Detik itu juga Reni memelototkan matanya karena mendengar penolakan Bramantyo.Bukan Bramantyo ingin bersikap durhaka dengan tidak menolong ayahnya sendiri tetapi memang sudah karakter pria itu seperti ini. Jika sudah berurusan dengan yang namanya uang, Bramantyo pelitnya luar biasa. Dia tidak sembarangan ingin mengeluarkan uang pribadinya, meskipun itu untuk orang tuanya sendiri.Untuk menghidupi Falisha dan Ameera saja, selama ini ia menjatah uang bulanan kepada mereka. Cukup tidak cukup harus dicukup-cukupkan, Bramantyo tidak pernah memberikan lebih kecuali dalam keadaan yang memang benar-benar mendesak.Apa yang dikatakan Bramantyo mengenai uangnya tinggal sedikit dan cukup untuk biaya bulanan saja sebenarnya hanya merupakan alibi saja untuk mengelak dari keinginan Reni. Tabungan pribadi Bramantyo masih di angka ratusan juga, belum termasuk rumah, mobil dan aset lainnya yang cukup untuk menyewa lima pengacara sekaligus untuk Benny bahkan membayar uang jaminannya. “Bisa-bisanya Ka
“Ibu, ada lagi yang bisa Bibik bantu? Semuanya sudah beres,” tegur seorang wanita paruh baya yang dikenal Falisha dengan nama Juminten itu.Falisha yang tengah sibuk dengan ponselnya langsung menolehkan kepala ke arah sumber suara.“Nggak ada, Bik … Bik Jum istirahat aja, nanti kalau butuh sesuatu akan Aku panggil kok!” jawab Falisha cepat sambil melemparkan senyumnya.“Ya sudah, Bibik ke kamar dulu ya, Bu …,” balas Juminten lalu bergerak menuju kamar samping dapur yang telah di tempatinya selama tiga terakhir ini.Waktu berlalu bagaikan kedipan mata, hari ini genap tiga hari Falisha dan Ameera tinggal di apartemen milik Matteo di temani dengan Juminten yang datang di sore hari pertama mereka keluar dari Rumah Sakit Glory Falisha tidak mampu menolak kehadiran Juminten karena paksaan Matteo, alasan kesehatan ibu dan anak itu menjadi dasar kuat agar ia menerimanya.Selama ini pun, Falisha tidak pernah menggunakan jasa asisten rumah tangga meskipun sebenarnya Bramantyo mampu untuk memba
"Boleh, Aku memang lapar soalnya dari kantor langsung buru-buru ke sini," balas Matteo ringan, "sekalian Aku nginap ya, besok pagi-pagi Aku ada pertemuan sama klien. Kalau balik ke apartemen ku yang lain, kejauhan. Disini aja, lebih dekat," lanjutnya santai tanpa beban tanpa sadar jika Falisha membatu mendengar kata 'nginap'.Meski ada kesepakatan pra nikah di antara mereka, meski Falisha sangat yakin jika dirinya yang penuh timbunan lemak ini bukan tipe wanita idaman Matteo, tapi mendengar ada pria yang bukan suaminya ingin menginap tetap saja menyemburkan gundah di hati Falisha.“Nginap? Kamu yakin, Mat?” tanya Falisha memastikan kembali jika dirinya tidak salah mendengar setelah berhasil menguasai diri dalam tempo sepersekian detik.Matteo yang sudah beranjak lebih dulu itu sama sekali tidak menyadari adanya perubahan pada ekspresi wajah Falisha karena memang posisinya sudah memunggungi wanita itu sekarang.“Yakin, biar besok nggak terlambat mau ketemu klien. Nanti Aku tidur di kam
“Kamis besok, Kamu jadi ke pengadilan, Mas?” tanya Hera sambil mengoleskan selai srikaya kemasan ke roti tawar milik Bramantyo.Lain wanita tentu lain pula caranya mereka melayani Bramantyo. Falisha setiap hari selalu memberikan Bramantyo apa yang pria itu inginkan untuk mengisi perut dengan kepiawaiannya di dapur walaupun uang belanja diberikan pas-pasan sementara tidak demikian dengan Hera.Hera yang sama sekali tidak bisa memasak bahkan mendadar telur saja gosong memilih melayani Bramantyo dengan caranya yaitu membeli.Seperti sekarang ini, Hera lebih memilih membeli roti dan selai kemasan untuk sarapan mereka berdua. Padahal Hera sudah tinggal menetap di rumah berlantai dua itu sejak Falisha keluar dari rumah.Bramantyo yang sudah tertimpa masalah hukum dan mulai sibuk dengan perceraiannya memilih untuk tidak ambil pusing apa yang Hera sajikan.“Jadi … daripada harus keluar uang lagi buat bayar pengacara untuk ngurusin begituan, lebih baik pergi sendiri,” jawab Bramantyo sekeda
