Pak Darmawan langsung masuk ke UGD, ia sudah pingsan sejak dalam perjalanan, Bu Soraya terlihat begitu panik dan sedih, begitu juga dengan Kinanti, ia hanya diam, wajahnya terlihat muram, menandakan kesedihan yang bersemayam dalam hatinya. Mereka bertiga duduk di bangku panjang tempat para orang menantikan pasien.
Entah sudah berapa lama mereka berada di RS, namun belum ada kabar sama sekali, dokter yang menangani pak Darmawan belum juga keluar. Kinanti mondar-mandir sambil menggigit sebagian ujung kukunya. *** Wisnu tampak menarik nafas sangat dalam, ia semula tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, bahkan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya, bahkan dengan anak bawahannya. Tapi ketika ia kembali ingat perkataan Miranda, istrinya yang mengatakan dirinya adalah pria mandul seakan ia di beri tantangan untuk membuktikan jika ia mampu memiliki keturunan. Rasa cinta yang begitu besar pada istrinya kadang berubah jadi rasa jengkel karena ia di cap sebagai laki-laki lemah. laki-laki mandul tak bisa memberikan keturunan bagi keluarganya yang kaya raya. Apalagi Miranda akhir-akhir ini selalu memberikan alasan tidak jelas padanya jika di ajak berkunjung ke rumah orang tuanya. "Mir ... kita nanti sore ke rumah Papa ya?" ajak Wisnu sore itu. "Aku lagi ada acara Mas, paling-paling Papa sama Mama selalu aja membahas kapan aku yang akan hamil, bosan aku Mas ...." "Tidak selalu gitu kan?" "Buktinya begitu kan, sampai mengatakan jika mas Wisnu akan di nikahkan dengan wanita lain, mas Wisnu kali yang mandul, di ranjang saja mas Wisnu tak punya hasrat kalau bukan aku yang mancing duluan!" "Miranda, jaga omongan kamu!" "Buktinya iyakan, pasti mas Wisnu yang nggak punya anak." "Oke, aku akan buktikan jika aku punya anak!" "Bagaimana caranya Mas?" Wisnu diam. "Mau nikah lagi, siapa sih yang mau sama laki-laki lemah kayak kamu, tampang sih boleh mas, tapi kalau di atas ranjang kamu melempem, apa wanita itu akan mau?" "Kalau ngomong itu di pikir dulu, Miranda!" "Apa yang aku bilang kenyataan kan Mas ... buktikan saja jika mas itu memang bisa punya anak!" Tanpa sadar Wisnu meremas jari-jarinya, ia terlihat geram. “Kin, duduklah di sini di sebelahku!” pinta Wisnu, Kinanti hanya menoleh sebentar tapi ia tidak mengindahkan perkataan Wisnu. Tiba-tiba ponsel dalam celana Wisnu berbunyi. Wisnu mengambil ponselnya, ia melihat nomor telepon rumah tertera di layar ponsel miliknya itu. “Ya, ada apa bik?” “Anu Tuan ... nyonya demam?" “Sejak kapan?“ "Sejak tadi malam, Tuan!” “Sekarang gimana?” “Nyonya belum bangun juga.” Wajah Wisnu terlihat berubah meski tidak begitu cemas, Kinanti yang mendengar Wisnu tengah berbicara dengan entah siapa dapat merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan Wisnu. Wisnu mencoba tersenyum meski getir pada Kinanti, ia tahu jika Kinanti telah mendengar pembicaraannya meski tidak terlalu jelas. Entah mengapa Wisnu ingin Kinanti mengetahui semua tentang dirinya, sejak bertemu dengan Kinanti bahkan sampai tidur dalam satu ruangan, ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Jiwa yang dingin dan perasaan yang tidak menentu seakan merasa tenang berada di dekat wanita yang baru saja hadir di kehidupannya ini. “Aku akan pergi sebentar?” “Kemana?” “Aku ada urusan sedikit , jika