SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA
(Pov Nadia)Akhirnya aku bisa juga menghempaskanTiara. Sekarang akulah satu-satunya wanita yang ada di sisi Hendi.Aku tidak harus berjuang berdarah-darah bersamanya. Dia sudah menapaki keberhasilan. Menjadi istri kontraktor yang sedang kebanjiran proyek membuat aku bisa kembali ke kehidupanku yang glamor.Hendi tidak terlalu banyak larangan padaku bahkan bisa dibilang cukup mudah untuk menaklukkannya. Apalagi beberapa proyek yang berhasil dia dapat berkat kontribusi Om Santo, sepupu Mami. Hendi merasa berutang budi. Itu angin segar untukku.Perlahan kubatasi gerak-geriknya dan aku pun memanfaatkan kesempatan dengan meminta dibelikan sebuah rumah mewah di kota Lampung. Di kota itu ada beberapa temanku sewaktu masih aktif di dunia modeling. Aku mengajak Hendi untuk menetap di sana, biar waktunya lebih efisien dalam mengurus pekerjaannya. Padahal maksud yang sesungguhnya aku ingin menjauhkan dia darSINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA(Pov Hendi)Manis di awal, itulah yang kurasakan setelah Nadia menjadi satu-satunya wanita di sisiku.Hampir sepanjang waktu bersama dengannya, pelan-pelan semua sifat asli Nadia mulai tersingkap.Nadia sangat posesif. Awalnya aku dapat memaklumi. Mungkin itu lantaran dia pernah gagal ditambah lagi awal hubungan kami yang main belakang. Mungkin dia takut akan dicurangi juga.Aku kehilangan privasi. Bahkan HP-ku pun tidak luput dari pantauan Nadia. Komunikasi aku dan anak-anak juga semakin jarang. Setiap kali akan mentransfer uang untuk anak-anak, aku harus berdebat dulu dengan Nadia."Kamu yakin, uang yang kamu kasih itu bakalan digunakan untuk anak-anak? Jangan sampai uang itu dipakai Tiara, ya! Dia bukan tanggung jawab kamu lagi!""Kamu ngasih uangnya sebanyak itu? Enak banget Tiara dan orang tuanya bisa numpang hidup dari kita. Anak-anak seberapa sih kebutuhannya? Setengah dari itu juga cukup!""Dia itu milih untuk cerai karena merasa bisa mandiri. Ya, ud
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASore ini ketika akan memasuki halaman rumah ibu, aku dikejutkan oleh seseorang yang duduk bersama Bapak di teras depan. Walaupun posisi dia membelakangi, aku rasa aku tidak akan salah menebak siapa orang tersebut."Kakek lagi ngobrol sama siapa, Ma?" celetuk Rara ketika hendak bersiap turun dari mobil."Rara nggak tahu emangnya?" Aku pun balik bertanya."Agak mirip Papa, sih. Cuma, agak kurus," jawabnya kurang yakin."Ayo turun. Om Rino mau balik lagi ke ruko," ajakku pada Rara. Dia pun segera membawa tasnya. Aku pun membetulkan posisi Syira yang tertidur di pangkuanku. Rino membukakan pintu dan membantu membawakan tas serta beberapa barang yang kami bawa. Aku memperlambat langkah ketika semakin mendekat ke teras. Rara pun begitu, setia berada di sampingku."Assalamualaikum," ucapku begitu menaiki lantai teras.Bapak beserta lelaki yang ada di teras menjawab salam serta berbalik arah. Irama jantungku tidak lagi teratur. Setahun lebih aku tidak pernah lagi
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHendi beralih tatap pada Bayu. Pandangannya penuh selidik. Bayu walaupun terlihat ada perubahan pada mimik wajahnya, tetap mencoba untuk bersikap tenang."Ada apa memangnya?" tanya Hendi padaku.Aku melemparkan pandangan pada Bayu. Terserah dia mau menjawab apa. Toh, memang dia yang gegabah. Sekelas pengacara bisa-bisanya kena kibul sama Nadia."Oh, suaminya Nadia, ya, Mas? Saya Bayu, kebetulan Mama saya dan Maminya Nadia udah temanan sejak lama. Sejak masih remaja kami sudah kenal," jawab Bayu sambil mengulurkan tangan pada Hendi.Hendi menyambut jabat tangan dari Bayu. Kemudian mengajukan pertanyaan yang membuat Bayu sedikit gelagapan."Lalu apa hubungannya dengan Tiara?" Kali ini tatapan Hendi langsung tertuju pada indra penglihatan Bayu."Kami bertetangga," jawabnya sambil menyeka pelipis yang tidak berkeringat sama sekali."Lalu?" lanjut Hendi terus mendesak."Kami pernah ketemu, barengan." Mengetahui kalau Hendi belum puas akan jawaban yang dia berika
