***"Gimana udah pada siap?""Sedikit lagi, ini ngantri kuncir rambut dulu."Danendra yang baru saja datang sambil menggendong Reano lantas mengukir senyumannya melihat Adara yang nampak sibuk mengikat rambut Elara.Hari ini—tepat tiga bulan setelah kepergian Felicya juga Rafly, Adara dan Danendra menggelar pesta cukup besar di sebuah hotel berbintang.Bukan memperingati kepergian dua sahabat mereka, pesta yang siang ini digelar adalah pesta ulang tahun Elara juga Queenara yang digelar secara bersamaan karena memang kedua balita itu lahir di hari yang sama dengan perbedaan jarak satu tahun pas.Elara berulang tahun kedua, sementara Queenara berulanh tahuh ke satu."Ini mereka kok pada cantik sih?" tanya Danendra pada Elara maupun Nara yang memakai gaun serupa.Sebenarnya Nara mendapatkan gaunnya dari Mbak Siti yang sengaja mengantar gaun tersebut ke rumah dan bilang jika gaun yang dibawanya dibuat khusus oleh Felicya empat bulan lalu.Seolah punya firasat, Felicya memang sudah mempers
***"Ke mana aja, kenapa baru pulang?"Adara yang sejak tadi menunggu di teras rumah langsung melayangkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang baru saja pulang dari kantornya."Dari kantor," ucap Danendra. "Tahu sendiri kan, setiap hari aku pergi ke mana?""Kok gitu sih, Dan?" tanya Adara."Gitu gimana? Apa jawaban aku ada yang salah?" tanya Danendra."Kamu kenapa sih?""Aku capek, Ra. Mau istirahat."Danendra berjalan begitu saja melewati Adara yang masih duduk di kursi lalu membuka pintu dan tentu saja Adara tak suka dengan hal itu.Entah kenapa, sudah hampir dua hari sikap Danendra tiba-tiba saja berubah. Tak ada angin, tak ada hujan, pria itu menjadi lebih dingin bahkan cuek pada Adara.Padahal, selama ini pria itu tak pernah melakukan hal tersebut."Dan, kamu ada apa sih, Dan?" tanya Adara yang akhirnya berhasil meraih lengan Danendra hingga akhirnya berhenti di dekat tangga."Aku enggak apa-apa, Ra. Aku cuman cape," kata Danendra. "Lepasin tangan aku ya, Ra. Aku mau mandi.""
***"Aku tunggu kamu di sini, hati-hati di jalan.""Iya, Dan.""Love you, Ra.""Love you too, Dan."Adara memutuskan sambungan telepon dari Danendra lalu menyimpan ponselnya di atas meja rias. Sore ini dia sedang bersiap-siap untuk pergi ke Surabaya—menghadiri makan malam romantis yang sudah disiapkan Danendra sejak jauh-jauh hari.Suprise gagal. Danendra yang awalnya berniat memberi kejutan dengan menyembunyikan rencana makan malam tersebut pada akhirnya harus mengatakan semuanya pada Adara agar istrinya tak salah paham.Ini pun sebenarnya salah Danish karena ide mendiamkan Adara lalu berpura-pura bersikap dingin adalah usulan dari pria itu.Katanya agar lebih geregetan, tapi pada kenyataannya Danendra malah dituduh mempunyai wanita idaman lain.Padahal, jangankan wanita idaman lain, menyimpan kontak perempuan di ponselnya—selain orang pentin, Danendra tak pernah karena memang cintanya pada Adara bukan main-main."Oke, Ra. Sore ini di perjalanan enggak boleh mual atau pusing apalagi
***"Hah? Ini gimana maksudnya?""Kakak enggak salah dengar ini?"Baik Danish mau pun Aksa sama-sama memasang wajah tak mengerti usai mendengar ucapan Danendra beberapa detik lalu.Pagi ini, sekitar pukul lima subuh, Aksa juga Danish mendapatkan telepon mendadak dari Danendra yang tiba-tiba saja meminta keduanya datang ke Jakarta dengan alasan 'urgent'.Takut terjadi apa-apa, Danish mau pun Aksa jelas langsung berangkat dari kota mereka masing-masing lalu datang ke rumah Danendra.Danish sampai pukul delapan setelah berangkat dari Surabaya pukul setengah tujuh, sementara Aksa sampai pukul setengah sembilan usia menempuh perjalanan dua jam lebih dari Bandung.Keduanya pikir, alasan Danendra menelepon memang karena sesuatu yang serius seperti masalah rumah tangga yang tak bisa diselesaikan berdua atau sebagainya.Namun, ternyata dugaan Danish dan Aksa salah. Alasan kenapa Danendra meminta keduanya datang adalah; untuk mengabulkan ngidam Adara yang ternyata ingin melihat Aksa, Danish, da
