Share

Bab 5. Jujur

Wisnu memijit kepalanya yang sering merasa pusing akhir-akhir ini, ia bingung harus bagaimana.

Sesuai saran dari dokter, ia sendiri mendengar bahwa pak Darmawan tidak boleh stres, lalu bagaimana mungkin ia akan membahas perjanjian antara ia dan mertuanya itu pada Kinanti, apalagi Kinanti tidak pernah membahas pernikahan mereka yang begitu mendadak, Kinanti selalu berlaku baik pada Wisnu meski mereka hanya sekedar saling sapa saja.

Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak.

Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti.

Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat album pernikahan mereka, Wisnu tersenyum. Biasanya

Wisnu selalu berpenampilan dingin, tapi hari ini ia terlihat lembut, seperti apa sebenarnya sifat asli dari suami misteriusnya ini?

“Kamu cantik dalam foto itu!” ujarnya sekedar memulai percakapan mereka.

Kinanti berpaling menatap Wisnu, ia tersenyum, antara manis dan asam, gimana tuh?

“Apakah Bima masih saja menemani hatimu?”

"Itu bukan urusanmu!” jawab Kinanti masih bernada ketus

“Aku paham, bukankah kalian sudah lama menjalin hubungan, tentu saja banyak kisah yang tidak bisa kalian lupakan.” Jawab Wisnu.

“Boleh aku minta sesuatu?”

“Apa, katakan saja!”

“Bolehkah aku datang kerumah keluarga Bima?” perkataan dan permintaan Kinanti membuat mood nya hilang, ia kembali dingin.

Wisnu terdiam, ia sendiri tidak tahu, apakah ia akan memberi izin atau tidak. Bagaimana seandainya Kinanti bertemu dengan Bima, apa yang akan terjadi?

akankah Kinanti akan kembali kepada Bima meski laki-laki itu sudah meninggalkan dirinya, akankah dia gagal membuktikan pada Miranda jika ia bisa memiliki keturunan?

"Tidak, meski baru beberapa hari aku melewati hari-hari bersama Kinanti, aku merasa ada yang berbeda dari Kinanti, semuanya berbeda!"

Kinanti yang terlihat begitu pemalu, yang jinak jinak merpati, susah untuk di dekati membuat Wisnu ingin selalu ada bersamanya, bukan seperti Miranda yang selalu agresif, bahkan memang dirinya sering merasa kewalahan menghadapinya, sehingga ia di katakan bahwa dirinya adalah laki-laki lemah yang tak bisa memuaskan istrinya.

"tapi benarkah aku ini lemah?" Wisnu menghela nafas berat.

"Apakah engkau keberatan?"

“Aku belum bisa kasih jawaban, aku akan memikirkannya?” jawab Wisnu bernada dingin. Bagaimanapun Wisnu pasti merasakan rasa sakit karena kehilangan orang yang demikian kita cintai, apalagi setahu Kinanti bahwa Bima telah pergi untuk selamanya. Tapi Wisnu tidak bisa mengambil resiko.

“Aku janji tidak akan ngapa-ngapain, aku Cuma ingin mengucapkan bela sungkawa saja Mas, tidak lebih!”

“Iya, aku paham maksudmu, tapi bukan sekarang."

“Ya tidaklah, besok atau kapan-kapan!”

“Oke jika begitu, kita pikirkan kembali besok!"

jawaban Wisnu begitu membuat Kinanti langsung diam, ia tak mau lagi membicarakan hal itu pada wisnu, karena wajah suaminya begitu dingin dan menyeramkan.

“Aku mau membahas masalah pernikahan kita sekarang.” Kata Wisnu kemudian dengan mendesah berat.

"Memangnya kenapa dengan pernikahan kita?" jawab Kinanti pura-pura tidak tahu dan kemudian Kinanti diam, ia seperti sudah tahu kemana arah pembicaraan suaminya itu.

“Kin!” ulang Wisnu terkesan dingin.

