***"Macet-macet, akhirnya sampe juga."Sampai pukul setengah dua belas lebih, Adara menghela napas sambil melepaskan seat belt. Bersandar pada jok mobil, dia memandangi suasana parkiran kantor yang bisa dibilang cukup lengang.Alexander grup. Perusahaan besar itu terlihat gagah dengan tinggi menjulang. Di sana hampir semua anggota keluarga Alexander bekerja.Adam dan Alfian si pemegang saham utama, Danendra CEO, juga Anindira—putra sulung Alfian yang menduduki posisi manajer di Alexander grup pusat.Sementara kedua putra Adam yang lainnya memegang perusahaan cabang. Aksa di Bandung, Danish di Surabaya.Sebenarnya Danendra pun pernah ditawari perusahaan di Malam, tapi dia menolak. Danendra ingin tetap di Jakarta karena Adara yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru."Danendra," gumam Adara sambil memandangi paper bag di samping kirinya. "Udah istirahat belum ya, dia?"Sebelum turun dari mobil, yang dilakukan Adara adalah merogoh ponselnya dari tas untuk menelepon Mbak
***"Bagaimana, Dokter?"Menunggu bersama Adam di depan ruang penanganan, Danendra langsung menghampiri dokter yang menangani Adara tepat setelah pintu terbuka."Istri saya enggak kenapa-kenapa, kan?""Syukurnya, tidak," jawab sang dokter. "Pasien hanya mengalami benturan ringan di kepala dan hanya memerlukan beberap jahitan.""Punggungnya?" tanya Danendra—belum bisa bernapas lega, karena yang dia ingat, kursi tersebut tak hanya mengenai kepala.Punggung Adara juga terkena hantaman kursi tersebut."Punggungnya hanya memar," kata sang dokter. "Karena sudah sadar, pasien juga sudah bisa dibawa pulang. Nanti saya resepkan obat apa saja yang harus ditebus.""Saya boleh masuk?" tanya Danendra."Silakan.""Terima kasih," kata Adam yang langsung ikut bersama Danendra—masuk ke dalam ruang penanganan."Ra.""Dan."Danendra menghampiri Adara lalu yang dia lakukan selanjutnya adalah menangkup wajah sang istri yang kini tengah duduk setelah sadar beberapa menit lalu."Ra, kamu enggak apa-apa?" ta
***"Lagi apa?"Adara sedikit tersentak ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Danendra yang baru saja datang ke kamar sambil menggendong baby El."Balas pesan," jawab Adara apa adanya. "Kamu bawa main baby El darimana?""Jalan-jalan dari depan," kata Danendra. "Kenapa?"Adara memandang Danendra sambil menggenggam ponselnya. "Felicya," ucapnya. "Kayanya dia masih tinggal di apartemen yang kamu sewa deh, Dan.""Seriously?" tanya Danendra sambil mengerutkan keningnya."Iya, tadi siang aku ketemu.""Tadi siang, kapan?"Memasang raut wajah serius, dia duduk di depan Adara. Felicya. Bukan masalah kecil, perempuan itu cukup berbahaya untuk Adara."Tadi pas mau anterin makan siang buat kamu," kata Adara. "Aku papasan sama dia di depan.""Kamu diapain?" tanya Danendra khawatir.Terakhir kali Adara bertemu Felicya, perempuan itu membuat istrinya menangis. Dan sekarang, Danendra takut Felicya melakukan sesuatu hal lagi pada Adara."Enggak diapa-apain," kata Adara. "Lagian sekarang aku udah engg
***"Pokoknya Mas Rafly jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Kalau jodoh, enggak akan ke mana, Mas."Duduk di depan laptop, wejangan itu kembali diucapkan Clarissa pada Rafly yang dia hubungi malam ini.Awal melakukan video call, Clarissa dibuat terkejut dengan wajah memar Rafly yang tak sedikit. Setelah pria itu bercerita, tugasnya tentu saja memberi nasehat.Meskipun memiliki usia yang masih muda, Clarissa memang memiliki pikiran yang dewasa. Ditinggal kedua orang tuanya meninggal dunia beberapa tahun lalu memang membuatnya menjadi pribadi yang mandiri juga bijak.Seharusnya sebelas bulan tinggal bersama, Rafly bisa jatuh cinta pada Clarissa. Namun, cintanya yang begitu besar untuk Adara membuat pria itu sulit membuka hati.Padahal, jika dibandingkan, Clarissa tak kalah cantik dari Adara—bahkan dari segi sikap, meski memiliki usia sama, Clarissa sedikit lebih dewasa dari Adara."Iya, Ris. Makasih udah nemenin ngobrol," kata Rafly dari seberang sana.Melihat pria itu