"Kok Mas nggak ngasih tahu?" tanya Maya dengan wajah kesal.Zayyan mengerut kening tampak bingung dengan respon Maya. "Kamu marah?" tanyanya hati-hati.Melihat wajah Zayyan yang terlihat takut itu membuat Maya jadi ingin tertawa. "Iya, aku marah sama Mas. Kesel!" jawabnya dengan terkekeh yang membuat laki-laki di hadapannya memandangnya bingung."Kamu sampe ketawa gitu brarti marah banget ya? Maaf, Mas nggak tau apa yang bikin kamu marah, tapi katanya kalo cewek marah mending langsung minta maaf."Penjelasan Zayyan membuat tawa Maya semakin kencang. Melihat laki-laki itu hanya diam dengan tatapan rasa bersalah, menguaplah rasa kesal dalam hatinya. Sejujurnya dia marah bukan karena perihal acara tunangan yang ingin diadakan. Dirinya marah mengapa baru diberitahu sekarang. Rasanya mendadak dan dia juga merasa kecewa karena bagaimanapun dia juga salah satu pemeran utama dalam acara ini. Jadi seharusnya dia tahu dari awal perencanaan ini. Kalau begini rasanya dia seperti tidak dihargai. M
Maya menghiraukan pertanyaan maminya dengan langsung meminta ayahnya menjalankan mobilnya. Ratih tak memaksa dan hanya menggeleng pasrah. Setelah Dita masuk ke mobil perjalanan pun dimulai. Perjalanan yang terasa singkat itu membuat Maya lupa dengan perkataan Ian tadi. Kini ada tiga mobil masuk ke perkarangan rumah Maya. Untungnya dia memiliki halaman yang luas jadi masih cukup untuk menampung hingga empat mobil. Dita tak ingin berlama-lama gadis itu langsung pamit. Ratih tak menahannya karena nanti dia dan keluarga Zayyan ingin membicarakan sesuatu. Maka, pasti dia jadi merasa tidak enak jika mengabaikan Dita."Kaki ada kan? Jalan aja bisa." Zayyan menolak meminjamkan mobilnya pada Ian. Dia masih marah dengan insiden tadi. Dia tak mempedulikan Ian yang bingung pulang naik apa. Laki-laki itu datang ke apartemennya jadi otomatis mobilnya terparkir di sana. Mereka berdua datang dengan mobil miliknya. Ian ingin kembali dengan mobilnya karena otomatis Zayyan bisa pulang diantar oleh mobil
Maya memasuki kamarnya dengan berlari usai pulang dari sekolah. Hari ini ia pulang cukup terlambat membuat ia sangat terburu-buru mengganti pakaiannya. Biasanya dia akan sampai rumah pada pukul sepuluh pagi, namun sopir yang biasa menjemputnya sedang tidak masuk karena pulang kampung sehingga dirinya harus menunggu maminya datang untuk menjemputnya. Maminya yang bekerja terlambat datang karena menemui tamu dadakannya ditambah saat perjalanan pulang jalan arah menuju rumahnya malah terkena macet. Jadilah Maya sampai di rumah ketika jarum jam dinding menunjukan waktu pukul satu siang. Setelah berganti seragam sekolahnya ke pakaian rumah, ia meraih salah satu bukunya. Buku tersebut sedikit menyumbul karena ada sesuatu terselip di dalamnya. Terdapat lipatan selembar kertas dengan tulisan acaknya serta dua buah tanda tangan di bawahnya. Bibirnya tersenyum sumringah kala melihat namanya bersanding dengan nama laki-laki yang disukainya. Suara kekehan terdengar keluar dari mulutnya. Usai pu
Helaan napas lelah keluar dari mulut Dita. Ia hanya menggelengkan kepalanya tak mengerti dengan sikap sahabatnya ini. Maya mudah sekali terhasut oleh ajakan orang-orang membuat dirinya takut jika sahabatnya ini nanti tanpa sadar jatuh ke dalam lingkaran yang tidak baik. “Aku nggak mau ya kalo satu meja kayak kemaren. Nggak ada alasan malu atau apapun, harusnya lo tau konsekuensi mengiyakan seseorang. Biar lo berani untuk bertanggungjawab,” sahut Dita yang membuat Maya bungkam tak dapat membalas. Maya hanya bisa pasrah tidak bisa membantah perkataan temannya. Ia sadar jika Dita sudah kesal dengannya begitu juga pula dia pada dirinya sendiri. Maya menyalahkan dirinya yang suka gampang terjatuh oleh ajakan orang-orang. Berawal dari teman-teman sekitarnya yang sedang membicarakan topik aplikasi kencan hingga ada beberapa yang berhasil mendapatkan pasangan membuat dia jadi penasaran dan ingin mencoba. Maka dari itulah, ia memasang aplikasi ters
