Share

Bab 2. Ahli Waris

Pikiran Niko seketika kosong. Dengan gagap dia menjawab, “Ka-kakek-ku? A-abraham?”

“Benar.” Danish mengangguk. “Kakek Pak Niko adalah pengusaha dan tokoh bisnis yang sangat disegani di seluruh dunia. Beliau adalah pendiri Bakhi Group, yang memiliki nilai pasar terbesar di dunia. Semua aset yang dimiliki Pak Abraham, termasuk yang ada di Indonesia sekarang adalah milik Pak Niko. Anda bisa mengambil alih posisi Kakek anda kapan pun anda mau.”

Niko tersentak. Dia membayangkan warisan yang akan dia terima. Namun, dia tersadar dan menggelengkan kepala.

“Tidak, aku tidak mau!” Niko menjawab tanpa keraguan.

“Kenapa?” tanya Danish.

“Waktu orang tuaku meninggal, dia tidak merawatku. Dia malah membuangku. Dan sekarang kamu memberitahuku kalau dia kakekku? Lucu! Lucu sekali!” 

Danish sudah menyangka Niko akan menolak tawaran itu.

“Pak Abraham tidak membuang anda.  Beliau dulu sengaja mengirim anda ke salah satu asrama putra di kota ini agar anda selamat dari marabahaya,” jelas Danish.

Kening Niko berkerut, “Maksud anda?”

Danish kembali menjelaskan, “Setelah kematian orang tua anda, ada banyak orang yang ingin melenyapkan anda, karena ahli waris yang tersisa hanyalah anda. Terlepas dari itu, tanpa anda sadari Pak Abraham terus mengawasi anda sebagai bentuk kasih sayang dan tanggung jawabnya. Melihat perkembangan anda, Pak Abraham menilai sudah waktunya anda meneruskan takhta keluarga Bakhi.”

Niko mendadak sakit kepala. Dia akan menerima semua kekayaan itu? Yang benar saja.

Dan seolah tersadarkan dari lamunan, Niko tidak percaya begitu saja pada ucapan Danish.

“Omong kosong!” Saking kesalnya Niko tertawa begitu keras.

“Aku serius, Pak Niko. Aku menjelaskan berdasarkan fakta.” Danish berusaha meyakinkan. “Pak Niko adalah satu-satunya penerus Bakhi Group yang sah secara hukum.”

“Aku tidak peduli dan tak mau tahu!” Nada bicara Niko terdengar begitu tegas.

Kemudian dengan perasaan kesal Niko pun mematikan video call tersebut. Disaat itu ada sedikit rasa penyesalan di hatinya. Dia bisa saja merubah nasibnya yang menyedihkan dalam sekejap, tetapi setelah dipikir-pikir lagi, penyesalan itu menghilang.

Dan sebelum Niko lebih jauh memikirkan hal itu, terdengar jeritan Hesti.

“Niko! Selesai kamu kerjanya? Cepat ke depan!”

“Iya, Nyonya.” Niko berjalan keluar dari dapur.

Namun, sebelum Niko tiba di ruang tengah, sebuah email dari Danish masuk ke ponselnya. Dia membukanya. Email itu berisikan surat resmi penyerahan dan pemindahan kepemilikan Bakhi Group ke tangan Niko Prameswara Bakhi. Di dalamnya juga terlampir daftar aset sebanyak 604 halaman yang dimilikinya.

“Apa?!” Tangan Niko bergetar dan matanya terbelalak sempurna mendapati informasi yang benar-benar nyata.

“Nikoooo! Ngapain aja sih kamu?! Cepat ke sini, Nikooo!” lagi -lagi jeritan Hesti terdengar.

Niko memasukkan ponsel ke saku celana, mengabaikan dulu sesuatu yang mengejutkan itu. 

Ketika Niko sudah berada di ruang utama, Hesti langsung memakinya, “Please deh jangan  bikin aku emosi sehari aja! Jadi cowok kok lemes banget.”

“Tampan-tampan kok kayak siput!” Mulut Endah gatal ikut menyindir Niko.

“Babu tolol! Otak dengkul! Rugi aku membayarmu.” Makian Hesti semakin sadis.

Niko hanya menunduk. Dia tak mau ambil pusing.

“Keluarkan mobil, antarkan Echa ke rumah Hendra,” titah Hesti, lalu dia spontan menyentuh kepalanya. “Oh, Tuhan … semoga Echa berhasil membujuk Hendra untuk meminjamkan uang sebesar 9 miliar.”