Ting!Denting khas sebagai tanda jika pintu besi telah membuka itu terdengar familiar di telinga Bramantyo. Pria itu keluar dari lift dengan perasaan yang sedikit lebih baik dari sebelumnya, meskipun keanehan akan pandangan ganjil rekan-rekan kerjanya tidak sepenuhnya menghilang dari pikiran.Beberapa hari cuti kerja membuat Bramantyo sedikit merindukan suasana kerja, apalagi kesibukan saat mengejar deadline proyek di waktu yang cukup mepet, adrenalinnya bagai terpacu.Bramantyo jelas cukup nyaman bekerja di PT. Gema Sentosa ini, bukan hanya jabatan serta gajinya yang tinggi tapi juga karena cocok dengan rekan sejawat apalagi ada Hera yang setahun belakangan bisa diajaknya bermain api.Bramantyo melangkah mantap menuju ruang kerjanya dan lagi-lagi mendapatkan tatapan mata yang begitu intens dari para karyawan yang dilewatinya.“Pagi …,” tegur Bramantyo dengan penuh kesengajaan pada Sintia, wanita yang selama ini menjabat sebagai sekretarisnya.Gugup langsung menyergap wanita yang ramb
“Maaf Pak Bram … barang-barang Anda sudah dikumpulkan dan ada di dekat meja Saya. Anda sudah dipecat sejak tiga hari lalu. Pak Pramudya yang ditunjuk Direktur untuk menggantikan posisi Anda,” tutur Sintia selembut dan sehalus mungkin pada Bramantyo walau tahu berita yang ia sampaikan ini sangat pahit rasanya.Bramantyo merasa seperti ada beban berat yang langsung dihantamkan ke kepalanya saat mendengarkan pernyataan Sintia.Bramantyo tidak ingin percaya akan kalimat Sintia, tapi kata-kata itu justru menjadi jawaban atas apa yang dipertanyakan olehnya di dalam kepala karena tatapan mata juga tingkah aneh para rekan kerjanya.Sinis dan arogansi di wajah Pramudya terlihat sangat jelas, begitu pula dengan pucat serta salah tingkah Sintia. Tingkah dua orang ini menusuk dalam ke hati Bramantyo.Sepuluh detik penuh Bramantyo terdiam membisu, tapi kedua orang yang berdiri di antaranya tidak melakukan apapun terutama Pramudya.Pramudya memang sengaja membiarkan Bramantyo larut dalam keterkejut
Tidak ingin terus menerus menjadi pusat perhatian lebih lama, Bramantyo melangkahkan kakinya lebar-lebar meninggalkan area tersebut.Namun, baru beberapa langkah dilakukan pria ini, dia sudah berhenti dan berpaling pada Sintia yang mengekorinya dengan terburu-buru.“Sintia, Kamu tidak perlu mengantar, Saya bisa sendiri!” ucap Bramantyo yang sontak menghentikan Sintia.“Tapi, Pak …,” balas Sintia menggantung, ia tidak melanjutkan kalimatnya karena pelototan mata dari Bramantyo. Terbiasa bekerja dengan Bramantyo membuatnya refleks melakukan hal itu.“Saya belum lupa dimana letak ruangan Pak Supri!” tegas Bramantyo yang langsung mematahkan niat Sintia untuk mengantarnya.Sintia menghela napas tidak kentara, “Baik, Pak!” balasnya patuh, tidak memaksakan kehendak mengingat dia juga masih memiliki setumpuk pekerjaan yang tengah menunggunya.Mendengar hal itu, Bramantyo hanya mengangguk kecil sebagai responnya lantas kemudian melanjutkan langkah menuju ruangan kepala HRD PT. gema Sentosa den
"Tapi, Pak … kenapa Saya menerima pemecatan? Saya tidak bersalah, Saya hanya ijin cuti dan tiba-tiba semua berubah seperti ini!" kata Bramantyo mencoba membela diri meski getir terasa di hati karena dia tahu sepertinya apa yang ia lakukan sia-sia belaka.Bramantyo tidak sadar jika apa yang ia hadapi saat ini adalah hukum sebab akibat.Mendengar apa yang dikatakan oleh Bramantyo, mendadak Supri yang biasanya minim ekspresi itu berubah. Mata pria paruh baya yang dihiasi keriput itu memicing tajam pun alisnya juga ikut menukik, semua karena kalimat pembelaan yang dilontarkan.“Tidak … bersalah …?” balas Supri lambat-lambat dan menekankan setiap kata yang ia ucapkan.Spontan, reaksi yang ditampilkan oleh Supri membuat Bramantyo merinding tidak kentara. Padahal dia orang yang tidak mudah terintimidasi tapi saat berhadapan dengan kepala HRD itu entah mengapa nyalinya menciut.“I-iya … memang begitu kan, Pak? Saya tidak bersalah jadi tidak seharusnya menerima pemecatan ini,” sahut Bramantyo