Wisnu memijit kepalanya yang sering merasa pusing akhir-akhir ini, ia bingung harus bagaimana.
Sesuai saran dari dokter, ia sendiri mendengar bahwa pak Darmawan tidak boleh stres, lalu bagaimana mungkin ia akan membahas perjanjian antara ia dan mertuanya itu pada Kinanti, apalagi Kinanti tidak pernah membahas pernikahan mereka yang begitu mendadak, Kinanti selalu berlaku baik pada Wisnu meski mereka hanya sekedar saling sapa saja. Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat album pernikahan mereka, Wisnu tersenyum. Biasanya Wisnu selalu berpenampilan dingin, tapi hari ini ia terlihat lembut, seperti apa sebenarnya sifat asli dari suami misteriusnya ini? “Kamu cantik dalam foto itu!” ujarnya sekedar memulai percakapan mereka. Kinanti berpaling menatap Wisnu, ia tersenyum, antara manis dan asam, gimana tuh? “Apakah Bima masih saja menemani hatimu?” "Itu bukan urusanmu!” jawab Kinanti masih bernada ketus “Aku paham, bukankah kalian sudah lama menjalin hubungan, tentu saja banyak kisah yang tidak bisa kalian lupakan.” Jawab Wisnu. “Boleh aku minta sesuatu?” “Apa, katakan saja!” “Bolehkah aku datang kerumah keluarga Bima?” perkataan dan permintaan Kinanti membuat mood nya hilang, ia kembali dingin. Wisnu terdiam, ia sendiri tidak tahu, apakah ia akan memberi izin atau tidak. Bagaimana seandainya Kinanti bertemu dengan Bima, apa yang akan terjadi? akankah Kinanti akan kembali kepada Bima meski laki-laki itu sudah meninggalkan dirinya, akankah dia gagal membuktikan pada Miranda jika ia bisa memiliki keturunan? "Tidak, meski baru beberapa hari aku melewati hari-hari bersama Kinanti, aku merasa ada yang berbeda dari Kinanti, semuanya berbeda!" Kinanti yang terlihat begitu pemalu, yang jinak jinak merpati, susah untuk di dekati membuat Wisnu ingin selalu ada bersamanya, bukan seperti Miranda yang selalu agresif, bahkan memang dirinya sering merasa kewalahan menghadapinya, sehingga ia di katakan bahwa dirinya adalah laki-laki lemah yang tak bisa memuaskan istrinya. "tapi benarkah aku ini lemah?" Wisnu menghela nafas berat. "Apakah engkau keberatan?" “Aku belum bisa kasih jawaban, aku akan memikirkannya?” jawab Wisnu bernada dingin. Bagaimanapun Wisnu pasti merasakan rasa sakit karena kehilangan orang yang demikian kita cintai, apalagi setahu Kinanti bahwa Bima telah pergi untuk selamanya. Tapi Wisnu tidak bisa mengambil resiko. “Aku janji tidak akan ngapa-ngapain, aku Cuma ingin mengucapkan bela sungkawa saja Mas, tidak lebih!” “Iya, aku paham maksudmu, tapi bukan sekarang." “Ya tidaklah, besok atau kapan-kapan!” “Oke jika begitu, kita pikirkan kembali besok!" jawaban Wisnu begitu membuat Kinanti langsung diam, ia tak mau lagi membicarakan hal itu pada wisnu, karena wajah suaminya begitu dingin dan menyeramkan. “Aku mau membahas masalah pernikahan kita sekarang.” Kata Wisnu kemudian dengan mendesah berat. "Memangnya kenapa dengan pernikahan kita?" jawab Kinanti pura-pura tidak tahu dan kemudian Kinanti diam, ia seperti sudah tahu kemana arah pembicaraan suaminya itu. “Kin!” ulang Wisnu terkesan dingin. “Ya!” jawab Kinanti tersentak. "Apa kamu menerima pernikahan ini?" “Tentu!” jawabnya berdebar. “Sebelumnya, tataplah aku, lihatlah mataku, apakah aku terlihat begitu jahat dan menakutkan?” “Aku tidak paham maksudmu, Mas ....” Wisnu menunduk dan agak lama terdiam, ia masih takut untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan pada Kinanti. “Sebenarnya ... aku ingin berterus terang sejak lama , tepatnya setelah kita menikah, tapi ternyata Bapak terkena serangan jantung, jadi aku urungkan niatku.” "Mas Wisnu menikahi aku karena ingin mendapatkan keturunan, bukan?" "Bagus kalau kamu sudah tahu, jadi aku tidak capek-capek menjelaskan sama kamu!" "Papa sudah mengatakan semuanya sebelum ijab kabul terjadi, tapi aku tidak bisa berbuat banyak karena Papa, aku takut Papa akan terkena serangan jantung, mengingat Papa sedang tidak baik-baik saja." Wisnu terdiam melihat mata Kinanti yang sudah mulai berkaca-kaca, ia tak tega melanjutkan kalimatnya. Sikap cuek bebeknya