Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak sarapan lagi?" Obi menatap heran padaku. "Nggak selera sama sekali, Bi." "Dipaksain, dong, Sayang. Atau maunya apa? Menu yang lain?" Aku menggeleng pelan. "Nggak ada yang enak di lidah aku." "Gimana kalau ntar siang kita nyari tempat makan yang kira-kira kamu suka. Searching aja dulu, habis itu kabarin aku. Biar aku jemput siangnya." "Nggak usah, Bi. Kamu lagi sibuk juga, kan? Kalau ntar sore kamu bisa nemenin aku nggak? Aku mau ke doker aja." "Siang aja. Ntar aku kondisiin jadwalku." "Sore aja. Siangnya aku juga rada repot." "Yang, kamu lagi nggak fit kondisinya. Dikurangin dulu aktivitasnya. Kamu limpahin aja beberapa wewenang sama yang lain. Misalnya sama Nisa. Dia kan udah lama ikut sama kamu. Dia anaknya juga nggak macam-macam, bukan?" "Iya," jawabku pendek sambil memainkan sendok pada segelas susu yang sama sekali tidak ingin kuminum. "Jangan iya, iya aja! Dilakuin benaran." Lagi Obi mengulang anjuran. Sepertinya dia tidak puas deng
Sindiran Pedas Istri Kedua Obi kembali mengusap-usap kepalaku tetapi tidak berkata apa-apa. Dia membiarkan aku untuk menumpahkan semua yang terasa menyesakkan dada. Berkali-kali Obi menyekakan air mata yang bagai tiada habisnya. Memang, di saat-saat tertentu, kita tidak membutuhkan kata-kata sebagai penghibur atau pun untuk menguatkan. Cukup diberi ruang untuk menumpahkan perasaan lewat tangisan juga bisa memberikan kelegaan. Mungkin itu sedang Obi lakukan padaku. Karena sejatinya pun dia juga butuh ruang dan waktu untuk menata hati agar bisa menerima kenyataan dengan ikhlas. Mengetahui kabar bahagia yang sangat dinanti-nantikan, dan di saat itu juga harus kehilangan tentunya adalah kenyataan yang sangat memilukan. Siapa pun pasti akan shock, termasuk Obi. Walaupun tidak pernah mengutarakan ingin segera memiliki buah hati, tetapi selayaknya orang normal, pasti dia sangat menginginkannya. Obi pasti sangat shock dengan kenyataan ini. Hanya saja karena sudah terlebih dahulu tahu, j
Sindiran Pedas Istri Kedua Detik selanjutnya setelah pesan itu kubuka, nomor yang tak tersimpan tersebut melakukan panggilan masuk. Aku sedikit kaget dan deg-degan dibuatnya. Apalagi yang menjadi foto profilnya hanyalah berupa gedung pencakar langit. Entah siapa pemilik nomor tersebut. Semoga saja bukan nama yang telah menjadi tersangka di otakku. Aku menyerahkan ponselnya pada Obi. Meskipun Obi tidak akan keberatan kalau aku menerima telepon itu, tetapi aku tidak ingin terlalu jauh mengusik privasinya. Sesaat Obi mengamati deretan nomor tersebut hingga akhirnya dia pun menempelkan ponsel ke telinga. "Oh, Mas Arga. Maaf-maaf, Mas, nomornya lupa disave. Jadi, gimana, Mas?" "Kembali saya mohon maaf yang teramat sangat, Mas. Siang ini saya nggak bisa. Saya lagi dampingin istri saya di rumah sakit ni, Mas." "Baik, Mas. Terima kasih atas pengertiannya. Nanti saya yang hubungi Mas Arga." Setelah mengakhiri percakapannya, Obi kembali mengarahkan pandangan padaku. "Mau nelepon dulu ap
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku melemparkan dengan kasar tas serta map berisi beberapa dokumen ke dalam mobil. Setelah duduk di depan setir, aku menutup pintu juga tak kalah kerasnya. Setelah mesin dinyalakan, langsung aku menginjak gas. Di saat yang bersamaan, air mataku pun jatuh bercucuran. Sepanjang perjalanan aku ditemani oleh derai air mata yang semakin lama makin deras. Hatiku benar-benar seperti di remuk-remuk. Kecewa, kesal, marah, sakit, perih, pedih, semuanya berbaur. Untungnya jarak yang kutempuh tidak terlalu jauh. Berkali-kali aku gagal memfokuskan perhatian pada jalan. Untung saja tidak sampai terjadi apa-apa. Beberapa meter menuju kantor, aku minggir dulu ke tepi jalan. Kulihat pantulan wajah lewat spion depan. Aku sangat kacau. Mataku memerah dan bengkak. Aku rasa setebal apa pun riasan takkan bisa menyamarkan suasana hati yang tergambar lewat wajahku. Puluhan lembar tisu telah kuhabiskan untuk menyeka air mata. Namun, lagi dan lagi ia masih keluar. Seolah berlite
Sindiran Pedas Istri Kedua Ketika aku memasuki halaman, Obi sudah duduk di teras dengan jari-jari sedang aktif di layar HP. Aku menarik napas panjang setelah menutup pintu mobil. Kemudian berjalan sebiasa mungkin melewati Obi. Tatapan Obi sudah beralih padaku. Namun, aku tetap memasang ekspresi datar. Aku sedang tidak bisa untuk membaik-baikan sikap. Kalau biasanya akan ada peluk, cium, serta binar bahagia jika kami berjumpa walaupun pisahnya hanya hitungan satu sampai dua jam saja. Tapi untuk saat ini, jangankan tersenyum, melirik saja aku tidak tergugah. Aku pun berlalu begitu saja di hadapan Obi. Obi langsung bangkit dan mengekori aku. "Sayang, kamu dari mana?" Terdengar tanya Obi dengan suara mendesak begitu kami memasuki ruang tamu. Obi menahan lenganku sehingga aku terpaksa berhenti. Dengan rasa enggan, aku melirik sekilas pada Obi. Merasa pegangan Obi di lenganku sudah melonggar, aku menarik tangan lalu meneruskan langkah. Aku menuju tangga, bermaksud ingin ke kamar atas.