Sindiran Pedas Istri Kedua "Papa udah pergi lagi, Ma?" Rara tiba-tiba sudah berada di sampingku. "Iya, baru aja," jawabku sambil merapikan poninya. Gadis kecil itu memasang wajah cemberut. "Kenapa? Rara masih kangen Papa?" Rara menatapku sebentar lalu mengangguk. " Kenapa Papa nggak pamit sama Rara?" Aku mengulas senyum. Rara terlihat semakin menggemaskan dengan pipi yang bertambah gembul seperti itu. "Papa tadi buru-buru. Ada keperluan mendadak mungkin." "Nanti-nanti Papa ke sini lagi, kan?" Rara terlihat sedikit ragu bertanya padaku. "Ya, mudah-mudahan saja, kalau Papa belum pergi ke tempat kerjanya lagi." Aku pun merasa dilema dalam menjawab pertanyaan Rara. Aku tahu dia sangat berharap. Namun, di sisi lain mungkin juga dia takut untuk terlalu berharap kalau ujung-ujungnya dia akan kecewa. "Memang Papa kerjanya di mana, Ma? Sejauh apa? Memang dari sana tidak bisa video call atau telepon?" Aku menghela napas agak panjang. Sebelum-sebelumnya Rara tidak pernah sepenasaran
Sindiran Pedas Istri Kedua "Tiara, sebentar!" ucap Hendi begitu mematikan mesin kendaraannya. Dia pun buru-buru turun. "Apa tadi Nadia ke sini?" tanya Hendi selanjutnya. "Ya, barusan habis ngoceh-ngoceh ke sini," balasku sedikit sewot. Hendi mengusap wajah. Nampak ia tengah menahan kesal. "Nggak bisa apa kalian selesaikan aja masalah kalian tanpa melibatkan orang lain? Pagi-pagi dah ribut-ribut ke rumah orang. Nggak mikir banget sih istri kamu itu!" jawabku penuh kekesalan. "Siapa yang ribut-ribut?" Tiba-tiba Bapak sudah ada di belakang Hendi. Rara yang kesenangan melihat kedatangan papanya langsung merapat pada papanya. "Papa kemarin kenapa pergi aja? Padahal Rara mau ngelihatin sesuatu sama Papa," ujar Rara dengan gaya manjanya serta wajah sedikit cemberut. "Maaf ya, kemarin papa buru-buru. Rara mau lihatin apa emangnya?" tanya Hendi sembari mengusap kepala Rara. "Rara ambil dulu, ya!" Gadis kecil itu segera menjauh dari papanya. "Ra, langsung mandi dulu, ya!" sahutku. R
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Hari ini adalah waktu untuk mengunjungi Khalif ke pesantren. Tidak lupa Rara dan Syira juga turut serta. Merekalah yang paling bersemangat jika jadwal kunjungan untuk Khalif telah datang. Hendi pun mengatakan ingin bertemu dengan Khalif. Aku tidak keberatan. Namun, kutekankan padanya aku tidak mau ada kegaduhan yang membuntuti. Jangan sampai istrinya berkoar-koar lagi seperti yang sudah-sudah. Hari-hari kami sudah tentram selama ini. Jangan sampai kemunculan dia malah menjadi pengusik ketenangan kami. "Om Obi nggak ikut ke sini?" tanya Khalif sesaat setelah kami mengurai pelukan. Dia tidak menyadari kalau papanya yang baru saja sampai telah berdiri di belakangnya. "Om Obi kalau minggu pertama kan sering sibuk banget, Kak!" Rara langsung menyela. "Sekarang ada Papa," lanjut gadis kecil berkerudung lilac itu dengan gamis warna senada. Rara terlihat manis sekali dalam balutan warna kesukaannya itu. Khalif tertegun sejenak. Lalu mengikuti pergerakan Rara y
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA "Sekarang Kakak jawab pertanyaan Mama dengan jujur, ya!" pintaku pada Khalif. Dia tampak ingin protes. Namun, segera aku mendahului. "Habis itu Mama akan jawab pertanyaan Kakak." "Iya, deh," jawabnya setuju. "Selama kita hanya berempat saja, Kakak merasa bahagia apa tidak?" Aku menelisik ke matanya. Aku ingin memastikan jawaban yang diberikan Khalif bukan hanya sekadar ingin menyenangkan aku saja. Tetapi benar-benar sebuah kejujuran. "Bahagia." Khalif langsung menjawab. "Apa pun yang Mama lakukan dan yang akan Mama lakukan adalah demi kebahagiaan Kakak dan adik-adik. Kalau kita sudah bahagia, sudah nyaman dengan keadaan kita sekarang, ya sudah. Kita seperti ini saja." Aku melengkungkan senyum pada Khalif. Pandanganku tidak kulepaskan darinya. "Kakak tidak apa-apa, kan, kalau kita dan Papa tetap seperti ini saja?" "Buat Kakak, sih, terserah Mama saja. Kakak cuma tidak mau Mama sering sedih dan nangis lagi seperti dulu." Khalif membalas tatapanku deng
Sindiran Pedas Istri Kedua Rutinitas menjelang tidur telah dituntaskan. Salat Magrib, membimbing anak-anak membaca Alquran, makan malam, salat Isya, dan diakhiri dengan membacakan cerita pengantar tidur. Setelah Rara dan Syira benar-benar tertidur, aku kembali ke ruang tengah. Aku bermaksud menyiapkan beberapa keperluan untuk besok. Namun, kuurungkan karena Bapak juga sudah ada di sana. "Bapak belum ngantuk?" Aku pun mendekati beliau yang duduk sambil memijit-mijit kaki. "Anak-anakmu sudah tidur?" Bapak balik bertanya. "Sudah, Pak." "Bapak besok mau pulang dulu, ya. Mau nengok Pakde Karna. Sakitnya makin parah. Bapak juga sudah lama tidak bertemu dia." "Sama Ibu juga?" "Iya." "Besok Bapak diantar Rino saja, sehabis ngantarin Rara," ujarku lalu ikut memijit kaki Bapak. "Lusanya Bapak ke sini lagi. Mumpung masih ada waktu, masih sehat, Bapak mau puas-puasin main sama cucu," ucap Bapak sedikit sendu. "Tiara juga senang banget kalau Bapak dan Ibu tinggal di sini. Biar Tiara bi