***"Pelan ... yuk, dorong."Adara menarik napas panjang sebelum akhirnya mengejan sekuat tenaga untuk mengeluarkan bayinya. Kedua kaki Adara perlahan bergetar sementara pegangan tangannya pada Danendra mulai menguat.Tak memegang tangan, jari-jari Adara justru bermuara di atas kepala Danendra—menarik erat rambut suaminya itu sambil terus mengejan."Ah, Danendra sakit!" teriak Adara di sela-sela kegiatannya mengejan."Sama, Ra. Aku juga sakit!" ujar Danendra tak kalah meringis karena semakin lama pegangan Adara semakin mengencang."Sakitan aku, Danendra! Kamu enggak usah ngomel!""Iya, Ra. Iya. Sakitan kamu," kata Danendra. "Yuk ngejan lagi dan keluarin bayinya ya.""Kamu pikir gampang, hah?! Sakit tau!" teriak Adara lalu di detik berikutnya dia kembali mengejan panjang—sekuat tenaga, semampunya, untuk melahirkan anak ketiga yang sudah dia kandung selama sembilan bulan ini."Ah!" teriak Adara ketika bagian bawahnya terasa membuka lebar—disusul sesuatu yang rasanya keluar seakan tersen
***"Oke anak-anak, ujian nasional hari ini resmi selesai ya. Untuk kalian anak-anak kelas IX, besok dipersilakan untuk beristirahat di rumah lalu masuk kembali hari senin."Mendengar penjelasan sang guru, semua siswa yang saat ini masih duduk di bangku masing-masing seketika menyaut dengan kompak."Siap, Bu.""Sekian untuk pertemuan kali ini, Ibu pamit. Selamat siang.""Siang, Bu."Setelahnya perempuan berambut sebahu yang hari ini memakai pakaian dinas itu melangkahkan kakinya meninggalkan kelas juga dua puluh siswa yang baru saja menyelesaikan ujian mereka masing-masing."Hai, Nara. Pulang bareng yuk."Gadis cantik yang saat ini tengah sibuk membereskan barang-barangnya seketika mendongak ketika sebuah ajakan dilontarkan seorang siswa laki-laki yang sudah berdiri di depannya.Queenara, gadis cantik yang baru saja dipanggil Nara adalah Queenara Malani Sanjaya—salah satu siswi kelas IX yang cukup terkenal di sekolah karena kecantikan juga kepintarannya."Enggak, makasih."Seperti bia
***"Mama ada?"Sejenak, Nara memandang dua orang di depannya ini dengan tatapan heran, sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan si perempuan yang sepertinya istri dari pria yang berdiri persis di depannya."Ada," kata Nara pada akhirnya. "Ibu siapa ya?""Louisa," kata perempuan tersebut. "Saya ada kepentingan sama Mama atau mungkin Papa kamu.""Oh ya sudah, silakan masuk.""Terima kasih."Nara berbalik lalu membiarkan sepasang suami istri itu masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Meminta tamu tersebut menunggu, dia melangkahkan kakinya masuk lebih dalam untuk menemui Adara yang saat ini tengah di dapur—memasak dengan Elara."Ada siapa, Nara?" tanya Adara ketika Nara sampai di dapur."Enggak tau, enggak kenal," kata Nara. "Katanya mau ketemu sama Mama.""Ketemu Mama?""Iya.""Oh ya udah," kata Adara. Sebelum pergi ke ruang tamu, dia melirik Elara. "El, titip supnya ya. Diaduk aja.""Iya, Ma." Elara menjawab patuh."Nara bisa bikinin tamunya minum?" tanya Adara pada Nara."
***"Nara."Nara yang sejak tadi sibuk membereskan semua pakaiannya seketika menoleh ketika suara seseorang memanggilnya terdengar dari arah pintu."Kenapa?"Nara bertanya singkat ketika dia tahu jika orang yang memanggilnya sekarang adalah orang yang sedang dia hindari di rumah ini.Reano.Karena pernyataan cintanya tempo hari, Nara akhirnya memutuskan untuk ikut bersama Louisa juga Charley ke Jerman dan bersekolah di sana.Sebenarnya berat, bahkan Nara pun tak mau pergi sejauh itu meninggalkan keluarga yang selama ini sudah menyayanginya. Namun, Nara tak punya pilihan.Terus tinggal di rumah Danendra—satu atap dengan Reano, membuat dia tak nyaman bahkan takut jika sewaktu-waktu perasaan cinta Reano padanya akan terbongkar.Nara tak mau mengecewakan Adara juga Danendra karena kedua orang tua angkatnya itu pasti tak suka dengan hubungan lebih dari sekadar saudara Reano dan Nara."Kamu pergi gara-gara aku?" tanya Reano sesaat setelah dia melangkah lalu berdiri persis di depan Nara."Bu