“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.”
Mata Kinanti terbelalak saat mendengarnya. “Apa!?”
“Tidak ada pilihan lain, Kinan,” tukas Pak Darmawan, membuat Kinanti menelan ludah. “Jika tidak, kamu–”
“Pak Darmawan.” Tiba-tiba pria asing yang merupakan atasan Pak Darmawan itu berucap. Suaranya dalam dan tatapannya tajam ke arah Kinanti. “Izinkan saya bicara berdua dengan putri Bapak.”
Dengan segera, Pak Darmawan mengizinkan hal tersebut. Pria paruh baya itu mengajak istrinya pergi dari sana, meninggalkan Wisnu berdua dengan Kinanti.
Hening sejenak. Tidak ada gerakan dari keduanya sebelum kemudian Wisnu menghampiri Kinanti dan mengulurkan tangannya, berniat membantu wanita itu bangun.
Ragu, Kinanti menerima uluran tangan tersebut. Sepasang mata Kinanti menatap pria yang yang kini duduk berdampingan dengannya di kursi panjang. Jujur, sosok itu memang tampan, tapi Kinanti tidak yakin bahwa ia adalah pria yang tepat untuknya.
Apalagi sorot mata tajam itu–
“Nama saya Wisnu,” ujar pria itu. Ia bicara sembari menatap lurus ke arah Kinanti. “Papa kamu tadi tampak kalut, saat saya melihatnya. Jadi–”
“Bapak punya istri?” sela Kinanti, mengajukan pertanyaan yang ada di kepalanya. “Lalu kenapa bersedia menikahi saya? Bagaimana dengan istri Bapak?”
“Saya pikir ini bukan tempatnya kamu mencemaskan istri saya, Kinanti. Tidak ketika posisi kamu sedang terjepit seperti ini.”
Kinanti terdiam, tidak bisa menjawab. Ia kembali memikirkan setiap perkataan ayahnya, ditambah lagi, ia pun teringat bahwa ayahnya memiliki penyakit jantung. Jika terlalu stres, bisa saja terjadi sesuatu pada sang ayah.
Wanita itu ingin menolak. Namun, tak dalam posisi bisa melakukannya.
“Saya bisa menolong kamu keluar dari ancaman rasa malu dan olok-olok,” ucap pria itu lagi. Pemuda itu masih menatap Kinanti. “Namun, kamu juga harus membantu saya. Ayah kamu sudah menyetujui syarat dari saya dan saya tidak berminat menyembunyikan hal ini dari kamu.”
“Apa syaratnya?” Kinanti akhirnya bertanya setelah terdiam beberapa saat.
“Lahirkan seorang anak untuk saya. Bantu buktikan pada istri pertama dan keluarga saya, bahwa saya tidak mandul.”
**
Pesta pernikahan berjalan lancar. Baik Kinanti maupun Wisnu bisa memasang ekspresi berbahagia, apalagi saat mereka mengikuti arahan dari tukang foto untuk memasang wajah penuh cinta dan berpose romantis.
Untungnya, padatnya acara hari itu membuat Kinanti sedikit melupakan keberengsekan mantan pacarnya dan bagaimana dengan istri pertama suami barunya tersebut.
Namun, saat pesta sudah selesai dilaksanakan, barulah pikiran-pikiran itu kembali menghantui otak Kinanti.
“Apakah aku melakukan kesalahan?” tanyanya pada diri sendiri. “Hingga Bima meninggalkanku tanpa penjelasan seperti itu?”
Wanita itu memandangi gawai di tangannya. Bima masih belum membalas pesan-pesan yang ia kirimkan. Kinanti merasa nyaris gila memikirkan alasan pria itu tega meninggalkannya di hari pernikahan, sekalipun sang ayah mengatakan kalau tidak ada gunanya Kinanti memikirkan pria berengsek tersebut.
“Belum tidur?”
Lamunan Kinanti terpecah saat mendengar suara dalam yang familier tersebut. Ia menoleh dan mendapati suami dadakannya berdiri tidak jauh dari sana.
“Bapak belum pulang?” Kinanti justru bertanya balik, membuat pria itu mengernyit.
“Sekalipun tiba-tiba, saya sekarang adalah suami kamu secara sah,” ucap Wisnu. “Kita punya kesepakatan, Kinanti.”
Kinanti cemberut, tapi ia tidak mengatakan apa pun.