tersenyum tipi
***"Aish!"Rafly yang sejak tadi terlentang di kasur sambil memandangi langit-langit kamar akhirnya beringsut ketika rasa kantuk yang dia tunggu-tunggu tak kunjung datang.Seperti hewan liar yang menurut pada pawangnya, Rafly memang langsung pergi ke kamar setelah memutuskan sambungan video call dengan Clarissa.Berniat untuk tidur cepat agar kondisinya besok membaik, kedua matanya tak mendukung. Hampir setengah jam otaknya mendistraksi semua bagian tubuh untuk istirahat, kedua pupil mata Rafly terus membantah dengan terus terbuka tanpa mau menutup.Sepuluh menit memaksa menutup mata, rasa kantuk justru hilang entah ke mana dan tentu saja semua itu membuat Rafly frustasi."Adara," desis Rafly. "Kalau aja kamu enggak nikah sama Danendra, semuanya enggak akan kaya gini. Aku sama kamu sekarang pasti udah bahagia.""Ginanjar. Pria tua itu memang sepertinya sengaja memanfaatkan momen kecelakaanku untuk menikahkan Adara dengan pria lain.""Aish, Danendra bangsat! Perebut!"Usai marah-marah
***"Ra, ayo.""Iya, Dan. Sebentar."Menunggu hampir setengah jam baby El terlelap, Adara dan Danendra merealisasikan rencana mereka untuk pergi makan di luar.Bukan ke tempat mewah, rencananya pasangan suami istri itu akan datang mengunjungi salah satu warung pecel lele yang sering didatangi ketika Adara masih hamil."Dan, gimana? Aneh enggak?"Danendra yang sejak tadi duduk sambil memainkan ponselnya menoleh ketika Adara keluar dari kamar."Apanya?" tanya Danendra sambil memandang Adara yang berdiri tak jauh dari sofa."Penampilan aku."Danendra mengerutkan kening lalu memandang Adara dari atas hingga bawah. Tak memakai dress, Adara nampak santai memakai celana training, kaos hitam polos, juga cardigan rajut berwarna pastel. Mengikuti saran Danendra, dia juga memakai kupluk berwarna senada dengan cardigan untuk menutupi perban di kepalanya."Enggak, udah cantik," puji Danendra. "Enggak ada yang aneh.""Seriusan?""Seriusan, Sayang.""Enggak kaya abg?" tanya Adara.Danendra tersenyu
***"Ah, ya ampun."Membuka matanya perlahan, Rafly memijat kening ketika kepalanya terasa sangat pening dan berat. Tak langsung bangun, yang dia lakukan sekarang adalah; mengedarkan pandangan untuk mengenali tempat dia berada sekarang.Karena yang jelas, ini bukan kamarnya. Kamar Rafly memiliki cat berwarna abu muda, sementara kamar yang dia tempati sekarang berwarna pastel bahkan ukurannya pun jauh lebih besar dari kamarnya.Tak hanya itu, kamar tempat Rafly berada sekarang juga terlihat sangat mewah."Di mana aku?""Lalala ... udah bangun?"Rafly mengerutkan kening ketika suara perempuan terdengar dari ambang pintu. Beringsut dia mengubah posisinya menjadi duduk lalu memandang perempuan yang kini berjalan mendekat sambil membawa segelas air putih."Kamu," panggil Rafly. "Ini di mana?""Jepang," celetuk perempuan itu asal."Aku serius," desah Rafly yang tentu saja masih merasa sebal pada perempuan di depannya ini setelah pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang tak baik."Surga,"
***"Pulang jam berapa?"Adara yang saat ini sedang membentuk simpul dasi untuk Danendra sedikit mendongak lalu menatap suaminya itu sambil melontarkan sebuah pertanyaan."Kenapa?""Tanya aja," kata Adara."Seperti biasa," ucap Danendra. "Kalau enggak ada schedule dadakan, jam empat pulang. Sampai jam setengah lima.""Oh.""Kenapa?""Bawaim sushi ya," pinta Adara sambil tersenyum. "Tiba-tiba pengen itu, tapi pengen dibawain sama kamu.""Oh, siap," kata Danendra patuh. "Mau berap porsi? Satu, sepuluh, seratua, atau sama restorannya?""Dan, ih!"Danendra terkekeh. "Serius," ucapnya. "Kalau kamu mau, aku bisa beli restorannya.""Buat apa coba.""Kali aja mau jadi pembisnis kuliner."Adara berdecak. "Orang enggak bisa masak, disuruh bisnis kuliner. Lucu banget," celetuknya.Simpul dasi selesai, Adara menepuk sisi kanan dan kiri bahu Danendra untuk merapikan kemeja maroon yang dia pakai."Udah, ganteng," puji Adara. "Lucu juga, enggak monoton.""Apanya?""Penampilannya dong, Sayang," kata