“Ss sungguh? Mama sayang padaku?” lirih Qizha hampir tak terdengar lagi suaranya.Habiba tak mau bicara lagi, dia hanya mengangguk- anggukkan kepala. Tangisnya pecah. Sepanjang jalan, Habiba menghadap ke belakang. pinggangnya berputar seratus delapan puluh derajat demi bisa menghadap ke belakang dan memegangi tangan Qizha. Inilah caranya menunjukkan kasih sayang kepada menantunya itu, berharap menantunya akan mendapatkan motivasi dari sikapnya itu.Habiba mneyesal sudah memperlakukan Qizha dengan buruk, ia bahkan mempermalukan Qizha di depan orang banyak. Mengatainya pembunuh. Sampai akhirnya Qizha dilempari sepatu dan sandal oleh para staf yang turut meras aprihatin pada Habiba.Tak hanya itu saja, Qizha juga dihujat habis- habisan.Para staf itu tidak salah. Mereka hanya meluapkan rasa kesal pada orang yang mereka anggap sebagai pembunuh. “Pak, lebih kencang lagi!” titah Qasam.“Iya, Tuan!” supir mengangguk, mempercepat laju kendaraan. Padahal kendaraan yang dia setir su
“Mama, lakukan sesuatu untuk Qizha!” teriak Qasam yang melihat Habiba menjauh dari bed.“Tidak! Biar mereka saja yang menangani!” Habiba menarik lengan Qasam supaya menjauh. “Bukankah mama jauh lebih berpengalaman dalam menangani ini?” Qasam pabik, seolah tak percaya pada dia dokter yang kini tengah bekerja. Dua dokter yang sudah ada di sana, dengan perlengkapan sempurna, tangan telah dibungkus handscoon, kepala teryutup, dan pakaian hijau khas dokter bedah, langsubg bergerak cepat mengeksekusi Qizha. “Sudah! Tinggalkan dulu Qizha, biarkan mereka yang profesional menangani!” Habiba membawanQasam keluar dari ruangan. Suster menutup pintu dari dalam.Qasam menghela napas. Ia pun tak tahu kenapa mendadak jadi seperti orang bodoh di saat begini.Bisa- bisanya dia mengira mamanya masih bisa menangani pasien sementara mamanya sudah lama berhenti dari profesi itu. Kepanikan membuatnya jadi hilang akal. Apa lagi ia melihat dan merasakan bagaimana tubuh Qizha menjadi lwmas sekali di tanga
Qasam berlari menuju ke kamar dimana Qizha tengah ditangani oleh dokter. Habiba menyambutnya di depan pintu ruangan.“Apa yang terjadi dengan Qizha?” tanya Qasam panik.“Ayo, kemarilah!” Habiba membawa Qasam memasuki ruangan. Tampak Qizha menatap lemah ke arahnya.Qasam terkesiap menatap istrinya yang sudah siuman. Dia langsung menghambur mendekati Qizha, tanpa sadar menyingkirkan para suster yang ada di sana. Dia meraih tangan sang istri, digenggam erat. Tatapannya fokus ke wajah Qizha.“Benarkah kau sudah siuman?” bisik Qasam.Qizha diam saja, tatapannya kosong. Sepertinya dia belum sepenuhnya sadar.Qasam mendekatkan bibirnya ke kening Qizha, lalu mengecup singkat kening istrinya. Kembali terkilas balik bagaimana dulu ia pernah menyakiti Qizha. Melukai fisik dan hati istrinya itu.Hatinya tertutip oleh rasa dendam hingga tak bisa melihat kebaikan Qizha selama ini. sebagaimana pun Qizha memuliakan dirinya, menunjukkan kebaikannya, tetap saja salah di mata Qasam.Bahkan Qas
KlingBalasan dari Qasam masuk. ‘Nanti kujemput. Kamu sudah sehat kan?’Qizha langsung tersenyum membaca chat itu. padahal isi chatnya tidaklah istimewa, tapi mendebarkan di jantungnya.Duh, suaminya Qizha kini telah berhasil membuat jantung Qizha jadi berdebar- debar penuh asmara.Jatuh cinta? Mungkinkah Qizha kembali kasmaran? Belum sempat Qizha membalas pesan, sudah terlihat di ujung kanan atas Qasam tengah mengetik.Baiklah, Qizha menunggu balasan masuk.‘Dokter menanganimu dengan sempurna. Kau adalah pasien spesial, jadi diprioritaskan. Makan yang banyak supaya cepat pulih, oke?’Lagi- lagi Qizha tersenyum simpul. Aneh, kenapa ia jadi sebahagia itu membaca pesan dari suami? Tentu saja. selama ini Qasam adalah sosok yang dingin dan kejam, tapi sekarang berubah. Pria itu menjadi sosok yang sangat menyenangkan.Baru saja Qizha mnegetik pesan, panggilan telepon sudah masuk duluan. Dari Qasam.“Yes!” Qizha tersenyum girang melihat nama Qasam menari di layar telepon mem