“Lebih baik, sekarang kamu ganti baju,” ucap Wisnu, sebelum kemudian duduk di samping Kinanti. “Dan bersihkan dirimu. Daripada kamu meratapi pria yang tidak jelas itu.”
“Jaga ucapan Bapak,” tegur Kinanti. Entah kenapa merasa marah saat pria itu yang mengatai Bima. “Bapak tidak kenal dia.”
“Tidak harus mengenalnya untuk tahu dia pria seperti apa, Kinanti,” balas Wisnu dengan nada dinginnya. “Dia meninggalkan wanita yang mencintainya di hari pernikahan. Seharusnya kamu bisa menyadari dengan jelas bagaimana sifatnya dari cara ia bersikap.”
Kinanti tampak marah. Karena baginya, Bima masihlah kekasihnya yang baik hati dan lembut. Yang menjanjikan pernikahan. Lagi pula, ia tidak tahu mengapa Bima bersikap demikian. Bisa saja dia yang salah, bukan?
Sekalipun, memang tidak seharusnya Bima menghilang tanpa kabar dan nyaris membuatnya menjadi bahan olok-olok.
Namun, Kinanti enggan mengakuinya. Tidak di hadapan pria asing ini, sekalipun pria inilah yang menolong Kinanti dan keluarganya.
Tidak di hadapan pria yang menduakan istrinya karena menginginkan anak.
Terburu-buru karena emosi, Kinanti berdiri dan melangkah.
Tapi baru satu langkah menjauhi Wisnu, kakinya yang memakai sepatu hak tinggi tergelincir dan hampir saja Kinanti terjatuh jika Wisnu tidak segera menangkap tubuhnya yang mungil itu.
“Hati-hati,” ucap pria itu. Posisinya saat ini tengah memeluk Kinanti di pangkuannya.
Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi.
Keduanya saling pandang, saling menelan saliva.
Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi. Keduanya saling pandang, saling menelan saliva. Beberapa menit keduanya terlipat saling pandang, wajah Kinanti terlihat begitu merona, dan iapun tak menyadari jika gawai yang ada di tangannya terjatuh begini saja di atas tempat tidur. Wisnu mendehem, membuat Kinanti segera menarik diri dari pangkuan Wisnu, ia berusaha berdiri dan tentu saja di bantu oleh Wisnu. "Ponselku!, apakah Bapak melihat ponselku?" tanya Kinanti mencari gawainya. Wisnu menoleh ke kiri dan ke kanan, ia melihat gawai yang tergeletak persis di sebelahnya, tangannya mengambil gawai itu, tentu saja ia melihat layar gawai yang masih memperlihatkan gambar yang masih terpampang jelas, gambar Kinanti yang begitu mesra di peluk oleh Bima, Wisnu tersenyum ia jadi merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak di sadari oleh Kinanti. "Ini ponselmu, lain kali hati-ha
Pak Darmawan langsung masuk ke UGD, ia sudah pingsan sejak dalam perjalanan, Bu Soraya terlihat begitu panik dan sedih, begitu juga dengan Kinanti, ia hanya diam, wajahnya terlihat muram, menandakan kesedihan yang bersemayam dalam hatinya. Mereka bertiga duduk di bangku panjang tempat para orang menantikan pasien. Entah sudah berapa lama mereka berada di RS, namun belum ada kabar sama sekali, dokter yang menangani pak Darmawan belum juga keluar. Kinanti mondar-mandir sambil menggigit sebagian ujung kukunya. *** Wisnu tampak menarik nafas sangat dalam, ia semula tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, bahkan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya, bahkan dengan anak bawahannya. Tapi ketika ia kembali ingat perkataan Miranda, istrinya yang mengatakan dirinya adalah pria mandul seakan ia di beri tantangan untuk membuktikan jika ia mampu memiliki keturunan. Rasa cinta yang begitu besar pada istrinya kadang berubah jadi rasa jengkel karena ia di cap se
Wisnu memijit kepalanya yang sering merasa pusing akhir-akhir ini, ia bingung harus bagaimana. Sesuai saran dari dokter, ia sendiri mendengar bahwa pak Darmawan tidak boleh stres, lalu bagaimana mungkin ia akan membahas perjanjian antara ia dan mertuanya itu pada Kinanti, apalagi Kinanti tidak pernah membahas pernikahan mereka yang begitu mendadak, Kinanti selalu berlaku baik pada Wisnu meski mereka hanya sekedar saling sapa saja. Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat album pernikahan mereka, Wisnu tersenyum. Biasanya Wisnu selalu berpenampil
“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang