Malam harinya, Aku terkejut dengan kedatangan Mas Gilang ke dalam kamarku. Dia menutup pintu dan melangkah mendekati ranjang tempatku berbaring."Jangan GR, aku hanya ingin bicara denganmu," ketusnya."Untu apa aku GR, Mas? Aku tahu posisiku. Jadi ... apa yang ingin Mas bicarakan?" Aku berusaha sopan. Mengatur napas untuk tenang."Aku mau mengingatkan kamu, jangan coba-coba memamfaatkan kebaikan Khanif. Pergi dari rumah ini secepatnya," ungkapnya.Posisinya berdiri pongah di hadapanku. Aku hanya menatapnya nanar. Sibuk mendamaikan hati agar tak ada air mata yang mengalir."Aku tidak sepicik itu, Mas. Aku sama sekali tidak meminta Khanif untuk membelaku. Sungguh!""Persetan! Enyah dari hadapanku. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayangmu, Nia. Tolong mengerti! Jangan sampai aku gila karena masalah ini." Mas Gilang menarik rambutnya frustasi."Mas, aku tahu kamu membenciku. Namun, lihat keadaanku. Kamu tidak kasihan kepadaku? Aku tidak lagi punya orang tua ....""Itu bukan alasan. Kam
Suara derap langkah mereka mengarah ke bawah. Ibu mendorong kursi roda untuk masuk ke dalam kamar. Malas menangapi permasalahan tiada ujung antara Nagita dan Mas Gilang."Tunggu!" teriaknya Mas Gilang. Namun, suara Nagita tak terdengar."Apa maksudmu dengan semua ini?"Craaang!Suara kaca pecah cukup menganggu telinga. Aku dan ibu saling bisik. Menguping pembicaraan mereka."Maksudku baik, Mas. Tidak ada niat buruk sama sekali. Aku ingin mewujudkan keinginan ibu kamu. Ingin memiliki cucu. Dari pada dia sibuk ngurus mantan istri kamu yang dalam perutnya anak tak jelas," kilah Nagita.Uh! Kenapa dia harus terus menyinggungku. Ibu mengusap pundakku pelan. Dia tahu, hati tersentil dengan ucapan wanita yang tidak mempunyai etika itu."Baik apanya? Baik untukmu, tapi musibah bagiku!" Mas Gilang terus berbicara tanpa henti. Nagita juga terus-terusan membela diri."Mas! Aku istrimu sudah seharusnya kamu memberikanku nafkah lahir dan batin. Kamu tidak bisa menyiksaku terus menerus." Suara Nagi
"Mas, diantara kalian sudah terikat dengan akad pernikah. Segala tugas dan tanggung jawab orang tua Nagita berpindah ke pundak Mas. Termasuk memberikannya nafkah batin. Kalau Mas tidak melakukannya dosa. Aku rasa kamu mengetahui semua itu." Khanif memberi penjelasan seperti yang pernah aku jelaskan semalam."Gilang. Bawa istrimu pergi dari rumah ibu. Kembali ke rumahmu. Ibu mau hidup tenang." Nada bicara ibu melemah."Tapi, Bu ....""Mas. Maaf jika ucapanku menyentil hatimu. Kamu berisikeras tinggal di sini karena ingin membuatku cemburu, 'kan? Kamu ingin menyakitiku pelan-pelan dengan kemesraan kalian. Namun, satu hal yang perlu Mas Gilang tahu. Apa pun yang kalian lakukan sama sekali tidak berpengaruh padaku. Lebih baik, Mas dan Nagita perbaiki hubungan. Semoga apa yang terjadi dengan kalian semalam membuahkan benih cinta yang selama ini kamu dambakan, Mas." Aku mengungkap isi hati yang selama ini aku pendam."Hah? Nggak salah? Aku mau Nagita tinggal di sini. Biar ada yang jaga Ibu.
"Sumpah demi Allah! Ini anaknya Mas Gilang. Kenapa sih perlakuan kalian padaku sangat berbeda dengan Mbak Nia. Padahal aku menantu di keluarga ini, sedangkan Mbak Nia hanya mantan mantu. Penghianat pula," ucap Nagita. Wajahnya terlihat murung."Kami bukan tidak menyukaimu, Nagita. Tidak ada yang membantah, jika kamu menantu dari keluarga Sentawibara. Namun, kelakuan kamu dan Mas Gilang itu membuat kami geram," ungkap Mbak Tari."Kelakuan keluarga kamu juga bikin sakit hati," tambah ibu."Karena hubungan kalian dimulai dengan pemaksaan. Ya ... begini akhirnya," timpal Ali. Dia tidak mau ketinggalan dalam berkomentar."Tidak perlu diperpanjang lagi. Kalau memang iya kamu hamil dengan Gilang. Alhamdulillah, kita semua juga trauma dengan permasalahan yang pernah terjadi pada Nia ....""Mas Lukman, aku tidak seperti Mbak Nia ....""Jangan ngebantah bisa nggak?" sela Mbak Aisyah geram."Kalau Mbak Nagita hamil anak Mas Gilang. Tidak menutup kemungkinan, anak dalam kandungan Mbak Nia ....""