“Ayo kita pulang!” ajak Adip pada pacarnya. Pria itu bergegas mengambil barang bawaannya dan menggandeng tangan kekasihnya. Namun, baru saja Adip ingin melangkah suara seseorang menahannya. “Mau kabur ke mana?” Seorang pria dengan kaos polos berwarna putih dan bawahan celana berwarna beige melangkah mendekat. Ia berdiri di depan Maya menutupi gadis itu. “Anda siapa?” tanya Adip. “Saya kakaknya. Dari tadi saya mengawasi kalian berdua di sana, baru saja pergi sebentar sudah seperti ini.” Pria itu menoleh menatap pada pacar Adip. “Dia datang mengajak bertemu adik saya dan mengaku single. Kalian mengaku bertunangan, tapi saya nggak lihat cincin yang melingkar di jari laki-laki itu.” Perkataan pria tadi sontak membuat wanita itu menarik tangan Adip dengan keras untuk mengecek jarinya. Melihat tak ada cincin di sana ia bertanya dengan marah, “di mana cincinnya?” “Dia sengaja datan
Maya menatap pemandangan di luar dengan wajah cemberut. Sementara di sampingnya Zayyan mengemudikan mobilnya mengabaikan Maya. Ketika hari hampir petang Zayyan langsung menyuruhnya pulang. Meski Maya sudah menolak dan memberi alasan bahwa ia sudah besar, pria itu tetap kekeh dengan keputusannya. Bahkan saat Maya meminta bantuan pada Ian, laki-laki itu hanya mengendikkan bahu menolaknya. Dia malah asik menghabiskan camilan yang telah dipesan oleh Zayyan lagi. Dita yang belum mengenal dekat hanya bisa diam tak membantah jadi Maya tak mendapatkan dukungan dalam memprotes Zayyan. Baru saja mereka selesai mengantarkan Dita yang mana Zayyan mengikuti mobilnya dari belakang. Kemudian Maya berpindah ke mobil Zayyan untuk mengantarnya ke rumah. Tiba-tiba mobil berhenti. Mereka berhenti di minimart dan Maya melirik ke arah Zayyan yang turun dari mobil. Pria itu tak mengatakan apapun yang membuat Maya semakin sebal. Setelah sekian tahun tidak bertemu mengapa laki-laki yan
Semenjak kejadian kencannya terakhir kali Maya langsung menghapus aplikasi tersebut dari ponselnya. Ia trauma karena dituduh menjadi pelakor padahal dia ditipu saat itu. Dita pun juga mengomelinya habis-habisnya membuat telinga Maya panas mendengarnya. Tetapi, setidaknya dari kejadian itu dia bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Ian dan Zayyan yang sama-sama ia panggil Mas Yan. Ian sendiri adalah tetangganya dulu yang tiba-tiba pindah sedangkan Zayyan adalah teman sekolahnya yang sering datang untuk bermain atau mengerjakan tugas. Dulu kedua orangtua Maya sama-sama sibuk bekerja sehingga ia kadang dititipkan ke keluarga Ian. Maminya punya butik yang jaraknya hampir satu jam dari rumah sedangkan ayahnya adalah pengacara yang sangat jarang pulang. Kesibukan kedua orangtuanya membuat Maya sering datang ke rumah keluarga Ian untuk sekedar bermain hingga menunggu maminya pulang bekerja. Meski Maya merasa kesepiaan kala itu, namun kehadiran keluarga Ian serta
“May, serius lo dilamar?” Dita yang baru duduk langsung melempar pertanyaan pada Maya. Saat ini mereka berdua sedang berada di cafe. Kemarin adalah hari dimana ia dilamar oleh seorang pria. Dan pria tersebut adalah teman dari tetangga masa kecilnya. Orang yang tak pernah ia duga. Maya yang tadinya berusaha membujuk Zayyan untuk menarik lamarannya berakhir gagal. Pria itu benar-benar seperti gunung yang tak dapat digoyahkan. Lalu, Maya berencana untuk membicarakannya pada orangtuanya, namun melihat wajah sumringah di keduanya membuat ia jadi tak enak dan akhirnya memilih untuk pasrah saja. Usai kepulangan Zayyan dan keluarga, Maya langsung masuk ke kamar dan mengirim pesan pada Dita. Ia langsung mengirim ribuan pesan suara yang berisi kepanikannya akan kejadian hari itu. Dita yang kepo dan paham dengan kepanikan sahabatnya itu akhirnya langsung mengajak Maya untuk bertemu di cafe yang biasanya mereka datangi. “Gimana d