“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”
“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”
Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.
“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.
Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.
“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.
“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”
“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”
Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang hendak menikah hari ini tersebut bahkan mendengar teriakan penuh kemarahan dari Pak Darmawan, sang ayah.
“Apakah dengan permintaan maaf semua masalah akan selesai!? Mau ditaruh di mana muka kami, hah!?”
Tubuh Kinanti menegang. Apa yang terjadi, pikirnya.
Namun, saat ia hendak berdiri untuk keluar, sang ibu menghentikannya.
“Biar Mama yang cek keluar,” ucap wanita paruh baya itu. “Kamu tetap di sini. Mengerti?”
Kinanti mengangguk. Hatinya masih tidak tenang dan itu tergambar jelas di wajahnya. Ada banyak pikiran buruk yang masuk ke dalam otaknya–dan Kinanti tidak bisa memutuskan mana yang lebih buruk: apakah terjadi sesuatu pada calon suaminya ataukah pacarnya tersebut sengaja membuatnya menunggu seperti ini.
Namun, Kinanti yakin Bima mencintainya. Pria itu berjanji akan menikahinya sejak lama.
Karena penantian yang menyiksa, pada akhirnya, Kinanti berdiri dan menyusul ibunya ke sumber keributan.
“Kenapa dia tidak datang sendiri dan bicara padaku!?” Di luar, Pak Darmawan tengah marah-marah. Wajahnya tampak merah padam, sementara tangannya mengepal. Tatapannya terarah lurus ke seorang pria yang berdiri di hadapan. “Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!”
“S-saya tidak tahu apa-apa, Pak. Saya hanya disuruh datang dan menyampaikan kabar tersebut,” sahut lawan bicara Pak Darmawan dengan gelisah. “Ayah Bima, Pak Subakti, tidak sanggup datang karena merasa bersalah pada Bapak. Namun, beliau juga menyampaikan bahwa beliau akan menanggung biaya pesta dan kerugian yang ada sebagai permintaan maaf.”
“Memangnya dengan permintaan maaf saja semua masalah akan selesai!?” bentak Pak Darmawan. “Mau ditaruh di mana muka kami sekarang, hah!? Semua undangan akan mentertawakan kami! Mau dibayar berapa juga, kami, terutama putri kami tetap akan menanggung malu!”
“Pa, ada apa?” Soraya menghampiri suaminya yang kini duduk di kursi, berusaha menguasai diri. “Apa yang terjadi?”
Pak Darmawan menarik napas dalam-dalam sebelum berucap, “Bima membatalkan acara pernikahan dengan Kinanti!”
“Apa!?” Soraya tampak terkejut. “Tidak mungkin, Pa. Bukankah Bima sangat mencintai Kinan?”
“Buktinya dia melakukan ini!” ucap Pak Darmawan.
“Lalu bagaimana dengan acara pernikahan ini, Pa? Para tamu sudah datang, di antara mereka ada karyawan dan teman Papa. Mau diletakkan dimana wajah kita, Pa ....”
Baik ayah maupun ibu Kinanti tampak panik dan tidak menemukan jalan keluar, hingga mereka tidak menyadari Kinanti di sana. Wanita dengan pakaian pengantin itu kini terduduk di lantai, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Tidak mungkin,” gumamnya. “Tidak mungkin!” Ia berucap lebih keras, mengejutkan kedua orang tuanya.
“Kinan!” Soraya langsung menghampiri Kinanti dan memeluk putrinya tersebut, sementara sang ayah mengalihkan pandangan.
“Lalu bagaimana dengan aku, Ma?” tanya Kinanti. Ia menggenggam gawanya erat-erat dan mencari nomor keluarga Bima untuk dihubungi.
Namun, tidak satu pun yang menjawab panggilannya.
“Ahh!” Kinan menangis keras, merasa patah hati, sekaligus tidak percaya bahwa pacar yang selama ini ada di sisinya justru akan meninggalkannya di hari pernikahan seperti ini.
Sementara itu, Soraya membiarkan putrinya tenggelam dalam pelukannya, ia tak bisa berbuat banyak selain diam ikut merasakan kesedihan sang anak.
Setelah beberapa saat, akhirnya tangis Kinanti mereda. Hingga akhirnya wanita itu bertanya, “Kita harus bagaimana sekarang, Ma?” Jeda sejenak. “Maafkan Kinan. Gara-gara Kinan, Mama dan Papa harus menanggung malu.”
“Pernikahan ini akan tetap dilanjutkan, dengan atau tanpa Bima.”
Kinanti mendongak, menatap tidak percaya pada sang ayah yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya. Ia bisa melihat perasaan kecewa dan kalut di wajah Pak Darmawan, serta kemarahan. Namun, Kinanti juga bisa melihat ketegasan dan bahwa apa yang dikatakan oleh ayahnya tersebut adalah keputusan final.
“M-maksud Papa?” tanya Kinanti lirih.