Dua bulan berlalu, surat cerai sudah dalam genggaman. Semua itu karena campur tangan Khanif. Lelaki itu datang bak malaikat penolong. Ternyata Allah masih sayang kepadaku. Masih memberiku orang-orang yang menyayangiku tulus tanpa syarat."Mbak, kita belanja keperluan dedek bayi dalam kandungan Mbak, ya. Mbak siap-siap, ya." Khanif membuatku kaget dengan ucapannya. Aku sama sekali tidak memikirkannya. Sampai detik ini, satu persiapan pun belum ada."Nanti saja, tunggu Raka kirim uangnya dulu," ucapku malu. Raka sudah berjanji mengirimkan uang untuk persalinanku."Tenang, Khanif bayarin," ujarnya pelan."Nggak usah, mbak terlalu membebani kalian. Jangan sampai hal sepele seperti ini harus kalian juga yang tangani." Aku menunduk malu."Nia, ini terakhir kali ibu mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut kamu. Jasa kamu menjaga ibu selama 12 tahun tidak sebanding dengan uang yang ibu keluarkan untuk kamu." Ibu keluar dari kamar."Sudahlah, Mbak. Jangan dipikirkan yang lalu. Segera
"Lagi mencari wanita yang mampu mengambil hati ibu dari Mbak Lita, khususnya dari Mbak Nia. Nggak mau ntar dapat istri macam Mbak Nagita. Jadi ... harus melewati seleksi yang ketat," ungkap Khanif dengan mengedipkan mata ke arah ibunya."Jangan kebanyak milih, akhirnya jadi perjaka tua," seloroh ibu.Kemudian Khanif melangkah ke arah kereta dorong. Aku melarangnya. Namun, dia berdalih aku membutuhkannya. Di luar prediksi terlihat Mas Gilang dan Nagita. Mereka juga sedang memilih-milih kereta dorong."Nagita beli perlengkapan bayi juga, Bu," ujarku pada ibu. Telunjukku mengarah ke arah Mas Gilang dan Nagita."Cepet kali." Hanya dua kata itu terlontar dari mulut ibu.Dari kejauhan, aku melihat Khanif menegur Mas Gilang. Dia juga menunjuk ke arah kami. Nagita segera melangkah mendekat. Ekspresinya jangan ditanya sama sekali tidak bersahabat."Mas lihat ibu, lebih milih nemenin mantan mantunya belanja dari padaku," ujar Nagita seraya menarik-narik lengan Mas Gilang. Tak ubah bak gaya anak
"Tenang, kok lebih panikan kamu dari Nia," ujar ibu seraya menarik hidung putra bungsunya."Ntah, Bu. Nggak tega lihat Mbak Nia nggak berdaya gitu. Sakit, ya, Mbak?" tanya pelan. Dia mengambil teh hangat dan diminumkan pelan. Andai rumah tanggaku dengan Mas Gilang masih utuh. Tentunya dia sangat bahagia. Namun, sayang. Napsu menghancurkan ini semua."Tenang, rileks! Jangan ada beban pikiran. Fokus melahirkan. Setelah ini baru kita pikirkan hal lainnya," ujar ibu. Air mataku merembes. Jemari tua ibu menyekanya perlahan."Hari perpisahanku dengan kalian semakin dekat. Aku tidak tak akan pernah bisa melupakan kebaikan kalian ....""Sssttt! Berdoa pada Allah, agar bayi yang sebentar lagi kamu lahirkan mengalir darah keturunan Sentawibara," ucap ibu pelan. Sangat pelan, hanya aku dan Khanif yang mampu mendengarnya.Aku dipindahkan ke ruang rawat inap. Pembukaan sama sekali tidak berjalan. Bayinya pun sama sekali tidak bergerak. Khanif sibuk mengurus segala sesuatunya."Mau sesar atau ope
"Apa maksudmu menuduhku sekeji itu? Aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduhkan." Suara Nagita melemah."Tes kesehatan apa lagi? Kenapa masalah kalian nggak habis-habis?" Mas Lukman mengusap wajahnya kasar."Tes kesehatan yang aku perlihatkan pada kalian waktu itu. Di kertas itu ditulis aku mandul. Makanya aku yakin kalau anak dalam kandungan Nia bukan anakku. Terlebih lagi 12 tahun berumah tangga Nia tidak pernah hamil ....""Selama kita berobat, tidak pernah ada tes yang menyatakan kamu mandul," potongku cepat. Terpaksa berbicara walau kondisi sangat lemah."Itulah, makanya aku tanya sama wanita ini. Apakah dia menukar hasil tesnya?""Ya Allah, Mas. Hari ini kamu sadar. Kalau pun iya Semua tidak berarti apa-apa lagi." Khanif terlihat geram dengan apa yang berlangsung di depannya."Bu, tolong suruh mereka keluar," pintaku pada ibu.Aku kembali larut dalam kesedihanku. Memikirkan nasib putriku yang belum jelas keadaanya. Aku tidak peduli Mas Gilang mau mengakui atau tidak. Yang t