Echa keluar dari arah kamarnya. Hesti melihat anaknya itu telah berganti pakaian.

“Pokoknya kamu harus bujuk Om-mu, ya. Cuma Hendra yang bisa menyelamatkan nyawa Papamu dan perusahaan kita.” Hesti menyemangati Echa.

“Iya, Mah. Aku akan berusaha,” balas Echa.

Mendengar keluhan mereka, Niko teringat bahwa barusan dia menerima semua kekayaan Kakeknya. Itu artinya dia bebas menggunakan warisannya itu untuk membantu keluarga ini.

Hesti tersadar melihat Niko masih berdiri di tempatnya. Dia pun kembali melototi lelaki itu, “Oh, Tuhan … Niko? Kamu tuli atau bisu, hah?! Kamu disuruh mengantarkan Echa! 

“Kok kuat ya keluarga ini punya pembantu kayak dia? Kalau aku sih mending cari orang yang normalan dikit.” Zalma ikut gregetan.

“Please deh, Niko. Jangan bikin aku tambah pusing!” Hesti tampak begitu kesal.  “Mendingan cepat kamu lakukan tugasmu! Atau kamu nggak mau mengantarkan anakku?!”

“Maaf, Nona, Nyonya.” Niko bergantian menatap Echa dan Hesti. “Bukannya aku mau ikut campur. Tuan Fikram harus segera dioperasi dan perusahaan keluarga ini butuh dana besar, bukan? Gimana kalau aku bantu kalian untuk cari solusi?” tawar Niko.

Semua orang terdiam, melongo mendengar ucapan Niko, sebelum akhirnya Hesti dan kedua temannya tertawa begitu keras. Sementara, Echa menggelengkan kepala bingung.

Hesti memandang Niko dan mencibir, “Niko, kamu tahu 9 miliar itu seberapa? Gajimu sebulan saja cuma 2,5 juta.” Dia lalu mendecakkan lidah. 

“Kalau kamu beneran bisa ngasih uang 9 miliar, aku akan menjadikan menantu kesayangan di rumah ini. Hahaha.”

“Benar begitu?” Niko bertanya sambil tersenyum sederhana.

Echa sebenarnya juga pusing melihat kekonyolan Niko. Suasana hatinya memburuk dengan cepat, “Niko, aku tunggu di luar,” ucapnya lalu melangkahkan kakinya.

Niko mengiyakan dan tidak berbicara lagi. Dia berjalan cepat menuju ke arah garasi mobil.

***

Duduk di belakang kemudi, Echa tengah gelisah. Dia tidak terlalu memikirkan dana miliaran untuk menghidupkan perusahaan keluarganya. Baginya yang paling penting dia harus segera mendapatkan uang 650 juta untuk pengobatan Papanya. Namun, masalahnya keluarga Hendra terkenal pelit dan perhitungan.

Melihat dari kaca, Niko merasakan kegelisahan Echa. Lantas dia pun kembali menawarkan, “Kalau Nona mau, Nona tidak perlu datang ke rumah Om Hendra. Aku akan bantu membayar biaya operasi Papa Nona.”

Mendengar ucapan konyol itu di tengah kegelisahannya, tentu saja membuat  Echa gampang emosi.

“Niko, kamu pikir ini lucu?” Mata tajam Echa tertuju pada Niko. “Tolong jangan ikut campur dengan masalah keluargaku,” peringatnya. 

“Aku serius, Nona. Aku tidak bergurau. Aku benar-benar ingin membantu kesulitan-kesulitan yang keluarga Nona alami.” Terlihat dari kaca mobil, ekspresi Niko benar-benar serius.

Echa merasa heran melihat sikap Niko hari ini. Biasanya lelaki itu penurut dan tidak suka membual. 

“Bagaimana, Nona?” Lagi-lagi ucapan Niko membuat Echa naik pitam.

Seolah menyadari suatu hal, mata Echa melebar dan berteriak tiba-tiba, “Hentikan mobilnya!”

“Ada apa, Nona?” tanya Niko.

“Aku bilang hentikan!” Wajah Echa terlihat jelas memerah.

“Baik-baik.” Niko segera menghentikan mobil di pinggir jalan. Dia tidak mengerti kenapa Echa tiba-tiba tampak benar-benar murka.

“Keluar kamu!” titah Echa dengan begitu dingin.

“Maksud Nona?” Niko memutar badan menatap Echa.

Wajah Echa semakin memerah, “Mulai detik ini kamu aku pecat!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status