Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi.
Keduanya saling pandang, saling menelan saliva. Beberapa menit keduanya terlipat saling pandang, wajah Kinanti terlihat begitu merona, dan iapun tak menyadari jika gawai yang ada di tangannya terjatuh begini saja di atas tempat tidur. Wisnu mendehem, membuat Kinanti segera menarik diri dari pangkuan Wisnu, ia berusaha berdiri dan tentu saja di bantu oleh Wisnu. "Ponselku!, apakah Bapak melihat ponselku?" tanya Kinanti mencari gawainya. Wisnu menoleh ke kiri dan ke kanan, ia melihat gawai yang tergeletak persis di sebelahnya, tangannya mengambil gawai itu, tentu saja ia melihat layar gawai yang masih memperlihatkan gambar yang masih terpampang jelas, gambar Kinanti yang begitu mesra di peluk oleh Bima, Wisnu tersenyum ia jadi merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak di sadari oleh Kinanti. "Ini ponselmu, lain kali hati-hati, jangan serudak-seruduk!" ejek Wisnu. "Memangnya saya kambing apa, main seruduk?" Kinanti sebel. "Saya tidak bilang ya, kamu sendiri yang bicara!" balas Wisnu tak mau kalah. Kinanti merampas gawainya dari tangan Wisnu, segera ia beranjak menjauh dari suami dadakannya yang demikian menjengkelkan itu. Kinanti membuka lemari pakaian, ia mengambil baju ganti dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi, ia membersihkan diri di sana. Dalam waktu beberapa menit, Kinanti keluar dari kamar mandi dan telah mengganti pakaiannya dengan baju santai. Wajahnya telah bersih dari makeup, wajah itu telah terlihat bagaimana aslinya. Wisnu menatap wajah cantik alami Kinanti, ia tersenyum, ternyata istri barunya adalah seorang istri yang berparas menawan. Kini Kinanti berhenti di dekat ranjang, karena ia masih melihat Wisnu yang tidak juga beranjak dari sana, masih duduk seperti ia meninggalkannya tadi. "Tidurlah, aku juga mau tidur, bukankah ini sudah malam?" tegur Wisnu menatap Kinanti yang masih berdiri. "Saya t-tidur di atas sofa saja!" jawab Kinanti terbata karena gugup, ia tidak pernah membayangkan akan tidur seranjang dengan laki-laki asing meski saat ini laki-laki itu adalah suaminya sendiri. "Baiklah!" jawab Wisnu tanpa dosa." Kinanti tak berani mendesah, ia hanya berlalu begitu saja dari hadapan Wisnu. Ia menuju Sofa dengan tak lupa menarik bantal dan selimut. "Untuk sekedar memberi tahu, besok kamu harus menandatangani surat kontrak!" Kinanti menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Wisnu kembali. "Surat kontrak? surat kontrak apa?" tanyanya penasaran. "Surat kontrak pernikahan kita, aku akan membuatnya besok!" Kinanti menutup mulutnya. "Bapak sedang bercanda bukan? mana ada pernikahan pakai kontrak!" "Saya tidak sedang bercanda!” kata Wisnu lagi sambil menarik selimut yang masih tersedia di dekatnya dan merubah posisi duduknya dari duduk ke posisi terbaring. "Harusnya aku yang tidur di ranjang itu, pria asing, tapi kamu dengan seenaknya saja membiarkan aku tidur di sofa ini, apa kamu kira akan semudah itu tidur bersama denganku?" omelnya lirih. "Hai non, jangan ngomel Mulu, nanti cepat tua!" olok Wisnu. Kinanti tidak menyahut dan segera membaringkan dirinya begitu saja. Mencoba memejamkan matanya meski cukup sulit untuk terlelap. sementara Wisnu sudah sejak tadi tertidur dengan pulas nya. ** Azan subuh berkumandang dari beberapa mesjid, Kinanti mengerjapkan matanya beberapa kali, entah sejak kapan ia tertidur. Kinanti melipat selimut