“Marsha.”
“Marsha ....”“Marsha!! Kau tak mau bangun, hah?!” teriak Derren, menusuk gendang telinga Marsha yang tidur lelap sampai mengigau keras.Mendengar suara jeritan macho itu, wanita yang sedang mendalami peranya dalam mimpi langsung bangun dan melihat wajah jutek suaminya.“Akhirnya kau bangun.” Derren menghela napas lega dan berjalan ke arah pintu. “Kau tak lupa kalau hari ini kita akan pergi ke rumah orang tua kamu, kan?”Marsha menatap lelaki yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya itu dengan tatapan bengong. “Ulang tahun Tiya??”Derren menangguk.Sementara Marsha mengerutkan kening, menunjukkan wajah bingung, dan terlihat cukup bodoh karena linglung.“Bukannya sudah?” Wanita itu memiringkan kepalanya. “Kita kan sudah ke sana? Yang benar, aku baru saja pulang dari RS, kan?”Derren menatapnya tajam. Sutil yang ia pegang, kini sudah mengarah ke Marsha. “Bangun dari tidurmu dan turuMarsha mendongak dan melihat wajah suaminya yang sendu. Sorot mata yang terus mengisyaratkan kesedihan mendalam itu terasa begitu menyakitkan bagi Marsha. Kini lelaki itu mengulas senyum masam saat tatapan mereka bertemu. “Namun, jika kamu melahirkannya—aku akan berterima kasih dan membawanya pergi meninggalkan kehidupanmu.” Derren memberikan jeda. Tatapan Marsha saat melihatnya seusai Derren melontarkan pernyataan itu membuatnya merasa getir. “Aku tidak akan mengganggu kehidupanmu dan memberikan kehidupan yang sangat damai. Aku akan memberantas musuhmu sampai kamu tak perlu merasa cemas. Lalu—kita bisa bercerai lebih cepat dari perjanjian setelahnya. Aku ... akan membawa anakku pergi.” Marsha yang tadi hampir menangis, kini malah terlihat marah. Mendengar Derren hendak melepaskannya dan membawa anak mereka. Entah kenapa Marsha tak mau di tinggalkan oleh lelaki ini—ada perasaan tidak siap yang menyelip di hatinya. “Sebagai
Melihat kepergian Marsha, Dean segera meninggalkan tempat untuk mencari Diana. Rencana mereka harus segera di batalkan karena Marsha dalam keadaan mengandung. Jika tidak, mereka berdua akan terlibat masalah yang lebih besar dari dugaan keduanya. “Sial, di mana wanita itu berada?!” batin Dean merasa sangat cemas. Baru setengah jalan menuju kursi yang telah di pingit Derren untuk tempat mereka duduk, Diana tiba-tiba menghalangi jalan mereka sambil membawa dua gelas jus. “Hai, Marsha. Kita bertemu lagi, ya?” Derren mengerutkan kening. Wanita cantik dengan style elegan ini adalah wanita yang di cap penganggu rumah tangga Kakaknya oleh Marsha. Sebab itu wajahnya terlihat sinis saat ia menghalangi jalan mereka. “Haruskah aku senang melihatmu?” Marsha mengambil minuman yang di suguhkan Diana—sebab ia melihat wanita itu baru mengambilnya di nampan pelayan, jadi harusnya tak ada yang perlu ia curigai. “Kita tidak punya hubungan y
“Bagaimana keadaan istrimu?” Dena bertanya begitu melihat Derren keluar dari dalam kamar Marsha dengan mata yang sedikit sembab. Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya mengulas senyum masam dan berjala pergi meninggalkan lorong kamar Marsha. “Kamu mau ke mana?” Dean menghentikan langkah Derren. Ada perasaan canggung saat tangannya menahan pundak lelaki itu. Tatapan tajam yang setia di lontarkan Derren saat memandangnya, membuat tangan Dean sontak melepas pundaknya. “Saya hendak pergi ke minimarket. Marsha membutuhkan beberapa barang untuk bisa tinggal di sini beberapa hari. Saya hendak menyiapkannya,” jelas Derren dengan formal. Baik Dean atau semua keluarga Marsha dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Mereka pun bungkam dan membiarkan Derren pergi. Menghela napas sesak, Dena bangkit dari tempatnya. Ia mendekat ke pintu kamar Marsha, mengintip ke dalam ruangan. Ia melihat Marsha tengah duduk di tepi rajang dan mena
Rina menatap Derren lekat. “Siapa yang melakukan hal jahat itu.” Derren menunduk. Rina mendekat dan mengintip wajah putranya. Lelaki itu mengeluarkan air mata tanpa terisak dalam tangisnya. Rina terkejut sampai salah merespons. “Anak sebesar dirimu menangis?” pekiknya. Seketika ia menutup mulut dengan kedua tangan dan kembali menatap Derren yang tak menghentikan tangis walau tak sengaja di hina oleh Ibunya. Sementara Gama mengeluarkan sapu tangan dan memberikan benda itu pada Rina sambil mengode untuk memberikan benda itu pada Derren. Melihat hubungan canggung antar Rina dan Derren tampaknya Gama mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang. “Saya akan mencari makan siang. Tolong jaga teman saya, Tante ....” Gama mundur perlahan sebelum pergi meninggalkan tempat sambil meminta beberapa perawat yang masih standby menunggu Rina, pergi bersama dengannya. Rina terdiam bingung melihat bulir air mat