“Ya!” jawab Kinanti tersentak.

"Apa kamu menerima pernikahan ini?"

“Tentu!” jawabnya berdebar.

“Sebelumnya, tataplah aku, lihatlah mataku, apakah aku terlihat begitu jahat dan menakutkan?”

“Aku tidak paham maksudmu, Mas ....”

Wisnu menunduk dan agak lama terdiam, ia masih takut untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan pada Kinanti.

“Sebenarnya ... aku ingin berterus terang sejak lama , tepatnya setelah kita menikah, tapi ternyata Bapak terkena serangan jantung, jadi aku urungkan niatku.”

"Mas Wisnu menikahi aku karena ingin mendapatkan keturunan, bukan?"

"Bagus kalau kamu sudah tahu, jadi aku tidak capek-capek menjelaskan sama kamu!"

"Papa sudah mengatakan semuanya sebelum ijab kabul terjadi, tapi aku tidak bisa berbuat banyak karena Papa, aku takut Papa akan terkena serangan jantung, mengingat Papa sedang tidak baik-baik saja."

Wisnu terdiam melihat mata Kinanti yang sudah mulai berkaca-kaca, ia tak tega melanjutkan kalimatnya. Sikap cuek bebeknya berganti kepedulian yang begitu besar.

"Kenapa kamu begitu kejam Mas ... mengambil kesempatan dalam kesempitan?" keluh Kinanti

"Bukan itu maksudku!" jawab Wisnu tenang.

"Terus?"

"Bukankah itu adil, aku menyelamatkan nama baik keluargamu, dan kamu sebagai seorang istri sudah sepantasnya memberikan keturunan?" kata Wisnu tidak mau kalah.

"Masalahnya sekarang adalah kamu sudah punya istri, Mas!" jawab Kinanti tak kuasa membendung airmata nya yang sejak tadi sudah berlinang.

"Sungguh aku tidak pernah berpikir akan menyakiti dirimu, kita nikah dan kita punya anak, apa susahnya?" Jawab Wisnu mulai naik nada suaranya.

"Aku kecewa mas, ternyata aku menikahi laki-laki yang tak punya hati kayak kamu."sahut Kinanti dan Wisnu terdiam sejenak.

Kinanti menatap mata Wisnu tajam, matanya bulat seakan keluar. Bulir air mata masih saja menetes di pipi Kinanti.

“Kenapa kamu tega Mas? jawab!"

Entah mengapa, Wisnu tak tahan melihat air mata itu terus menetes, ia mendekati Kinanti, ia mencoba memeluk Kinanti, namun tangan Kinanti mendorong Wisnu begitu saja.

“Aku terpaksa Kinanti ... sudah aku bilang aku sangat menginginkan seorang anak."

Kinanti berlari kesudut ruangan, ia ingin rasanya menjerit tapi ia takut jika Papanya akan mendengar jeritannya, akhirnya ia hanya mampu terisak sambil menggigit jari-jarinya.

"Aku tidak ingin kamu menganggap aku jahat, aku hanya ...." entah kemana sifat arogan yang selalu saja tampak pada sikap suaminya, kini suara itu terdengar begitu lembut.

"Bagaimana seandainya aku juga tidak bisa memiliki keturunan, apakah engkau akan meninggalkan aku juga, atau menikah lagi dengan wanita lain?"

"Kenapa kamu jadi berpikir sejauh itu? kita jalani saja dulu, baru kita bahas masalah itu nanti!"

“Lalu aku harus berpikir bagaimana Mas, aku harus ngapain, diam saja? apalagi kamu tahu papaku sakit-sakitan, kamu pasti dengan leluasa memperlakukan aku sesukamu, coba kamu ada di posisiku." Wisnu hanya diam.

"Atau kamu akan meninggalkan aku setelah aku melahirkan anakmu, kamu akan meneruskan hubungan dengan pasanganmu, sungguh malang sekali nasibku, puas kamu mas, puas ...."

