat yang menonjol itu bermain di rahang dan bibir tipis Tania.

"Aa ...!" Tania memejamkan mata karena merasa nyaman.

"Aku baru merasakan ada yang benar-benar mengkhawatirkanku. Sampai datang ke sini. Dulu, aku tidak pernah diperlakukan seperti ini." Lanjut Asep bersemangat, sesekali mencium pipi wanita dihadapannya.

"Hmm!" desis Tania. Tubuhnya menjadi kaku.

"Tahan, sebentar saja." Asep perlahan maju lagi dan mengecup mesra dari leher ke belakang telinga Tania. Wanita itu tersentak dan mengigit bibir bawahnya dan diiringi erangan manja.

"Cukup, Aa!" Tania berontak dan mendorong Asep. Mereka pun saling bertatapan.

"Aa sudah melanggar aturan!" tegur Tania yang masih terengah-engah.

"Aku tahu! Maaf. Tapi, bibir dan pipi pengecualian, kan?"

Asep yang sudah tidak bisa membendung rasa itu. Dia terus menggebu-gebu, ada rasa yang dirindukannya. Rasa ingin memiliki seutuhnya lebih jauh dari sekarang. Napasnya begitu memburu, Asep begitu liar sekali. Tania terkejut melihat wajah Asep yang memasang ekspresi itu. Mereka terdiam dengan napas tak beraturan. Asep menarik bahu Tania, tangan kanan menahan kepala Tania. Tangan kiri pria itu menggenggam erat tangan kanan Tania. Bibir mereka saling bersentuhan, semakin dalam hingga saling berpagutan mesra dan bergairah. Asep lebih menekan tangan kanannya, Tania yang tadinya melawan pun pasrah dengan menikmatinya. Entah, ada angin apa. Asep begitu berbeda. Tania bingung tapi hatinya berdesir tak karuan. Asep tak memperdulikan rasa sakit di tubuhnya. Dia mendorong lembut tubuh Tania hingga berbaring di kasur. Mereka saling tertindih, kedua tangan diangkat ke atas. Dan jari-jari mereka yang saling bertautan dengan kuat. Mereka berpagutan yang saling bergantian dan tidak ingin dilepas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status