Share

Itu Kamu?

Sebelum Emmy benar-benar menjawab, dia sedikit terintimidasi oleh tatapan jahat Keenan. Gadis itu beringsut mundur. Tidak. Dia tidak boleh mencari masalah dengan Keenan.

Seharusnya memang mereka sepakat, entah bagaimana hasilnya, mereka harus bicara. Emmy tidak mau berakhir di tangan Isa dan ibunya, namun dia pun tak mau dituduh sebagai orang yang menjebak Keenan.

Tapi bagaimana seharusnya mereka menyepakati hal ini?

Kelebat lari dua tiga orang pria yang membawa kamera melintas di depan pintu kamar hotel yang terbuka lebar. Keenan terkejut, menyadari jika mereka adalah pemburu berita. Salah satu dari mereka berhenti karena melihat Keenan sekilas di balik pintu.

Dia mundur dan benar!

Keenan ada di sana, berdiri dengan pakaian kusut dan ada wanita di dalam kamarnya.

“Dia di sini,” serunya memberi kode pada teman-temannya.

Keenan tak bisa mengelak ketika beberapa orang sudah mengambil potret dirinya sebelum manajer hotel mendorong Keenan kembali ke dalam kamar lalu menutupnya dari luar.

Nafas Keenan memburu, dia semakin tegang dan marah.

Dia menoleh, Emmy pun siaga. Dengan berang Keenan mendorong Emmy hingga jatuh ke lantai.

“Kamu yang memberitahu para wartawan itu bukan?” teriaknya hingga Emmy merasa gendang telinganya akan pecah.

“Ti-tidak.” Emmy menggeleng ketakutan. “Aku tidak gila untuk memberitahu mereka jika aku diperkosa olehmu.”

“Diperkosa?” Keenan kembali menganga.

Sial, Keenan merutuk kesal dalam hati. Dia berjalan hilir mudik di hadapan Emmy yang masih terpaku di lantai.

Tidak boleh. Media tidak boleh mengungkap hal ini ke hadapan publik. Walau posisi Emmy berada di balik tubuhnya, para pemburu berita itu pasti mengetahuinya.

Mereka bisa melakukan zoom pada setiap gambar dan akan membubuhkan detail atau melingkari tubuh Emmy yang samar.

Dia tahu bakal seperti apa media melihat kejadian ini. Media akan membersar-besarkannya, menggambarkan insiden ini lebih parah dari yang sebenarnya kemudian rekam jejaknya yang murni akan segera hancur.

Keenan merogoh seluruh kantung jas hingga celananya, namun dia tidak bisa menemukan ponselnya.

“Kamu menyembunyikan ponselku?”

“Aku?” Emmy menunjuk dirinya sendiri.

Tidak mungkin dia, Keenan berusaha menyadarkan diri dan fokus. Apa untungnya bagi gadis ini menyembunyikan ponselnya? Apa terjatuh?

Keenan menunduk, berusaha menyisir kolong tempat tidur dan menemukan ponselnya memang berada di sana. Dia segera memungutnya lalu menghubungi seseorang.

“Aku masih berada di hotel murahan ini.” Keenan berdecak kesal, matanya sesekali menatap Emmy yang kini sudah berdiri kaku. “Berita tentangku bakal segera muncul dan aku mau kamu menghentikannya, bagaimanapun caranya. Pergunakan seluruh staff baik pusat dan cabang untuk melenyapkan berita konyol itu.”

Keenan menarik nafas berat. “Aku tidak mau namaku menjadi topik pencarian. Satu lagi. Minta Axel menjemputku kerena ponselku hampir kehabisan daya dan...”

Panggilan itu terputus karena layar ponsel Keenan sudah gelap, pertanda daya ponselnya sudah habis. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Emmy yang menempel ke dinding. Gadis itu jelas ketakutan sekarang.

“Katakan, apa maumu sekarang?”

Suara dingin Keenan membuat Emmy mengangkat wajahnya. Dia sudah berpikir. Masalah ini biarlah berlalu tanpa kejelasan. Jika Keenan mengatakan dia adalah korban, maka ya, Keenan lah korbannya.

Jika Keenan mengatakan dia tidak memperkosa Emmy, maka ya, Keenan tidak melakukannya.

Emmy hanya ingin kembali hidup dengan tenang.

“Aku tidak mau berhubungan denganmu lagi,” gumam Emmy pelan, namun suaranya masih bisa didengar Keenan dengan jelas.