memungkinkan aku akan kembali lagi nanti, jika tidak maka besok atau nanti malam, permisi!" Sungguh sikap yang sama sekali tidak pernah di bayangkan oleh Kinanti, suami arogan dan mau menang sendiri. "Memangnya dia pikir aku ini siapa, meski bagaimana aku adalah istrinya, mau seenaknya sendiri!" "Apa kamu bilang?" "Tidak ada, mau pergi ya pergi saja!" jawab Kinanti ketus. “Aku minta nomor ponselmu, mana tahu aku akan kembali terlambat nanti!” "Kan aku tidak keberatan kamu mau kembali atau tidak, jadi tidak perlu minta nomor ponselku!" "Ayo cepat berikan!" sambil bersungut-sungut akhirnya Kinanti memberikan nomor ponsel miliknya. Setelah menyimpan nomor ponsel Kinanti, Wisnu bergegas meninggalkan rumah sakit, ia sengaja naik taksi online karena mobilnya masih di rumah Kinanti. Sesekali Wisnu menoleh ke belakang, ia melihat wajah ayu milik Kinanti tersenyum padanya. “Ya Allah ... kenapa aku begitu damai melihat senyum itu ....” bisik hati Wisnu yang hampir saja menabrak sebuah pohon besar di dekat rumah sakit. Sementara Kinanti, ia Cuma termenung memikirkan setiap hal yang ia lalui dua hari terakhir, semua berlalu begitu cepat, ia pun tidak tahu harus bersikap seperti apa pada Wisnu, ia sendiri tak pernah menyangka akan menikah dengan atasan Papanya, bahkan ia tak yakin jika Wisnu akan bisa menggantikan nama Bima di hatinya, selain sinis, Wisnu arogan juga. “Maaf, dengan keluarga Bapak Darmawan?” kata seorang perawat. “Iya, saya!” jawab Kinanti karena Mamanya sedang ada keperluan keluar. “Mari ikut saya!” kata perawat tadi. Kinanti mengikuti perawat tadi, Kinanti di bawa masuk ke sebuah ruangan, ia bertemu dengan dokter yang menangani Papanya. “Dengan keluarga pak Darmawan?” “Iya dok, bagaimana keadaan Papa saya Dok?” “Pak Darmawan mengalami kelumpuhan dan kehilangan kemampuan untuk berbicara, akibat sakit jantung yang di deritanya.” “Papa sekarang lumpuh dan tak bisa bicara?” “Iya!” “Apa Papa saya bisa sembuh, Dok?” “Saya tidak bisa menjamin, pak Darmawan tidak boleh stress, emosinya harus terkontrol dan terjaga, kelumpuhan pak Darmawan bisa pulih sewaktu-waktu, bisa juga tidak pulih!” “Lakukan yang terbaik untuk Papa saya Dok, usahakan agar Papa bisa sembuh!” “Kami dari pihak rumah sakit akan melakukan yang terbaik, semoga pak Darmawan bisa kembali normal seperti biasanya. Pak Darmawan akan di pindahkan ke ruang rawat sebentar lagi, kalian boleh melihatnya.” “Baik pak!” Kinanti menitikkan air matanya mendengar kenyataan yang di terima oleh Papanya. *** Bu Soraya masuk ke ruang rawat, setelah beberapa saat Pak Darmawan di pindahkan dari ruang UGD ke ruang rawat biasa. Kinanti permisi akan ke toilet, ia mengunci diri di sana, ia menangis sejadi-jadinya. Ia begitu terluka. Kini seakan jiwanya menjerit sakit, ibarat terhimpit beban yang begitu amat berat. Tiada lagi yang bisa ia perbuat, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain pasrah pada takdir Tuhan, takdir yang menyeret dirinya dalam situasi yang tidak menyenangkan sama sekali, takdir yang menuntut dirinya menerima tanpa harus menolak sama sekali. Hampir setengah jam Kinanti berada dalam toilet, ia belum cukup puas sebenarnya melepas rasa sesak dalam dadanya, tapi ia harus bisa menguasai dirinya, lagi pula ia punya Tuhan yang akan selalu menjadi tempat