"Penurunan detak jantung bayi dan pegerakan bayi harus diwaspadai, karena itu merupakan tanda adanya fetal distress yang beresiko kelahiran premature dan kematian janin dalam kandungan," papar Dokter Diana."Apakah itu bisa dicegah?" tanya ibu. Aku memilih diam tak tahu harus berkata apa. Antara senang dan sedih menghadapi kondisiku sekarang."Sebelumnya keadaan seperti ini berkaitan dengan kontraksi rahim, aktivitas ibu, anemia, obat-obat yang dikonsumsi ibu, dan perubahan lainnya pada kandungan. Denyut jantung janin bukan satu-satunya hal yang menjadi kriteria janin sehat atau tidak. Karena ada detak jantung sehat pas lahir meninggal. Ada juga yang detak jantungnya lemah, lahirnya sehat. Cuma kita jaga-jaga saja. Kita sama-sama mendoakan agar ibu dan bayi sehat sampai lahiran." Dokter Diana sangat pandai dalam berbicara. Sehingga, penjelasannya tidak terlalu membebani kepalaku."Apa ini ada hubungannya dengan obat yang saya minum untuk kesembuhan luka dan patah tulang yang saya der
"Mas Gilang!" teriak Nagita seraya memukul-mukul dada Mas Gilang. Dia terlihat sangat kecewa.Wanita berparas cantik itu berlari dengan derai air mata yang membasahi pipinya. Aku merasakan sakit yang dirasakan oleh Nagita. Sungguh! Diabaikan dan didiamkan pasangan adalah hal yang sangat menyakitkan.Langkah Nagita terhenti melihat kehadiranku. Mas Gilang tak kalah tegugu saat melihatku berada tak jauh dari posisinya."Ini semua karena kamu wanita busuk!"Nagita mendorong kursi rodaku kasar, hingga tubuhku terjerembab ke lantai. Aku mengaduh kesakitan. Tak berdaya untuk bangkit. Aku memohon pertolongan dari Mas Gilang. Namun, dia hanya melihat tanpa mau membantu. Tatapan sinis dan penuh benci terpusat untukku. "Tolong, Mas!" Suaraku terdengar lirih. Namun, sia. Tidak ada yang peduli. "Bangun sendiri! Jangan sok manja!" Mas Gilang masih dalam posisinya berdiri angkuh dengan tatapan sarkas memporak-porandakan jiwa.Bersusah payah bangkit, perlahan mengesot mencari pegangan. Kutarik kur
"Jangan, Do. Aku tidak mau." Ucapanku sama sekali tidak diindahkan. Tubuh lemahku dimasukkan dalam mobil."Jangan pernah kembali lagi," ketus Nagita dengan senyum miring."Tenang, aku akan membawamu ke tempat yang indah." Aldo terlihat menakutkan.Mobil dilajukan cepat. Aku sempat melihat mobil ibu belok ke halaman rumah. Aku menurun kaca mobil secepat kilat. Berteriak sekuat tenaga memanggil ibu. Aldo semakin beringas, ditarik tubuhku dan segera menaikkan kaca mobil sampai jemariku terjepit dan mengeluarkan darah. Aku meringis kesakitan. Kecepatan mobil dilajukan semakin cepat. Namun, sepertinya, Ibu tidak melihat keberadaanku. Mobil ibu tidak mengikuti mobilnya Aldo. Tamat riwayatku. Kemana Aldo akan membawaku? Takut mendominasi hati. Aldo tidak seperti biasanya. Harapanku pupus seketika."Do, lepaskan aku!""Tidak akan! Gara-gara kamu pernikahanku batal ....""Kenapa gara-gara aku? Nggak ada yang tahu masalah kita.""Bohooong! Pihak calon istriku membatalkan pernikahanku dua hari
Aku dibaring di UGD sebuah klinik di daerah yang tidak kuketahui lokasinya. Beberapa perawat dan seorang dokter sedang mengecek kondisiku."Suaminya parah, Dok," ucap salah satu pasien. Suami? Apa jangan-jangan mereka mengira Aldo adalah suamiku? Hah! Biar lah. Aku tidak perlu menjelaskannya dalam kondisi yang tak memungkinkan."Pendarahan di kepala dan patah tulang di bagian kaki. Diperkirakan karena terhimpit badan mobil," lanjut perawat cantik itu lagi."Sabar, Bu. Ya. Suami Ibu akan baik-baik saja," ujar lelaki yang dipanggil dokter oleh perawat barusan.Aku hanya mengedipkan mata pelan. Tak perlu membantah karena hal itu tidak penting untuk saat ini."Alhamdulillah kondisi Ibu tidak apa-apa. Kandungan Ibu juga aman-aman saja. Cuma detak jantung bayinya agak lemah. Mungkin pengaruh shock yang ibu derita. Tulang paha ibu juga tidak bermasalah. Masih pada posisi semula setelah operasi. Tenangkan diri Anda. Keluarga Anda sedang dalam perjalanan," terang dokter tersebut dengan mengula
