Share

Suami Super Kaya
Suami Super Kaya
Author: imam Bustomi

Bab 1. Pembantu Rumah Tangga

“Niko, mana minumannya?! Si lelet ini, bisa kerja gak, sih? ” 

Lengkingan suara sang Nyonya seketika memenuhi rumah, membuat pria 20 tahunan itu berjalan cepat menuju ruang tamu sambil membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya.

Selalu seperti ini, Hesti akan memarahinya tanpa ampun jika tidak sesuai keinginan wanita itu. 

Padahal, Niko awalnya melamar menjadi sopir di rumah ini untuk membiayai kuliahnya sendiri di kampus yang kebetulan sama dengan Echa–anak Nyonya Hesti. Tapi, perlahan jobdesknya justru terus bertambah akibat sang Nyonya.  

“Maaf, barusan aku masih meracik minuman, Nyonya,” ucap Niko sembari memindahkan gelas ke atas meja untuk nyonya rumah dan kedua temannya yang baru saja pulang dari acara arisan Ibu-ibu sosialita itu. 

“Ck! Mau kupecat kamu?”

“Udahlah, Hes. Kamu hebat loh bisa menemukan pembantu multitalenta kayak dia!” Salah satu teman sosialita Hesti berbicara. 

“Penurut kayak seekor anjing,” sambung yang lain dengan nada sarkas. “padahal dia ganteng sih. Tubuhnya bagus, tapi kalau gini ya… siapa yang bakalan mau?” 

“Hush! Jangan keras-keras, kasian dia. Lagian jodoh gak ada yang tahu. Bisa jadi suatu hari nanti dia bakalan jadi menantunya Hesti. Dia sekampus sama Echa, kan? Hahaha…”  

Mendengar ucapan kedua temannya, Hesti lantas mencibir, “Niko jadi menantuku?”  

Ditatapnya pakaian Niko terlihat murah dan lusuh. “Sorry ya, nggak level. Suami Echa nanti minimal harus punya saldo 1 triliun di rekeningnya! Kalau gak, jangan harap kukasih restu.” 

“Bocah ini saja hidup dari belas kasih keluarga ini … mau ditaruh mana mukaku kalau menantuku adalah pembantuku sendiri? Mendingan aku suruh Echa ngejomblo seumur hidup!”

Niko mengepalkan tangan, menahan emosi. Sindiran sang Nyonya semakin menjadi-jadi. Entah bagaimana jika dia mengetahui jika Niko jatuh cinta pada Echa, putri satu-satunya Hesti yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua darinya. 

“Lama-lama aku juga muak bicarakan pembantumu ini, Hes. Kita bicara hal yang lebih serius saja. Jadi gimana masalah biaya rumah sakit suamimu?” 

Pertanyaan Endah sontak membuat Hesti membuang napas kasar. “Entah, aku bingung.” 

Dia menyandarkan punggung di sandaran sofa sambil memijat pelipisnya. “Operasi ginjal Mas Fikram sudah gak bisa ditunda lagi. Butuh 650 juta agar suamiku segera ditangani lebih lanjut.”

Enam ratus lima puluh juta jika ditempatkan masa lalu, bagi Hesti dulu hanyalah uang jajannya. Akan tetapi, sekarang nominal itu jumlah yang sangat besar.

Sebulan yang lalu bisnis fashion milik sang suami mendadak rugi hingga miliaran rupiah. Bukan hanya itu saja, mitra kerjanya tiba-tiba melanggar kontrak kerja sama! Dampaknya semua aset juga dibekukan oleh bank dan tidak bisa mengeluarkan uang sepeserpun.

Endah pun turut menghela napas mendengar kabar itu. “Terus gimana dong. Siapa yang bisa memberikan pinjaman sebesar 650 juta kepadamu?”

Hesti tidak mampu berucap, akan tetapi dia baru tersadar bahwa selama ini Niko sudah menguping pembicaraan mereka bertiga.

Hesti melototi dan berkata dengan dingin, “Niko! Siapa yang menyuruhmu tetap di sini, hah? Nih bawa gelas kotor ke dapur!”

“Sekalian cucikan bajuku sana!” Zalma ikut menyuruh.

Mana berani Niko mengabaikan perintah itu. Sialnya, saat hendak melangkah kakinya menyenggol kaki meja, membuatnya terjungkal ke depan dan menjatuhkan dua gelas hingga pecah.

