SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA
Hari ini adalah hari libur. Pengasuh Syira juga minta izin untuk libur. Rara ikut pulang ke rumah ibu kemarin. Hanya aku dan Syira di rumah. Aku berencana untuk membawa Syira bersamaku ke ruko.Kami menunggu jemputan dari kantor. Syira mengajakku untuk bermain di luar.Aku mengikuti ke mana Syira berjalan. Kadang dia pun berlari kecil mengikuti seekor kucing milik salah seorang tetangga."Hai Adek Cantik! Lagi main apa?"Terdengar sapaan laki-laki dari balik pagar. Disusul oleh suara pagar yang digeser. Ternyata kami sudah sampai di depan rumah Bayu."Mpus lucu," jawab Syira sambil menunjuk seekor kucing yang sudah tiduran di samping pot bunga yang ada dekat gerbang rumah Bayu."Eh, ada tetangga baru. Libur, ya?" tanya Bu Juwita yang baru saja keluar lewat pintu depan. Wanita itu sudah berdandan cantik dan rapi. Sepertinya mereka akan pergi."Nggak, Bu. Lagi nunggu jemputan."SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUABayu sudah berada di undakan tangga teratas. Hanya dua langkah dari tempatku berdiri. Bisa-bisanya dia muncul secepat ini. Padahal aku sudah berencana keluar lebih awal untuk menghindarinya."Kok bisa ada di sini?" tanyaku sambil buru-buru melangkah turun. Tidak ada siapa-siapa di lantai atas kecuali kami."Tadi kan udah bilang, sore mau mampir. Kebetulan baru aja ketemu klien dekat sini.""O ...," jawabku singkat."Mau langsung jalan?" tanya Bayu tanpa alih-alih.Aku mendelik padanya dengan penuh keheranan. Sementara dia memasang wajah santai tanpa dosa. Aku melirik ke arah karyawan yang terlihat tengah menyibukkan diri. Kutahu mereka hanya berpura-pura tidak acuh. Padahal sebenarnya mereka tengah memendam keingintahuan yang sedang menggebu-gebu."Jalan ke ...?" Aku sengaja menggantung kalimat."Pulang ke rumah kita," ucapnya santai. Sesaat kemudian langsung meralat ucapannya, "M
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUABegitu sampai di ruko, aku langsung berbenah. Memasukkan beberapa dokumen yang akan dibawa pulang ke dalam tas. Beberapa kali HP-ku berdering. Nama Bayu tertera di sana. Kuabaikan saja dulu. Aku harus buru-buru ke rumah Ibu. Pengasuh Syira sedang sakit sehingga aku harus kembali menitipkan Syira pada Ibu. Nomor yang pernah digunakan Nadia untuk meneleponku tempo hari sudah kublokir. Aku tidak harus repot-repot mendengar umpatannya. Di saat aku selesai berkemas, Obi juga datang. Aku sangat tahu maksud kedatangannya. Sepertinya dia bisa membaca situasi, sehingga tidak langsung memberondongku dengan pertanyaan seputar kejadian beberapa saat yang lalu. "Buru-buru banget. Mau pulang ke rumah ibu atau ke rumah sini?" "Ke rumah ibu. Syira sama Rara di sana," jawabku. "Bareng aku aja! Aku juga mau pulang. Sekalian bawain titipan Rara." "Rara nitip apa?" tanyaku heran. Rar
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA(Pov Nadia)Akhirnya aku bisa juga menghempaskanTiara. Sekarang akulah satu-satunya wanita yang ada di sisi Hendi. Aku tidak harus berjuang berdarah-darah bersamanya. Dia sudah menapaki keberhasilan. Menjadi istri kontraktor yang sedang kebanjiran proyek membuat aku bisa kembali ke kehidupanku yang glamor. Hendi tidak terlalu banyak larangan padaku bahkan bisa dibilang cukup mudah untuk menaklukkannya. Apalagi beberapa proyek yang berhasil dia dapat berkat kontribusi Om Santo, sepupu Mami. Hendi merasa berutang budi. Itu angin segar untukku. Perlahan kubatasi gerak-geriknya dan aku pun memanfaatkan kesempatan dengan meminta dibelikan sebuah rumah mewah di kota Lampung. Di kota itu ada beberapa temanku sewaktu masih aktif di dunia modeling. Aku mengajak Hendi untuk menetap di sana, biar waktunya lebih efisien dalam mengurus pekerjaannya. Padahal maksud yang sesungguhnya aku ingin menjauhkan dia dar
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA(Pov Hendi)Manis di awal, itulah yang kurasakan setelah Nadia menjadi satu-satunya wanita di sisiku.Hampir sepanjang waktu bersama dengannya, pelan-pelan semua sifat asli Nadia mulai tersingkap.Nadia sangat posesif. Awalnya aku dapat memaklumi. Mungkin itu lantaran dia pernah gagal ditambah lagi awal hubungan kami yang main belakang. Mungkin dia takut akan dicurangi juga.Aku kehilangan privasi. Bahkan HP-ku pun tidak luput dari pantauan Nadia. Komunikasi aku dan anak-anak juga semakin jarang. Setiap kali akan mentransfer uang untuk anak-anak, aku harus berdebat dulu dengan Nadia."Kamu yakin, uang yang kamu kasih itu bakalan digunakan untuk anak-anak? Jangan sampai uang itu dipakai Tiara, ya! Dia bukan tanggung jawab kamu lagi!""Kamu ngasih uangnya sebanyak itu? Enak banget Tiara dan orang tuanya bisa numpang hidup dari kita. Anak-anak seberapa sih kebutuhannya? Setengah dari itu juga cukup!""Dia itu milih untuk cerai karena merasa bisa mandiri. Ya, ud