“Seharusnya kamu mengatakannya sejak awal.”

Pria sialan! Semoga Tuhan membalas perbuatan busukmu.

“Ya.” Emmy memindahkan rambut yang menutup wajahnya. “Anggap saja ini tidak terjadi.”

“Kamu yakin?”

Tentu saja tidak, bodoh.

Emmy menghela nafas. “Ya. Bisa aku pergi sekarang?”

Keenan berdiri, menempel telinga ke pintu kamar. Seharusnya manajer sudah mengusir wartawan itu. Ketika dia merasa sekelilingnya hening, Keenan memutar handel pintu dan benar saja suasananya sudah sepi.

“Aku harap aku tidak bertemu denganmu lagi.” Keenan merapikan jasnya, bertepatan saat seorang benama Axel Josiah, sepupunya, datang menemuinya.

“Kamu baik-baik saja?” Axel menatapnya dengan simpati.

Keenan hanya mengangguk, lalu Axel mengalihkan perhatiannya pada Emmy yang masih mematung di dalam kamar. “Dia?”

“Aku sudah meminta Leo untuk mengurusnya. Ayo, kita pergi.”

Begitu Keenan dan Axel berlalu, Emmy merasakan gelegak kemarahan memenuhi tubuhnya. Gadis itu merapikan kembali penampilannya, lalu meninggalkan kamar hotel yang menjadi saksi penderitaannya.

Dan para pria yang menjebaknya sudah mengawasi kamar itu semalaman. Ketika pintu belum sepenuhnya menutup, salah seorang dari mereka bergegas masuk lalu mengambil kamera yang sudah disembunyikan.

Mengetahui jika Keenan Achilles-lah yang meniduri Emmy justru membuat mereka semakin puas. Umpan besar masuk ke dalam perangkap, dan mereka akan kaya!

“Dari mana saja kamu?”

Diane Matilda, ibu tirinya menghadang Emmy ketika dia tiba di rumah. Sungguh, Emmy hanya ingin istirahat, namun sepertinya kata itu jauh dari jangkauannya.

Di meja makan, Isa menatapnya tajam. Mendadak Emmy mengingat bagaimana Keenan menindih tubuhnya dan sekujur tubuhnya langsung merinding kaku.

Bagaimana kalau Isa mengetahuinya?

“Maaf Mom. Aku tidur di kantor karena beberapa pekerjaan yang...”

Plak!

Desingan panas di wajahnya oleh tamparan Diane membuat Emmy tak kuasa bicara lebih banyak. Dia menahan air mata yang mulai menggenang di wajahnya.

“Apa kamu membuat rumah ini persinggahan? Kamu menganggapku sampah?”

“Tidak Mom.” Emmy menggeleng.

Tapi bicara pada Diane tak akan menghasilkan apapun. Dia akan tetap disalahkan dan ya, dia memang salah karena tidak kembali ke rumah.

“Ada apa?” Simone Matilda menuruni anak tangga sambil memperbaiki posisi jam tangannya. “Anak itu kembali berulah?”

“Ya. Lihat saja kelakukan anak gadismu ini. Menyebalkan,” sungut Diane kesal.

“Hanya karena almarhum ibunya menitipkannya padaku, bukan berarti dia adalah anak gadisku.” Simone duduk dengan santai di samping Isa yang sedang menyantap sarapannya sambil menonton di ponselnya.

Emmy nyaris menangis. Seharusnya dia tidak dilahirkan ibunya dulu. Tidak! Seharusnya ibunya tidak menikah dengan Simone hingga ibunya tersiksa dan kehilangan nyawa.

Emmy adalah anak haram dari pria lain, begitu Simone mengatakannya. Namun Emmy tahu betul, ibunya mengatakan jika Simone adalah ayahnya, bukan orang lain.

Walau saat itu usia Emmy baru tujuh tahun, ingatan tentang pesan terakhir ibunya itu tak pernah lekang dari ingatannya.

“Apa ini?” Isa tiba-tiba berdiri, ponsel di tangannya jatuh ke atas meja makan.

Jantung Emmy mendadak berdetak lebih cepat. Apa berita tentang dia dan Keenan sudah muncul? Bukankah tadi Keenan meminta seseorang membereskannya?

“Tidak, Mom. Keenan...”

Isa menatap layar ponselnya, lalu tiba-tiba dia melihat Emmy yang mematung.

“Tunggu. Kenapa aku merasa kalau gadis dalam video ini adalah kamu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status