Share

Suami Dadakanku (Bukan) Pria Mandul
Suami Dadakanku (Bukan) Pria Mandul
Penulis: Setia R

Bab 1. Menikahi Pria Beristri

“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”

“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”

Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.

“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.

Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.

“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.

“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”

“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”

Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang hendak menikah hari ini tersebut bahkan mendengar teriakan penuh kemarahan dari Pak Darmawan, sang ayah.

“Apakah dengan permintaan maaf semua masalah akan selesai!? Mau ditaruh di mana muka kami, hah!?”

Tubuh Kinanti menegang. Apa yang terjadi, pikirnya.

Namun, saat ia hendak berdiri untuk keluar, sang ibu menghentikannya.

“Biar Mama yang cek keluar,” ucap wanita paruh baya itu. “Kamu tetap di sini. Mengerti?”

Kinanti mengangguk. Hatinya masih tidak tenang dan itu tergambar jelas di wajahnya. Ada banyak pikiran buruk yang masuk ke dalam otaknya–dan Kinanti tidak bisa memutuskan mana yang lebih buruk: apakah terjadi sesuatu pada calon suaminya ataukah pacarnya tersebut sengaja membuatnya menunggu seperti ini.

Namun, Kinanti yakin Bima mencintainya. Pria itu berjanji akan menikahinya sejak lama.

Karena penantian yang menyiksa, pada akhirnya, Kinanti berdiri dan menyusul ibunya ke sumber keributan.

“Kenapa dia tidak datang sendiri dan bicara padaku!?” Di luar, Pak Darmawan tengah marah-marah. Wajahnya tampak merah padam, sementara tangannya mengepal. Tatapannya terarah lurus ke seorang pria yang berdiri di hadapan. “Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!”

“S-saya tidak tahu apa-apa, Pak. Saya hanya disuruh datang dan menyampaikan kabar tersebut,” sahut lawan bicara Pak Darmawan dengan gelisah. “Ayah Bima, Pak Subakti, tidak sanggup datang karena merasa bersalah pada Bapak. Namun, beliau juga menyampaikan bahwa beliau akan menanggung biaya pesta dan kerugian yang ada sebagai permintaan maaf.”

“Memangnya dengan permintaan maaf saja semua masalah akan selesai!?” bentak Pak Darmawan. “Mau ditaruh di mana muka kami sekarang, hah!? Semua undangan akan mentertawakan kami! Mau dibayar berapa juga, kami, terutama putri kami tetap akan menanggung malu!”

“Pa, ada apa?” Soraya menghampiri suaminya yang kini duduk di kursi, berusaha menguasai diri. “Apa yang terjadi?”

Pak Darmawan menarik napas dalam-dalam sebelum berucap, “Bima membatalkan acara pernikahan dengan Kinanti!”

“Apa!?” Soraya tampak terkejut. “Tidak mungkin, Pa. Bukankah Bima sangat mencintai Kinan?”

“Buktinya dia melakukan ini!” ucap Pak Darmawan.

“Lalu bagaimana dengan acara pernikahan ini, Pa? Para tamu sudah datang, di antara mereka ada karyawan dan teman Papa. Mau diletakkan dimana wajah kita, Pa ....” 

Baik ayah maupun ibu Kinanti tampak panik dan tidak menemukan jalan keluar, hingga mereka tidak menyadari Kinanti di sana. Wanita dengan pakaian pengantin itu kini terduduk di lantai, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Tidak mungkin,” gumamnya. “Tidak mungkin!” Ia berucap lebih keras, mengejutkan kedua orang tuanya.

“Kinan!” Soraya langsung menghampiri Kinanti dan memeluk putrinya tersebut, sementara sang ayah mengalihkan pandangan.

“Lalu bagaimana dengan aku, Ma?” tanya Kinanti. Ia menggenggam gawanya erat-erat dan mencari nomor keluarga Bima untuk dihubungi.

Namun, tidak satu pun yang menjawab panggilannya. 

“Ahh!” Kinan menangis keras, merasa patah hati, sekaligus tidak percaya bahwa pacar yang selama ini ada di sisinya justru akan meninggalkannya di hari pernikahan seperti ini. 

Sementara itu, Soraya membiarkan putrinya tenggelam dalam pelukannya, ia tak bisa berbuat banyak selain diam ikut merasakan kesedihan sang anak.

Setelah beberapa saat, akhirnya tangis Kinanti mereda. Hingga akhirnya wanita itu bertanya, “Kita harus bagaimana sekarang, Ma?” Jeda sejenak. “Maafkan Kinan. Gara-gara Kinan, Mama dan Papa harus menanggung malu.”

“Pernikahan ini akan tetap dilanjutkan, dengan atau tanpa Bima.”

Kinanti mendongak, menatap tidak percaya pada sang ayah yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya. Ia bisa melihat perasaan kecewa dan kalut di wajah Pak Darmawan, serta kemarahan. Namun, Kinanti juga bisa melihat ketegasan dan bahwa apa yang dikatakan oleh ayahnya tersebut adalah keputusan final.

“M-maksud Papa?” tanya Kinanti lirih.

“Kamu tetap harus menikah. Ini bukan karena Papa tidak memikirkan kamu, melainkan karena Papa sangat memikirkan kamu,” ucap Pak Darmawan. “Papa tidak mau kamu, dan kita semua, menjadi buah bibir orang.”

“Tapi–”

“Kamu akan dihina dan diejek karena gagal nikah, kamu akan dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Akan diremehkan.” Pak Darmawan memotong sanggahan putrinya dengan tegas. “Nama keluarga kita akan hancur. Kamu mau semua pihak media sosial memberitakan keluarga kita?”

Kinanti menggigit bibirnya, kemudian menggeleng. 

“Bagus.” Pak Darmawan mengangguk. “Kamu tetap akan menikah.” Pria paruh baya itu kemudian menoleh pada sesosok pria lain yang ada di sana–yang baru disadari keberadaannya oleh Kinanti. “Perkenalkan, ini Pak Wisnu. Bos Papa.”

“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status