yang ia pakai, kemudian melangkah masuk ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, ia kembali keluar dan mengambil mukena, akan melakukan shalat subuh seperti kebiasaan yang ia lakukan selama ini. Wisnu menggeliat, ia mengucak matanya berulang kali dan akhirnya terbuka sempurna. Netranya tak berkedip ketika menemukan sosok Kinanti yang sedang khusyuk menjalankan ibadah shalatnya. pemandangan yang tentu sangat baru, melihat istri mudanya, entah kenapa membuat dirinya begitu merasakan kedamaian. Wisnu bangkit, ia berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, kamar mandi yang pertama kali di injaknya itu sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya. Sehabis dari kamar mandi, ia tidak menemukan sosok Kinanti, ia berpikir kemana sepagi ini Kinanti pergi. Dengan rasa penasaran yang begitu kuat, Wisnu keluar dari kamar hanya demi mengetahui keberadaan Kinanti. Ia berjalan mengendap-endap agar tidak ada yang mengetahuinya. Tercium bau masakan, harum dan mampu membangkitkan selera makan, Wisnu mendekati arah masakan itu, ia mendengar Kinanti sedang bercakap-cakap dengan pembantunya. Lagi-lagi Wisnu tersenyum, meski. tidak ada yang tahu arti senyum itu kecuali Wisnu sendiri. Setelah mengetahui keberadaan Kinanti, Wisnu kembali ke kamar dan ia kembali membaringkan tubuhnya sebab ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan. ** "Seperti yang saya janjikan tadi malam, ini adalah surat kontrak pernikahan kita." kata Wisnu sambil menyodorkan map yang berisikan dua buah kertas di dalamnya. "Ternyata Bapak lebih gila dari yang saya bayangkan!" kata Kinanti menerima map yang di ulurkan Wisnu. "Bacalah!" katanya lagi tanpa menghiraukan ejekan Kinanti. Meski jengkel, Kinanti membuka dan membacanya juga, ia terlihat membelalakkan matanya. Dalam surat itu tertulis jika, pihak pertama adalah selalu benar, dan bila pihak pertama melakukan kesalahan maka kembali pada pasal pertama bahwa pihak pertama akan selalu benar dan tidak pernah salah. Kedua, apabila pihak pertama tetap melakukan sesuatu yang tidak pantas, maka pihak kedua akan mendapatkan hukuman, sesuai dengan keputusan pihak pertama. Pihak kedua wajib melakukan apapun permintaan pihak pertama. Dan yang terakhir, jika pihak kedua selesai menunaikan tugas, termasuk melahirkan anak, maka pernikahan itu di anggap selesai. Demikian keputusan ini di buat dengan sesadar-sadarnya. "Gila, ini benar-benar gila, apakah Bapak tidak minum obat hari ini , hingga ada surat kontrak yang Bapak buat isinya seperti ini, ini jelas merugikan saya!" "Dimana letak ruginya?" "Tunggu dulu, coba katakan contoh hal apa yang Bapak bilang tidak pantas?" "Melihat gambar laki-laki lain padahal kamu sudah bersuami!" jawabnya santai. "Jika saya melakukan kesalahan itu, hukuman apa yang bakal saya terima?" "Hukuman tergantung dengan situasi dan kondisi, dimana kesalahan itu terjadi." "Contohnya apa, Bapak Wisnu yang terhormat?" jawab Kinanti mulai menahan emosinya. "Melayani saya di atas ranjang, apakah kamu paham?" jawab Wisnu melototkan matanya. Kinanti mundur beberapa langkah karena Wisnu bicara sambil melangkah mendekat ke arahnya. "Kamu terlalu banyak bicara, cukup tanda tangani dan lakukan!" suara Wisnu seakan bergema di telinganya, sungguh terdengar menakutkan, Kinanti menelan air liurnya yang terasa kering. langkah kakinya kini sudah membentur dinding, namun Wisnu masih melangkah