"Kin ...." sentak Wisnu sambil mengguncang pundak Kinanti yang kian tergugu.

“Ya, kamu benar Mas ... tapi apakah kita akan tetap meneruskan pernikahan ini?” kata Kinanti masih dengan isaknya, tidak peduli apapun yang di katakan Wisnu.

"Maafkan aku Kinanti, tapi biarkan semua mengalir dengan sendirinya, pikirkan kesehatan Papamu." jawab Wisnu berusaha menghibur Kinanti.

“Entahlah, kenyataan ini begitu menyakitkan hatiku, bisakah Mas Wisnu meninggalkan aku sendiri?” pinta Kinanti.

"Aku tidak akan meninggalkan kamu, aku akan tetap di sini." Bujuk Wisnu.

"Pergi Mas ... pergi!" kata Kinanti sambil mendorong tubuh Wisnu yang memegangi pundaknya sejak tadi.

Wisnu keluar dari kamar, ia tinggalkan Kinanti seorang diri, ia mengemudikan mobilnya, entah hendak kemana, ia tidak tahu. Yang aneh ia juga merasakan ada yang sakit di ujung hatinya yang paling dalam mengatakan semuanya, apalagi melihat air mata yang mengalir begitu deras di pipi istri mudanya itu. Apakah benar Kinanti adalah istri yang siap untuk ditinggalkan olehnya jika telah melahirkan seorang anak, ah Wisnu tidak berpikir sampai sejauh itu.

“Bagaimana mungkin aku berpikir sejahat itu. Ya aku terlalu jahat berniat meninggalkan Kinanti setelah ia melahirkan anakku."kata Wisnu lirih.

“Aku bisa gila Kin ... tapi mana mungkin aku tak meninggalkan dirimu, jika aku terus bersamamu bagaimana dengan Miranda . Atau ... apakah aku akan jatuh cinta padamu?” kata Wisnu langsung menghentikan mobilnya.

“Gila, aku benar-benar gila!” kata Wisnu sambil meremas rambutnya sendiri.

***

Sunyi senyap, ketika Wisnu mengetuk pintu rumahnya, ia tak melihat istrinya di sana, ia hanya melihat pembantunya yang sepertinya dari belakang.

“Mana Mira, Mbok?” tanya Wisnu menanyakan Miranda, istrinya.

“Nyonya katanya arisan, Tuan”

“Kapan pulangnya ?”

"Mungkin agak sore!"

"Mau di buatkan minum, Tuan?"

“Nggak Mbok, saya mau tidur saja, nanti kalau Mira pulang, Mbok bangunin saya ya ....

“Baik Tuan!”

Wisnu masuk ke kamar, selama pernikahan mereka hubungan keduanya normal-normal saja, tapi karena Miranda sering meremehkan dirinya, ia yang semula adalah laki-laki setia akhirnya sampai terpaksa mendua.

Setelah membaringkan tubuhnya, ia tidak bisa menepis bayangan wajah Kinanti yang selalu datang di hadapannya, kilau air mata yang sangat menyiksa hatinya. Jangankan untuk memeluknya, mendekatinya pun Wisnu begitu takut akan melukai hati wanita yang sudah menjadi istrinya itu.

Seperti sore ini, selalu menjadi kebiasaan bagi Miranda, selalu berkumpul dengan teman-teman sosialitanya, bahkan ia sama sekali tidak peduli dengan urusan Wisnu, kemanapun Wisnu pergi, ia tak sudi ikut, karena ia tak berminat untuk bergabung dengan orang-orang yang serius seperti suaminya, orang-orang yang tak bisa menikmati hiburan, hiburan yang entah seperti apa yang sebenarnya di maksudkan olehnya.

Meski begitu keduanya mencoba untuk bertahan, walaupun Wisnu tahu jika Miranda, istri pertamanya tidak bisa memberinya keturunan, karena ada masalah pada rahimnya, kata dokter rahimnya lemah, Wisnu masih saja mencoba untuk menerima.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status