Sindiran Pedas Istri Kedua Balai Diklat Pendidikan dan Pelatihan Provinsi, di sinilah aku berada. Menjadi salah satu peserta diklat dari puluhan peserta se-provinsi. Datang dengan hati yang tidak lapang membuat apa pun yang dilakukan tidak ada yang menyenangkan. Begitu susah untukku memusatkan perhatian. Ajang ini semula kuharap akan menjadi sarana untuk healing karena fokusku akan teralihkan dengan kegiatan yang padat serta bertemu dengan beberapa teman lama dan tentunya juga akan berbaur dengan wajah-wajah baru. Namun itu hanya dalam perandaian saja. Nyatanya, seringkali jiwa dan ragaku tak ada di tempat yang sama. Dari pada ikut larut dalam cengkrama, aku lebih memilih menyepi dalam sunyi. Beberapa kali juga Hakim mencari kesempatan untuk berbincang berdua denganku. Namun, selalu hindari pertemuan dengannya. Sejak hari pertama berjumpa dengannya di tempat registrasi, aku selalu membentang jarak. Walaupun pernah sekali kami duduk berdampingan, tetapi tidaklah sempat berbicara
Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak turun?" Obi mengubah posisi duduknya sehingga menghadap padaku. Sudah beberapa menit semenjak mobil terparkir sempurna. Namun, aku masih juga betah duduk bersandar. Tak terusik sama sekali dengan hingar bingar di sekitar. Mataku tertuju pada gulungan ombak yang berlomba dengan angin lalu menghempas dengan riuh ke bibir pantai. Pantainya tidak terlalu landai. Bahkan hanya beberapa puluh meter dari jalan raya. Pantai ini tidak jauh dari gedung diklat. Hanya karena akses jalan sehingga memperpanjang waktu tempuh. Dari kampus kami dahulu juga tidak terlalu jauh. Bisa dikatakan ini adalah tempat nongkrong favorit mahasiswa. Jajanan serta makanannya selain murah meriah juga enak-enak. Setelah selesai dengan kegiatan organisasi yang kadang sangat menyita waktu dan tenaga, kawasan sepanjang garis pantai inilah yang menjadi tempat melepas lelah. Sekadar berlari atau berjalan di sepanjang hamparan pasir. Membiarkan kaki disapu sisa-sisa hempasan ombak atau
Sindiran Pedas Istri Kedua "Nggak mau, Mbak Nana!" Terdengar suara Rara di luar. Aku yang beberapa saat sama-sama terhipnotis di depan cermin bersama Obi, buru-buru melepas kerudung. Setelah itu, segera keluar untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Rara. Di ruang keluarga di lantai dua, Rara tengah tidur telungkup di sofa. Dia memyembunyikan wajahnya ke bantal. Tak hanya itu, dia pun menutup kepala dengan guling. Sementara di sampingnya ada Ibu yang tengah mencoba membujuk. Tak ketinggalan Mbak Nana yang tengah memegang sendok dan botol obat. "Kenapa, Na?" "Ini, Bu, antibiotiknya. Dari pagi belum diminum sama Rara." Nana memperlihatkan padaku. "Ra," "Rara nggak suka rasanya, Ma. Lidah Rara jadi kayak tebal kalau habis minum itu." Seperti biasa, Rara akan punya banyak stok alasan untuk menolak apa yang tidak diinginkannya. "Ra, Pak dokter kemarin bilang, kalau penyakit yang disebabkan oleh bakteri, harus minum antibiotik biar cepat sembuh. Rara mau ikut kompetisi, kan?" "Rara