Gama terdiam dengan tatapan terkejut. Melihat Marsha yang tengah sakit itu marah, ia merasa sedikit cemas dengan kondisi psikisnya.” "Marsha, tenanglah.” Gama berusaha menenangkan. Ia ingin menggenggam kedua bahu wanita itu, namun tangannya di tepis kasar saat hendak menyentuhnya. “Kau hanya perlu menjawabku.” Marsha menekan setiap kalimat. Tatapan tajam terasa sangat menusuk bagi lawan bicaranya. “Tak perlu menyentuhku!” Gama menarik turun kedua tangan. Ia menatap Marsha pasrah. Sikap dingin itu sedikit keterlaluan saat ia hendak berbuat kebaikan nyata. “Dasar kejam!” pekik Gama dalam hati. Namun ia tak sanggup mengatakan hal itu pada Marsha mengingat kondisinya yang memprihatinkan. “Suamimu hanya pergi dengan Ibunya. Mereka sedang bicara di kantin.” Gama menghela napas panjang. “Kamu puas sekarang?” “Ya.” Marsha menjawab dengan lantang dan singkat. Ia mengalihkan tatapannya dari Gama dan memilih duduk di kursi b
Kedua tangan Marsha menggenggam erat. Tatapan kesal yang ia lemparkan pada Derren terlihat meyakinkan. Di tambah sorot mata yang penuh dendam itu, Derren merasakan firasat uruk. “Kamu tidak boleh bertindak gegabah.” Gama menyela. Kedua manik mata Marsha tertuju padanya dengan cepat. “Kenapa? Ia sudah membunuh anakku. Nyawa dengan nyawa. Itulah sepantasnya.” Gama menghela napas berat. Ia mengambil ponselnya dan kembali memutar videonya. “Jangan salah sasaran.” Gama menatap taja,. “Apa kamu yakin ia Lea? Bagiku sangat berbeda. Tinggi badan dan caranya berjalan. Mereka bukan orang yang sama.” “Kamu benar, Gama. Beberapa hari yang lalu aku sudah memastikan wanita itu tidak ada di kota sampai detik ini.” Derren menatap kedua lawan bicara yang menatap intens. “Aku mengirim seseorang untuk mengawasinya. Walau Lea terlihat berubah, tapi sikap sadis adalah sikap bawaan dari lahirnya. Aku tak bisa percaya dengannya begitu saja.” Derr
“Marsha, jangan tinggalkan aku!” Derren berusaha mengejar langkah cepat istrinya memasuki kafe. Ia menghilang di telan banyaknya pelanggan yang antre di depan kasir untuk memesan minuman. Derren yang kehilangan wanita, segera menyisir setiap sudut ruangan dengan menggunakan penglihatannya. Karena ini tempat umum dan bukan hutan, ia tak mungkin berteriak seperti mencari orang hilang di sepanjang jalan, bukan? Satu-satunya yang bisa ia andalkan hanya penglihatannya yang ter-fokuskan. “Ke mana ia pergi?” Derren naik ke lantai dua. Sementara orang yang tengah ia cari malah berada di salah satu bangku bagian tengah kafe. Ia yang mengenakan pakaian tidur, harusnya menjadi clue yang mudah untuk Derren. Namun karena banyak pengunjung, mungkin tubuh Marsha tenggelam di antaranya. “Marsha? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Dena, menatap putri tunggal yang ia keluarkan dari rahimnya—menatap Dena dengan tatapan bengis. “Aku melihat Danie
“Derren.” Bima melambaikan tangan meminta menantu bungsunya mendekat. Derren yang baru keluar dari kamar Marsha setelah memindahkan istrinya ke tempat tidur, kini telah menyiapkan mental untuk di sidang Ayah Mertuanya. Ia duduk di samping Bima yang duduk di sofa ruang tengah sambil menatap ke arah taman samping yang di terangi lampu bulat berwarna kuning yang membuatnya terlihat menarik. “Apa yang di lakukan Marsha hari ini? Apa ada masalah yang bisa aku bantu untuknya?” Bima mengembuskan napas lembut. Kekhawatiran lelaki itu terlihat tulus. Wajahnya yang keriput sedikit memberengut saat tahu ia tak pernah membantu Marsha akhir-akhir ini. “Semakin bertambahnya usiaku, anak-anakku semakin tak mau menyulitkan Ayah dan Ibu mereka. Mereka berusaha menyelesaikan semua masalah mereka sendiri walau harus mematahkan mental dan hati mereka.” Bima kembali membuang napas lembut. “Aku yakin tak ada pikiran untuk meminta bantuan dariku.