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASore ini ketika akan memasuki halaman rumah ibu, aku dikejutkan oleh seseorang yang duduk bersama Bapak di teras depan. Walaupun posisi dia membelakangi, aku rasa aku tidak akan salah menebak siapa orang tersebut."Kakek lagi ngobrol sama siapa, Ma?" celetuk Rara ketika hendak bersiap turun dari mobil."Rara nggak tahu emangnya?" Aku pun balik bertanya."Agak mirip Papa, sih. Cuma, agak kurus," jawabnya kurang yakin."Ayo turun. Om Rino mau balik lagi ke ruko," ajakku pada Rara. Dia pun segera membawa tasnya. Aku pun membetulkan posisi Syira yang tertidur di pangkuanku. Rino membukakan pintu dan membantu membawakan tas serta beberapa barang yang kami bawa. Aku memperlambat langkah ketika semakin mendekat ke teras. Rara pun begitu, setia berada di sampingku."Assalamualaikum," ucapku begitu menaiki lantai teras.Bapak beserta lelaki yang ada di teras menjawab salam serta berbalik arah. Irama jantungku tidak lagi teratur. Setahun lebih aku tidak pernah lagi
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHendi beralih tatap pada Bayu. Pandangannya penuh selidik. Bayu walaupun terlihat ada perubahan pada mimik wajahnya, tetap mencoba untuk bersikap tenang."Ada apa memangnya?" tanya Hendi padaku.Aku melemparkan pandangan pada Bayu. Terserah dia mau menjawab apa. Toh, memang dia yang gegabah. Sekelas pengacara bisa-bisanya kena kibul sama Nadia."Oh, suaminya Nadia, ya, Mas? Saya Bayu, kebetulan Mama saya dan Maminya Nadia udah temanan sejak lama. Sejak masih remaja kami sudah kenal," jawab Bayu sambil mengulurkan tangan pada Hendi.Hendi menyambut jabat tangan dari Bayu. Kemudian mengajukan pertanyaan yang membuat Bayu sedikit gelagapan."Lalu apa hubungannya dengan Tiara?" Kali ini tatapan Hendi langsung tertuju pada indra penglihatan Bayu."Kami bertetangga," jawabnya sambil menyeka pelipis yang tidak berkeringat sama sekali."Lalu?" lanjut Hendi terus mendesak."Kami pernah ketemu, barengan." Mengetahui kalau Hendi belum puas akan jawaban yang dia berika
Sindiran Pedas Istri Kedua "Papa udah pergi lagi, Ma?" Rara tiba-tiba sudah berada di sampingku. "Iya, baru aja," jawabku sambil merapikan poninya. Gadis kecil itu memasang wajah cemberut. "Kenapa? Rara masih kangen Papa?" Rara menatapku sebentar lalu mengangguk. " Kenapa Papa nggak pamit sama Rara?" Aku mengulas senyum. Rara terlihat semakin menggemaskan dengan pipi yang bertambah gembul seperti itu. "Papa tadi buru-buru. Ada keperluan mendadak mungkin." "Nanti-nanti Papa ke sini lagi, kan?" Rara terlihat sedikit ragu bertanya padaku. "Ya, mudah-mudahan saja, kalau Papa belum pergi ke tempat kerjanya lagi." Aku pun merasa dilema dalam menjawab pertanyaan Rara. Aku tahu dia sangat berharap. Namun, di sisi lain mungkin juga dia takut untuk terlalu berharap kalau ujung-ujungnya dia akan kecewa. "Memang Papa kerjanya di mana, Ma? Sejauh apa? Memang dari sana tidak bisa video call atau telepon?" Aku menghela napas agak panjang. Sebelum-sebelumnya Rara tidak pernah sepenasaran
Sindiran Pedas Istri Kedua "Tiara, sebentar!" ucap Hendi begitu mematikan mesin kendaraannya. Dia pun buru-buru turun. "Apa tadi Nadia ke sini?" tanya Hendi selanjutnya. "Ya, barusan habis ngoceh-ngoceh ke sini," balasku sedikit sewot. Hendi mengusap wajah. Nampak ia tengah menahan kesal. "Nggak bisa apa kalian selesaikan aja masalah kalian tanpa melibatkan orang lain? Pagi-pagi dah ribut-ribut ke rumah orang. Nggak mikir banget sih istri kamu itu!" jawabku penuh kekesalan. "Siapa yang ribut-ribut?" Tiba-tiba Bapak sudah ada di belakang Hendi. Rara yang kesenangan melihat kedatangan papanya langsung merapat pada papanya. "Papa kemarin kenapa pergi aja? Padahal Rara mau ngelihatin sesuatu sama Papa," ujar Rara dengan gaya manjanya serta wajah sedikit cemberut. "Maaf ya, kemarin papa buru-buru. Rara mau lihatin apa emangnya?" tanya Hendi sembari mengusap kepala Rara. "Rara ambil dulu, ya!" Gadis kecil itu segera menjauh dari papanya. "Ra, langsung mandi dulu, ya!" sahutku. R