ia mengadu. *** Sementara itu, di perjalanan Wisnu dalam taksi yang di tumpanginya, termenung memikirkan nasib yang sama sekali tidak terduga, dalam waktu dua puluh empat jam dia telah mengikat janji di hadapan Allah, ia telah menikah dengan wanita yang tidak di kenalnya. Ironisnya, menikah dengan istri keduanya karena ia dan istrinya tak bisa memiliki keturunan, sungguh ini di luar dugaan, dan yang parah ia tak bisa untuk menunda lagi apalagi mamanya selalu untuk menimang seorang cucu. Meski demikian ia dalam situasi yang tidak begitu menguntungkan karena mertua barunya justru sakit, dan ia tak bisa membawa Kinanti bersama dengan dirinya, haruskah ia pulang balik ke rumahnya sendiri dan rumah mertuanya. "Huh, sungguh membosankan!" kutuknya. *** Salam sehat selalu agar bisa membaca karyaku setiap up date ya ....Wisnu memijit kepalanya yang sering merasa pusing akhir-akhir ini, ia bingung harus bagaimana. Sesuai saran dari dokter, ia sendiri mendengar bahwa pak Darmawan tidak boleh stres, lalu bagaimana mungkin ia akan membahas perjanjian antara ia dan mertuanya itu pada Kinanti, apalagi Kinanti tidak pernah membahas pernikahan mereka yang begitu mendadak, Kinanti selalu berlaku baik pada Wisnu meski mereka hanya sekedar saling sapa saja. Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat album pernikahan mereka, Wisnu tersenyum. Biasanya Wisnu selalu berpenampil
“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.” Mata Kinanti terbelalak saat mendengarnya. “Apa!?”“Tidak ada pilihan lain, Kinan,” tukas Pak Darmawan, membuat Kinanti menelan ludah. “Jika tidak, kamu–”“Pak Darmawan.” Tiba-tiba pria asing yang merupakan atasan Pak Darmawan itu berucap. Suaranya dalam dan tatapannya tajam ke arah Kinanti. “Izinkan saya bicara berdua dengan putri Bapak.”Dengan segera, Pak Darmawan mengizinkan hal tersebut. Pria paruh baya itu mengajak istrinya pergi dari sana, meninggalkan Wisnu berdua dengan Kinanti.Hening sejenak. Tidak ada gerakan dari keduanya sebelum kemudian Wisnu menghampiri Kinanti dan mengulurkan tangannya, berniat membantu wanita itu bangun.Ragu, Kinanti menerima uluran tangan tersebut. Sepasang mata Kinanti menatap pria yang yang kini duduk berdampingan dengannya di kursi panjang. Jujur, sosok itu memang tampan, tapi Kinanti tidak yakin bahwa ia adalah pria yang tepat untuknya.Apalagi sorot mata tajam itu–“Nama saya Wi
Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi. Keduanya saling pandang, saling menelan saliva. Beberapa menit keduanya terlipat saling pandang, wajah Kinanti terlihat begitu merona, dan iapun tak menyadari jika gawai yang ada di tangannya terjatuh begini saja di atas tempat tidur. Wisnu mendehem, membuat Kinanti segera menarik diri dari pangkuan Wisnu, ia berusaha berdiri dan tentu saja di bantu oleh Wisnu. "Ponselku!, apakah Bapak melihat ponselku?" tanya Kinanti mencari gawainya. Wisnu menoleh ke kiri dan ke kanan, ia melihat gawai yang tergeletak persis di sebelahnya, tangannya mengambil gawai itu, tentu saja ia melihat layar gawai yang masih memperlihatkan gambar yang masih terpampang jelas, gambar Kinanti yang begitu mesra di peluk oleh Bima, Wisnu tersenyum ia jadi merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak di sadari oleh Kinanti. "Ini ponselmu, lain kali hati-ha