mendekat dan tatapan Wisnu membuat kinanti semakin tak berkutik. "Kenapa malah menjauh dariku, bukankah kamu membutuhkan pena untuk menandatanganinya?" "Aku tidak akan menandatangani surat ini jika isinya merugikan saya!" jawab kinanti berusaha tetap pada keputusannya. "Apakah kamu ingin mengakhiri pernikahan ini sekarang? apa kamu tidak takut terjadi sesuatu dengan papamu? lalu apa kata orang? sudah di tinggalkan calon suami lalu setelah menikah secara mendadak kamu di tinggalkan oleh suami kamu? apakah itu bukan suatu aib yang lebih memalukan?" desak wisnu. "T-tapi aku ...." "Aku hanya menurut, jika perjanjian ini tidak di sepakati, aku siap pergi, berpikirlah!" Kinanti memejamkan matanya saat Wisnu sudah berada persis di hadapannya. Ia kembali menelan salivanya, berulang kali, sungguh ia berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.Pak Darmawan langsung masuk ke UGD, ia sudah pingsan sejak dalam perjalanan, Bu Soraya terlihat begitu panik dan sedih, begitu juga dengan Kinanti, ia hanya diam, wajahnya terlihat muram, menandakan kesedihan yang bersemayam dalam hatinya. Mereka bertiga duduk di bangku panjang tempat para orang menantikan pasien. Entah sudah berapa lama mereka berada di RS, namun belum ada kabar sama sekali, dokter yang menangani pak Darmawan belum juga keluar. Kinanti mondar-mandir sambil menggigit sebagian ujung kukunya. *** Wisnu tampak menarik nafas sangat dalam, ia semula tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, bahkan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya, bahkan dengan anak bawahannya. Tapi ketika ia kembali ingat perkataan Miranda, istrinya yang mengatakan dirinya adalah pria mandul seakan ia di beri tantangan untuk membuktikan jika ia mampu memiliki keturunan. Rasa cinta yang begitu besar pada istrinya kadang berubah jadi rasa jengkel karena ia di cap se
Wisnu memijit kepalanya yang sering merasa pusing akhir-akhir ini, ia bingung harus bagaimana. Sesuai saran dari dokter, ia sendiri mendengar bahwa pak Darmawan tidak boleh stres, lalu bagaimana mungkin ia akan membahas perjanjian antara ia dan mertuanya itu pada Kinanti, apalagi Kinanti tidak pernah membahas pernikahan mereka yang begitu mendadak, Kinanti selalu berlaku baik pada Wisnu meski mereka hanya sekedar saling sapa saja. Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat album pernikahan mereka, Wisnu tersenyum. Biasanya Wisnu selalu berpenampil
“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.” Mata Kinanti terbelalak saat mendengarnya. “Apa!?”“Tidak ada pilihan lain, Kinan,” tukas Pak Darmawan, membuat Kinanti menelan ludah. “Jika tidak, kamu–”“Pak Darmawan.” Tiba-tiba pria asing yang merupakan atasan Pak Darmawan itu berucap. Suaranya dalam dan tatapannya tajam ke arah Kinanti. “Izinkan saya bicara berdua dengan putri Bapak.”Dengan segera, Pak Darmawan mengizinkan hal tersebut. Pria paruh baya itu mengajak istrinya pergi dari sana, meninggalkan Wisnu berdua dengan Kinanti.Hening sejenak. Tidak ada gerakan dari keduanya sebelum kemudian Wisnu menghampiri Kinanti dan mengulurkan tangannya, berniat membantu wanita itu bangun.Ragu, Kinanti menerima uluran tangan tersebut. Sepasang mata Kinanti menatap pria yang yang kini duduk berdampingan dengannya di kursi panjang. Jujur, sosok itu memang tampan, tapi Kinanti tidak yakin bahwa ia adalah pria yang tepat untuknya.Apalagi sorot mata tajam itu–“Nama saya Wi