Mobil melaju di jalan raya. Qasam memutar musik slow, kedengaran romantis sekali. Qizha menikmati alunan musik yang terdengar syahdu.“Bapak mau berhenti di depan sebentar?” Qizha menoleh pada suaminya.“Ayolah, Qizha. Jangan panggil Bapak.”Qizha tersenyum. “Kenapa nggak mau dipanggil bapak? Bukankah suatu saat nanti kalau kita sudah punya anak, maka aku akan mnegajarinya memanggilmu bapak? Dan aku tentu memanggilmu demikian juga bukan? Lalu kamu akan memanggilku ibu.”“Oh… maksudmu, bapak pasangannya ibu, begitu?”“Iya. Aku rasa itu malah terkesan lebih intim.”“Tidak. Itu tidak menarik. Panggil yang lain saja. Urusan punya anak adalah belakangan. Terserah lusa anak akan panggil apa. tapi sekarang jangan panggil aku itu.” qasam menggelengkan kepala.“Baiklah, tapi berhentilah dulu sambil aku memikirkan panggilan apa yang tepat untukmu. Waduh, ini malah sudah kelewatan jauh. Kamu sih disuruh berhenti sejak tadi malah nggak mau.”“Kelewatan?”“Iya. Seblaknya sudah le
"Cobain deh!" Qizha menyodorkan sesendok seblak.Qasam menggeleng. "Tidak.""Kalau nggak cobain, pasti nggak akan tahu enak atau enggaknya. Aku bisa ketagihan makan di sini karena seblak di sini tuh beda sama seblak yang lain. Rasanya khas, pakai bumbu rempah- rempah asli pilihan, pakai udang dan sosis, telurnya tuh nggak amis. Pokoknya enak banget.""Kamu kenapa malah jadi seperti orang sedang iklan produk begitu?""Rasanya nggak plong aja kalau kamu nggak ikut ngerasain. Cobain dulu deh, sesuap aja nggak apa- apa." Qizha mendorongkan sendok ke mulut Qasam. Sedikit lirik ke kiri kanan, Qasam akhirnya membuka mulut dan menyantap seblak itu. Wah, enak sekali. Menggoyang lidah. Lezat. Sulit dijelaskan dengan kata- kata nilai kelezatannya yang mampu membuat isi mulut jadi nagih. "Gimana? Enak?" tanya Qizha dengan senyum.Qasam mengedikkan pundak santai. "Biasa saja." Ia gengsi kalau harus mengatakan makanan pinggiran jalan itu enak. "Wah, lidahmu agak lain kayaknya. Makanan seenak ini
Qizha dan Qasam memasuki rumah, beriringan. Qasam membawa Qizha pulang ke rumahnya, tak rela jika istrinya masih menempati kontrakan setelah kebenaran itu terungkap.Saat melewati ruang tamu, ia mendengar Husein tengah berdiri membelakangi, berteleponan.“Aku sudah berikan waktu dua hari. Dan ini adalah hari ketiga. Maka waktumu sudah habis. Kau harus ditangkap, Bily!” ucap Qasam via telepon.Seketika langkah Qizha terhenti mendengar pembicaraan itu. Bily ditangkap?Husein menyudahi pembicaraan. Dia menoleh dan mendapati Qasam dan Qizha berdiri di belakang. mereka bertukar pandang.“Pa, benarkah ayahku ditangkap?” lirih Qizha dengan tatapan sendu.“Ya. Dia bersalah dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. bukan lantas ibumu meninggal lalu dia lepas dari kesalahan,” sahut Husein tegas.“Ya, aku tahu. Ayah memang harus mempertanggung jawabkan semua ini. tapi… dia ayahku.”“Kau sudah diperalat olehnya, dijadikan wayang untuk sebuah tindak kriminal, bahkan sudah banyak
"Berdiri!" Perintah tegas itu dipatuhi Qizha.Lima belas menit lalu, Qizha dipanggil HRD setelah lulus interview, lalu diminta menghadap pimpinan. Meski baru beberapa hari menjabat sebagai pimpinan tertinggi, namun ketegasannya tidak diragukan. "Berputar!" titah pria dengan nama lengkap Shaka El Qasam. Suaranya menggetarkan jantung, sangat berwibawa.Perintah semacam apa itu? Namun, Qizha tetap menuruti. Tubuh langsing berbalut kemeja putih itu berputar. "Melompat!""Hah?" Qizha kaget. Atasannya ini waras atau tidak? Sejak tadi memberikan perintah konyol. "Ke kenapa harus melompat?" "Kalau kau tidak mau, silakan keluar! Aku tidak membutuhkan bawahan pembangkang." Pria itu menunjuk pintu."Oh, baik. Saya akan melompat." Demi jabatan sekretaris, Qizha telah bersusah- payah menyingkirkan ratusan saingan, tak mungkin ia menolak perintah yang bisa saja membuatnya ditendang dari jabatan.Plak plak plak...Suara high heels milik Qizha menghantam keras lantai hingga menimbulkan suara beri