berganti kepedulian yang begitu besar. "Kenapa kamu begitu kejam Mas ... mengambil kesempatan dalam kesempitan?" keluh Kinanti "Bukan itu maksudku!" jawab Wisnu tenang. "Terus?" "Bukankah itu adil, aku menyelamatkan nama baik keluargamu, dan kamu sebagai seorang istri sudah sepantasnya memberikan keturunan?" kata Wisnu tidak mau kalah. "Masalahnya sekarang adalah kamu sudah punya istri, Mas!" jawab Kinanti tak kuasa membendung airmata nya yang sejak tadi sudah berlinang. "Sungguh aku tidak pernah berpikir akan menyakiti dirimu, kita nikah dan kita punya anak, apa susahnya?" Jawab Wisnu mulai naik nada suaranya. "Aku kecewa mas, ternyata aku menikahi laki-laki yang tak punya hati kayak kamu."sahut Kinanti dan Wisnu terdiam sejenak. Kinanti menatap mata Wisnu tajam, matanya bulat seakan keluar. Bulir air mata masih saja menetes di pipi Kinanti. “Kenapa kamu tega Mas? jawab!" Entah mengapa, Wisnu tak tahan melihat air mata itu terus menetes, ia mendekati Kinanti, ia mencoba memeluk Kinanti, namun tangan Kinanti mendorong Wisnu begitu saja. “Aku terpaksa Kinanti ... sudah aku bilang aku sangat menginginkan seorang anak." Kinanti berlari kesudut ruangan, ia ingin rasanya menjerit tapi ia takut jika Papanya akan mendengar jeritannya, akhirnya ia hanya mampu terisak sambil menggigit jari-jarinya. "Aku tidak ingin kamu menganggap aku jahat, aku hanya ...." entah kemana sifat arogan yang selalu saja tampak pada sikap suaminya, kini suara itu terdengar begitu lembut. "Bagaimana seandainya aku juga tidak bisa memiliki keturunan, apakah engkau akan meninggalkan aku juga, atau menikah lagi dengan wanita lain?" "Kenapa kamu jadi berpikir sejauh itu? kita jalani saja dulu, baru kita bahas masalah itu nanti!" “Lalu aku harus berpikir bagaimana Mas, aku harus ngapain, diam saja? apalagi kamu tahu papaku sakit-sakitan, kamu pasti dengan leluasa memperlakukan aku sesukamu, coba kamu ada di posisiku." Wisnu hanya diam. "Atau kamu akan meninggalkan aku setelah aku melahirkan anakmu, kamu akan meneruskan hubungan dengan pasanganmu, sungguh malang sekali nasibku, puas kamu mas, puas ...." "Kin ...." sentak Wisnu sambil mengguncang pundak Kinanti yang kian tergugu. “Ya, kamu benar Mas ... tapi apakah kita akan tetap meneruskan pernikahan ini?” kata Kinanti masih dengan isaknya, tidak peduli apapun yang di katakan Wisnu. "Maafkan aku Kinanti, tapi biarkan semua mengalir dengan sendirinya, pikirkan kesehatan Papamu." jawab Wisnu berusaha menghibur Kinanti. “Entahlah, kenyataan ini begitu menyakitkan hatiku, bisakah Mas Wisnu meninggalkan aku sendiri?” pinta Kinanti. "Aku tidak akan meninggalkan kamu, aku akan tetap di sini." Bujuk Wisnu. "Pergi Mas ... pergi!" kata Kinanti sambil mendorong tubuh Wisnu yang memegangi pundaknya sejak tadi. Wisnu keluar dari kamar, ia tinggalkan Kinanti seorang diri, ia mengemudikan mobilnya, entah hendak kemana, ia tidak tahu. Yang aneh ia juga merasakan ada yang sakit di ujung hatinya yang paling dalam mengatakan semuanya, apalagi melihat air mata yang mengalir begitu deras di pipi istri mudanya itu. Apakah benar Kinanti adalah istri yang siap untuk ditinggalkan olehnya jika telah melahirkan seorang anak, ah Wisnu tidak berpikir sampai sejauh itu. “Bagaimana mungkin aku berpikir sejahat itu. Ya aku terlalu jahat berniat meninggalkan Kinanti setelah ia melahirkan anakku."kata Wisnu lirih. “Aku bisa gila Kin ... tapi mana mungkin aku tak meninggalkan dirimu, jika aku terus bersamamu bagaimana dengan Miranda . Atau ... apakah aku akan jatuh cinta padamu?” kata Wisnu langsung menghentikan mobilnya. “Gila, aku benar-benar gila!” kata Wisnu sambil meremas rambutnya sendiri. *** Sunyi senyap, ketika Wisnu mengetuk pintu rumahnya, ia tak melihat istrinya di sana, ia hanya melihat pembantunya yang sepertinya dari belakang. “Mana Mira, Mbok?” tanya Wisnu menanyakan Miranda, istrinya. “Nyonya katanya arisan, Tuan” “Kapan pulangnya ?” "Mungkin agak sore!" "Mau di buatkan minum, Tuan?" “Nggak Mbok, saya mau tidur saja, nanti kalau Mira pulang, Mbok bangunin saya ya .... “Baik Tuan!” Wisnu masuk ke kamar, selama pernikahan mereka hubungan keduanya normal-normal saja, tapi karena Miranda sering meremehkan dirinya, ia yang semula adalah laki-laki setia akhirnya sampai terpaksa mendua. Setelah membaringkan tubuhnya, ia tidak bisa menepis bayangan wajah Kinanti yang selalu datang di hadapannya, kilau air mata yang sangat menyiksa hatinya. Jangankan untuk memeluknya, mendekatinya pun Wisnu begitu takut akan melukai hati wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Seperti sore ini, selalu menjadi kebiasaan bagi Miranda, selalu berkumpul dengan teman-teman sosialitanya, bahkan ia sama sekali tidak peduli dengan urusan Wisnu, kemanapun Wisnu pergi, ia tak sudi ikut, karena ia tak berminat untuk bergabung dengan orang-orang yang serius seperti suaminya, orang-orang yang tak bisa menikmati hiburan, hiburan yang entah seperti apa yang sebenarnya di maksudkan olehnya. Meski begitu keduanya mencoba untuk bertahan, walaupun Wisnu tahu jika Miranda, istri pertamanya tidak bisa memberinya keturunan, karena ada masalah pada rahimnya, kata dokter rahimnya lemah, Wisnu masih saja mencoba untuk menerima. ***“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.” Mata Kinanti terbelalak saat mendengarnya. “Apa!?”“Tidak ada pilihan lain, Kinan,” tukas Pak Darmawan, membuat Kinanti menelan ludah. “Jika tidak, kamu–”“Pak Darmawan.” Tiba-tiba pria asing yang merupakan atasan Pak Darmawan itu berucap. Suaranya dalam dan tatapannya tajam ke arah Kinanti. “Izinkan saya bicara berdua dengan putri Bapak.”Dengan segera, Pak Darmawan mengizinkan hal tersebut. Pria paruh baya itu mengajak istrinya pergi dari sana, meninggalkan Wisnu berdua dengan Kinanti.Hening sejenak. Tidak ada gerakan dari keduanya sebelum kemudian Wisnu menghampiri Kinanti dan mengulurkan tangannya, berniat membantu wanita itu bangun.Ragu, Kinanti menerima uluran tangan tersebut. Sepasang mata Kinanti menatap pria yang yang kini duduk berdampingan dengannya di kursi panjang. Jujur, sosok itu memang tampan, tapi Kinanti tidak yakin bahwa ia adalah pria yang tepat untuknya.Apalagi sorot mata tajam itu–“Nama saya Wi
Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi. Keduanya saling pandang, saling menelan saliva. Beberapa menit keduanya terlipat saling pandang, wajah Kinanti terlihat begitu merona, dan iapun tak menyadari jika gawai yang ada di tangannya terjatuh begini saja di atas tempat tidur. Wisnu mendehem, membuat Kinanti segera menarik diri dari pangkuan Wisnu, ia berusaha berdiri dan tentu saja di bantu oleh Wisnu. "Ponselku!, apakah Bapak melihat ponselku?" tanya Kinanti mencari gawainya. Wisnu menoleh ke kiri dan ke kanan, ia melihat gawai yang tergeletak persis di sebelahnya, tangannya mengambil gawai itu, tentu saja ia melihat layar gawai yang masih memperlihatkan gambar yang masih terpampang jelas, gambar Kinanti yang begitu mesra di peluk oleh Bima, Wisnu tersenyum ia jadi merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak di sadari oleh Kinanti. "Ini ponselmu, lain kali hati-ha
Pak Darmawan langsung masuk ke UGD, ia sudah pingsan sejak dalam perjalanan, Bu Soraya terlihat begitu panik dan sedih, begitu juga dengan Kinanti, ia hanya diam, wajahnya terlihat muram, menandakan kesedihan yang bersemayam dalam hatinya. Mereka bertiga duduk di bangku panjang tempat para orang menantikan pasien. Entah sudah berapa lama mereka berada di RS, namun belum ada kabar sama sekali, dokter yang menangani pak Darmawan belum juga keluar. Kinanti mondar-mandir sambil menggigit sebagian ujung kukunya. *** Wisnu tampak menarik nafas sangat dalam, ia semula tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, bahkan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya, bahkan dengan anak bawahannya. Tapi ketika ia kembali ingat perkataan Miranda, istrinya yang mengatakan dirinya adalah pria mandul seakan ia di beri tantangan untuk membuktikan jika ia mampu memiliki keturunan. Rasa cinta yang begitu besar pada istrinya kadang berubah jadi rasa jengkel karena ia di cap se