Malam harinya, Aku terkejut dengan kedatangan Mas Gilang ke dalam kamarku. Dia menutup pintu dan melangkah mendekati ranjang tempatku berbaring."Jangan GR, aku hanya ingin bicara denganmu," ketusnya."Untu apa aku GR, Mas? Aku tahu posisiku. Jadi ... apa yang ingin Mas bicarakan?" Aku berusaha sopan. Mengatur napas untuk tenang."Aku mau mengingatkan kamu, jangan coba-coba memamfaatkan kebaikan Khanif. Pergi dari rumah ini secepatnya," ungkapnya.Posisinya berdiri pongah di hadapanku. Aku hanya menatapnya nanar. Sibuk mendamaikan hati agar tak ada air mata yang mengalir."Aku tidak sepicik itu, Mas. Aku sama sekali tidak meminta Khanif untuk membelaku. Sungguh!""Persetan! Enyah dari hadapanku. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayangmu, Nia. Tolong mengerti! Jangan sampai aku gila karena masalah ini." Mas Gilang menarik rambutnya frustasi."Mas, aku tahu kamu membenciku. Namun, lihat keadaanku. Kamu tidak kasihan kepadaku? Aku tidak lagi punya orang tua ....""Itu bukan alasan. Kam
Suara derap langkah mereka mengarah ke bawah. Ibu mendorong kursi roda untuk masuk ke dalam kamar. Malas menangapi permasalahan tiada ujung antara Nagita dan Mas Gilang."Tunggu!" teriaknya Mas Gilang. Namun, suara Nagita tak terdengar."Apa maksudmu dengan semua ini?"Craaang!Suara kaca pecah cukup menganggu telinga. Aku dan ibu saling bisik. Menguping pembicaraan mereka."Maksudku baik, Mas. Tidak ada niat buruk sama sekali. Aku ingin mewujudkan keinginan ibu kamu. Ingin memiliki cucu. Dari pada dia sibuk ngurus mantan istri kamu yang dalam perutnya anak tak jelas," kilah Nagita.Uh! Kenapa dia harus terus menyinggungku. Ibu mengusap pundakku pelan. Dia tahu, hati tersentil dengan ucapan wanita yang tidak mempunyai etika itu."Baik apanya? Baik untukmu, tapi musibah bagiku!" Mas Gilang terus berbicara tanpa henti. Nagita juga terus-terusan membela diri."Mas! Aku istrimu sudah seharusnya kamu memberikanku nafkah lahir dan batin. Kamu tidak bisa menyiksaku terus menerus." Suara Nagi
"Mas, diantara kalian sudah terikat dengan akad pernikah. Segala tugas dan tanggung jawab orang tua Nagita berpindah ke pundak Mas. Termasuk memberikannya nafkah batin. Kalau Mas tidak melakukannya dosa. Aku rasa kamu mengetahui semua itu." Khanif memberi penjelasan seperti yang pernah aku jelaskan semalam."Gilang. Bawa istrimu pergi dari rumah ibu. Kembali ke rumahmu. Ibu mau hidup tenang." Nada bicara ibu melemah."Tapi, Bu ....""Mas. Maaf jika ucapanku menyentil hatimu. Kamu berisikeras tinggal di sini karena ingin membuatku cemburu, 'kan? Kamu ingin menyakitiku pelan-pelan dengan kemesraan kalian. Namun, satu hal yang perlu Mas Gilang tahu. Apa pun yang kalian lakukan sama sekali tidak berpengaruh padaku. Lebih baik, Mas dan Nagita perbaiki hubungan. Semoga apa yang terjadi dengan kalian semalam membuahkan benih cinta yang selama ini kamu dambakan, Mas." Aku mengungkap isi hati yang selama ini aku pendam."Hah? Nggak salah? Aku mau Nagita tinggal di sini. Biar ada yang jaga Ibu.
"Sumpah demi Allah! Ini anaknya Mas Gilang. Kenapa sih perlakuan kalian padaku sangat berbeda dengan Mbak Nia. Padahal aku menantu di keluarga ini, sedangkan Mbak Nia hanya mantan mantu. Penghianat pula," ucap Nagita. Wajahnya terlihat murung."Kami bukan tidak menyukaimu, Nagita. Tidak ada yang membantah, jika kamu menantu dari keluarga Sentawibara. Namun, kelakuan kamu dan Mas Gilang itu membuat kami geram," ungkap Mbak Tari."Kelakuan keluarga kamu juga bikin sakit hati," tambah ibu."Karena hubungan kalian dimulai dengan pemaksaan. Ya ... begini akhirnya," timpal Ali. Dia tidak mau ketinggalan dalam berkomentar."Tidak perlu diperpanjang lagi. Kalau memang iya kamu hamil dengan Gilang. Alhamdulillah, kita semua juga trauma dengan permasalahan yang pernah terjadi pada Nia ....""Mas Lukman, aku tidak seperti Mbak Nia ....""Jangan ngebantah bisa nggak?" sela Mbak Aisyah geram."Kalau Mbak Nagita hamil anak Mas Gilang. Tidak menutup kemungkinan, anak dalam kandungan Mbak Nia ....""