Sindiran Pedas Istri Kedua Kulihat tidak ada perubahan pada ekspresi Obi. Mungkin dia terlalu pandai mengelola perasaannya. Obi kembali meraih tanganku. Menggenggam dengan erat. Sorot matanya sangat lembut menatap. Pelan dia berkata, "Oke, sekarang aku paham. Aku ngerti maksudnya seperti apa. Sayang, maaf. Aku yang salah. Aku tidak peka sama sekali. Aku kira semua telah baik-baik saja. Ternyata, masih ada yang belum benar-benar sembuh pada dirimu. Maafkan aku yang belum sepenuhnya berhasil menyelami jiwamu. " Sorot mata Obi benar-benar menunjukkan rasa bersalah. Dapat kurasakan, tiap kata yang terucap benar-benar berasal dari hatinya. "Tapi tolong, jangan pernah punya pikiran aku akan melakukan hal yang sama seperti Bang Hendi pernah lakukan. Aku dan dia adalah orang yang berbeda. Apa kamu masih meragukan kesungguhan aku? Apa di mata kamu aku seburuk itu? Apakah aku orang yang setega itu? Sayang, tolong buang pikiran itu jauh-jauh!" Obi menatap mataku dengan sorot mata yang sendu
Sindiran Pedas Istri Kedua "Telah lama merasakan lega. Menjalani hari-hari hanya untuk mengejar mimpi serta memberi bahagia untuk orang-orang tercinta. Telah terlalu biasa dengan diri sendiri. Menentukan sendiri apa yang hendak dimiliki. Dunia terasa lepas, tak berbeban!Semua hening dalam tentram. Sekarang, beban-beban baru kembali bermunculan. Mengguncang hati yang telah lama tenang. Satu per satu cerita baru membentang, mengoyak renda yang telah disulam dengan penuh perjuangan.Hati kembali tak tenang, pikiran kembali dihimpit desakan-desakan yang mungkin takkan berkesudahan. Salahkah jalan yang sudah kupilih? Tunas sesal perlahan menyeruak, menyibak mencari udara untuk memberlangsungkan hidup. Kenapa dulu harus memajukan langkah jika jalan di tempat saja jauh lebih baik?Kutahu, pemikiran seperti itu tidak boleh ada. Akan tetapi, aku tak siap sama sekali jika harus kembali mengecap hari-hari yang sama. Hari-hari pernah menjadi kenyataan buruk dalam hidupku. Aku sudah terlanju
Sindiran Pedas Istri Kedua "Mau ke mana aja hari ini, Sayang?" tanya Obi begitu melewati meja makan. Dia menyempatkan untuk menjawil pipiku lalu dilanjutkan dengan mencubit gemas pipi Rara. Sementara Syira menyodorkan pipi gembulnya untuk dicium oleh Obi. "Lumayan padat hari ini. Dari sekolah ke gudang, ke kantor atau sebaliknya. Terus ada undangan juga dari Mbak Vania, mau ada launching varian baru untuk krim wajah. Tapi semuanya situasional aja, sih. Mana yang sempat aja." "Sayang, ingat, ya, jangan terlalu dipaksakan, jangan kecapekan! Aku ngebiarin kamu tetap melakukan semuanya ini tak lebih untuk menghargai hasil pencapaian kamu selama ini. Bukan untuk mengejar materi lagi. Semua kebutuhan harus tetap aku yang cover. Jadi, lakukan semuanya seenjoy mungkin. Sekiranya bakal menjadi beban pikiran, jangan dilanjut!" "Iya, ingat, kok," jawabku meyakinkan Obi. Kalimat semacam ini hampir tiap pagi diucapkan Obi selama seminggu ini. Terhitung sejak aku mulai beraktifitas normal lagi
Sindiran Pedas Istri Kedua "Kamu hanya ingin sekadar menghancurkan hubungan aku dan Hakim lalu kamu tertawa puas di atas kehancuran dan rasa malu yang kutanggung. Begitu?" Tatapan tajam kembali diberikan Sandra padaku. "Aku cuma mau ngasih tahu sesuatu. Terserah kamu mau percaya atau bahkan tidak mau tahu sama sekali juga nggak masalah. Yang penting sudah aku katakan." Sandra mengdengkus dan membuang pandangan mendengar retorikaku. "Aku sama sekali tidak pernah tahu apalagi terlibat dalam kehidupan kamu. Aku dan Hakim hampir tidak pernah membicarakan hal-hal privasi. Meskipun kami berteman dekat, tapi aku baru tahu kamu di hari pertunangan kalian dan aku tahu bahwa hubungan kalian berakhir itu dua bulan setelahnya. Itu pun aku tidak tahu langsung dari Hakim." "Wow, dongeng yang sangat indah." Sandra memberi reaksi dengan sinis. "Kenyataannya memang begitu. Kamu mau percaya atau tidak, aku juga nggak peduli. Tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap hidupku." "Aku nggak menyangka
Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak sarapan lagi?" Obi menatap heran padaku. "Nggak selera sama sekali, Bi." "Dipaksain, dong, Sayang. Atau maunya apa? Menu yang lain?" Aku menggeleng pelan. "Nggak ada yang enak di lidah aku." "Gimana kalau ntar siang kita nyari tempat makan yang kira-kira kamu suka. Searching aja dulu, habis itu kabarin aku. Biar aku jemput siangnya." "Nggak usah, Bi. Kamu lagi sibuk juga, kan? Kalau ntar sore kamu bisa nemenin aku nggak? Aku mau ke doker aja." "Siang aja. Ntar aku kondisiin jadwalku." "Sore aja. Siangnya aku juga rada repot." "Yang, kamu lagi nggak fit kondisinya. Dikurangin dulu aktivitasnya. Kamu limpahin aja beberapa wewenang sama yang lain. Misalnya sama Nisa. Dia kan udah lama ikut sama kamu. Dia anaknya juga nggak macam-macam, bukan?" "Iya," jawabku pendek sambil memainkan sendok pada segelas susu yang sama sekali tidak ingin kuminum. "Jangan iya, iya aja! Dilakuin benaran." Lagi Obi mengulang anjuran. Sepertinya dia tidak puas deng
Sindiran Pedas Istri Kedua Obi kembali mengusap-usap kepalaku tetapi tidak berkata apa-apa. Dia membiarkan aku untuk menumpahkan semua yang terasa menyesakkan dada. Berkali-kali Obi menyekakan air mata yang bagai tiada habisnya. Memang, di saat-saat tertentu, kita tidak membutuhkan kata-kata sebagai penghibur atau pun untuk menguatkan. Cukup diberi ruang untuk menumpahkan perasaan lewat tangisan juga bisa memberikan kelegaan. Mungkin itu sedang Obi lakukan padaku. Karena sejatinya pun dia juga butuh ruang dan waktu untuk menata hati agar bisa menerima kenyataan dengan ikhlas. Mengetahui kabar bahagia yang sangat dinanti-nantikan, dan di saat itu juga harus kehilangan tentunya adalah kenyataan yang sangat memilukan. Siapa pun pasti akan shock, termasuk Obi. Walaupun tidak pernah mengutarakan ingin segera memiliki buah hati, tetapi selayaknya orang normal, pasti dia sangat menginginkannya. Obi pasti sangat shock dengan kenyataan ini. Hanya saja karena sudah terlebih dahulu tahu, j
Sindiran Pedas Istri Kedua Detik selanjutnya setelah pesan itu kubuka, nomor yang tak tersimpan tersebut melakukan panggilan masuk. Aku sedikit kaget dan deg-degan dibuatnya. Apalagi yang menjadi foto profilnya hanyalah berupa gedung pencakar langit. Entah siapa pemilik nomor tersebut. Semoga saja bukan nama yang telah menjadi tersangka di otakku. Aku menyerahkan ponselnya pada Obi. Meskipun Obi tidak akan keberatan kalau aku menerima telepon itu, tetapi aku tidak ingin terlalu jauh mengusik privasinya. Sesaat Obi mengamati deretan nomor tersebut hingga akhirnya dia pun menempelkan ponsel ke telinga. "Oh, Mas Arga. Maaf-maaf, Mas, nomornya lupa disave. Jadi, gimana, Mas?" "Kembali saya mohon maaf yang teramat sangat, Mas. Siang ini saya nggak bisa. Saya lagi dampingin istri saya di rumah sakit ni, Mas." "Baik, Mas. Terima kasih atas pengertiannya. Nanti saya yang hubungi Mas Arga." Setelah mengakhiri percakapannya, Obi kembali mengarahkan pandangan padaku. "Mau nelepon dulu ap
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku melemparkan dengan kasar tas serta map berisi beberapa dokumen ke dalam mobil. Setelah duduk di depan setir, aku menutup pintu juga tak kalah kerasnya. Setelah mesin dinyalakan, langsung aku menginjak gas. Di saat yang bersamaan, air mataku pun jatuh bercucuran. Sepanjang perjalanan aku ditemani oleh derai air mata yang semakin lama makin deras. Hatiku benar-benar seperti di remuk-remuk. Kecewa, kesal, marah, sakit, perih, pedih, semuanya berbaur. Untungnya jarak yang kutempuh tidak terlalu jauh. Berkali-kali aku gagal memfokuskan perhatian pada jalan. Untung saja tidak sampai terjadi apa-apa. Beberapa meter menuju kantor, aku minggir dulu ke tepi jalan. Kulihat pantulan wajah lewat spion depan. Aku sangat kacau. Mataku memerah dan bengkak. Aku rasa setebal apa pun riasan takkan bisa menyamarkan suasana hati yang tergambar lewat wajahku. Puluhan lembar tisu telah kuhabiskan untuk menyeka air mata. Namun, lagi dan lagi ia masih keluar. Seolah berlite