“Kamu tetap harus menikah. Ini bukan karena Papa tidak memikirkan kamu, melainkan karena Papa sangat memikirkan kamu,” ucap Pak Darmawan. “Papa tidak mau kamu, dan kita semua, menjadi buah bibir orang.”
“Tapi–”
“Kamu akan dihina dan diejek karena gagal nikah, kamu akan dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Akan diremehkan.” Pak Darmawan memotong sanggahan putrinya dengan tegas. “Nama keluarga kita akan hancur. Kamu mau semua pihak media sosial memberitakan keluarga kita?”
Kinanti menggigit bibirnya, kemudian menggeleng.
“Bagus.” Pak Darmawan mengangguk. “Kamu tetap akan menikah.” Pria paruh baya itu kemudian menoleh pada sesosok pria lain yang ada di sana–yang baru disadari keberadaannya oleh Kinanti. “Perkenalkan, ini Pak Wisnu. Bos Papa.”
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.”
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.” Mata Kinanti terbelalak saat mendengarnya. “Apa!?”“Tidak ada pilihan lain, Kinan,” tukas Pak Darmawan, membuat Kinanti menelan ludah. “Jika tidak, kamu–”“Pak Darmawan.” Tiba-tiba pria asing yang merupakan atasan Pak Darmawan itu berucap. Suaranya dalam dan tatapannya tajam ke arah Kinanti. “Izinkan saya bicara berdua dengan putri Bapak.”Dengan segera, Pak Darmawan mengizinkan hal tersebut. Pria paruh baya itu mengajak istrinya pergi dari sana, meninggalkan Wisnu berdua dengan Kinanti.Hening sejenak. Tidak ada gerakan dari keduanya sebelum kemudian Wisnu menghampiri Kinanti dan mengulurkan tangannya, berniat membantu wanita itu bangun.Ragu, Kinanti menerima uluran tangan tersebut. Sepasang mata Kinanti menatap pria yang yang kini duduk berdampingan dengannya di kursi panjang. Jujur, sosok itu memang tampan, tapi Kinanti tidak yakin bahwa ia adalah pria yang tepat untuknya.Apalagi sorot mata tajam itu–“Nama saya Wi
Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi. Keduanya saling pandang, saling menelan saliva. Beberapa menit keduanya terlipat saling pandang, wajah Kinanti terlihat begitu merona, dan iapun tak menyadari jika gawai yang ada di tangannya terjatuh begini saja di atas tempat tidur. Wisnu mendehem, membuat Kinanti segera menarik diri dari pangkuan Wisnu, ia berusaha berdiri dan tentu saja di bantu oleh Wisnu. "Ponselku!, apakah Bapak melihat ponselku?" tanya Kinanti mencari gawainya. Wisnu menoleh ke kiri dan ke kanan, ia melihat gawai yang tergeletak persis di sebelahnya, tangannya mengambil gawai itu, tentu saja ia melihat layar gawai yang masih memperlihatkan gambar yang masih terpampang jelas, gambar Kinanti yang begitu mesra di peluk oleh Bima, Wisnu tersenyum ia jadi merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak di sadari oleh Kinanti. "Ini ponselmu, lain kali hati-ha
Pak Darmawan langsung masuk ke UGD, ia sudah pingsan sejak dalam perjalanan, Bu Soraya terlihat begitu panik dan sedih, begitu juga dengan Kinanti, ia hanya diam, wajahnya terlihat muram, menandakan kesedihan yang bersemayam dalam hatinya. Mereka bertiga duduk di bangku panjang tempat para orang menantikan pasien. Entah sudah berapa lama mereka berada di RS, namun belum ada kabar sama sekali, dokter yang menangani pak Darmawan belum juga keluar. Kinanti mondar-mandir sambil menggigit sebagian ujung kukunya. *** Wisnu tampak menarik nafas sangat dalam, ia semula tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, bahkan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya, bahkan dengan anak bawahannya. Tapi ketika ia kembali ingat perkataan Miranda, istrinya yang mengatakan dirinya adalah pria mandul seakan ia di beri tantangan untuk membuktikan jika ia mampu memiliki keturunan. Rasa cinta yang begitu besar pada istrinya kadang berubah jadi rasa jengkel karena ia di cap se
Wisnu memijit kepalanya yang sering merasa pusing akhir-akhir ini, ia bingung harus bagaimana. Sesuai saran dari dokter, ia sendiri mendengar bahwa pak Darmawan tidak boleh stres, lalu bagaimana mungkin ia akan membahas perjanjian antara ia dan mertuanya itu pada Kinanti, apalagi Kinanti tidak pernah membahas pernikahan mereka yang begitu mendadak, Kinanti selalu berlaku baik pada Wisnu meski mereka hanya sekedar saling sapa saja. Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat album pernikahan mereka, Wisnu tersenyum. Biasanya Wisnu selalu berpenampil