“Niko! Bodoh banget sih, kamu!” Hesti spontan berdiri. “Itu gelas mahal, Niko!”

“Ma-maaf tadi aku tidak sengaja,” ucap Niko terbata-bata.

Plak!

Niko merasa pipinya menghangat akibat tamparan Hesti. Dia menundukkan wajah, apalagi teman-temannya Hesti turut menatapnya dengan tatapan sinis.

Sejak di rumah ini, Niko memang tidak punya harga diri sebagai seorang lelaki. 

Dia hanya bisa diam jika mendapat perlakuan kasar dari Hesti.

“Ada apa, Ma? Kenapa Mama teriak-teriak?” Seorang gadis cantik berjalan mendekat. 

“Lihat kelakuan pembantu tolol itu!” Hesti menunjuk Niko dan pecahan Gelas di lantai. 

Echa menatap ke arah Niko yang tertunduk, “Niko?” panggilnya dengan lembut, dan seketika laki-laki itu mengangkat wajah. “kenapa bisa jatuh?”

Niko tak langsung menjawab. Niko menatap wajah Echa yang menyejukkan. Sejujurnya kecantikan dan kelembutan hati gadis itu yang membuat Niko mau bertahan bekerja di rumah ini.

“Maaf, Nona. Tadi aku tidak sengaja. Kakiku tersandung,” ucap Niko akhirnya.

“Nggak sengaja kamu bilang?” bentak Hesti. “Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus tanggung jawab! Kalau kamu masih mau kerja di sini, kamu harus ganti rugi.” Hesti memperjelas.

“Ma, nggak boleh gitu dong, Ma. Niko ‘kan nggak sengaja.” Echa membela Niko.

Niko tersenyum kecil mendengarnya. Bukan sekali saja, Echa sudah seringkali membela dan menyelamatkan dirinya dari amukan Hesti, bahkan gadis itu selalu memberi uang tambahan secara diam-diam kepadanya.

“Echa … Kamu mempercayainya?” ujar Hesti kesal. Dia heran kenapa Echa selalu membela pembantu itu.

Tak ingin Hesti dan Echa berdebat gara-gara kesalahannya, lantas Niko berkata, “Maaf, Nyonya. Aku akan ganti kerugian atas kecerobohanku.” 

Jawaban Niko justru mengundang tawa Hesti dan kedua temannya.

“Aduh Niko, Niko … Kamu tahu nggak harga gelas ini berapa? Harganya jauh lebih mahal daripada harga dirimu,” cibir Hesti, membuat tawa kedua temannya semakin keras.

Hesti berhenti tertawa dan menatap kesal ke arah Niko, “Ok … Sebagai gantinya 3 bulan kamu nggak akan menerima gaji sepeserpun!”

Niko mengangguk, “Baik, Nyonya.”

“Tapi, Ma.. Itu terlalu berlebihan. Itu sama saja ber–” protes Echa.

“Cukup, Echa,” potong Hesti sambil mengangkat tangan. “Mama mau bicara 4 mata denganmu.”

Hesti tampak begitu serius, tetapi lagi-lagi ekspresinya berubah kala menoleh ke arah Niko.

“Ngapain masih bengong?! Kamu mau kaki mulusku tertancap pecahan gelas? Oh atau kamu sengaja mau bikin aku celaka?!” semprot Hesti sambil melototi Niko. “Oh, Tuhan … otakmu kok lemot banget sih!”

Niko pun bergegas memungut pecahan gelas di lantai. Sesaat itu juga dia masih mendapatkan cibiran-cibiran dari Hesti dan kedua temannya sampai akhirnya dia beranjak ke dapur.

Ketika Niko berada di dapur, dia merasa ponselnya bergetar. Saat dia mengecek benda pipih itu, muncul sebuah laman video call. Lantas dia pun menerima panggilan itu dengan penuh waspada.

Di dalam layar terpampang wajah pria paruh baya berkata, “Salam kenal, Pak Niko. Saya Danish, orang kepercayaan Pak Abraham, Kakek anda. Saya ingin memberitahu anda bahwa sesuai dengan wasiat Bapak Abraham … anda, Niko Prameswara Bakhi adalah satu-satunya ahli waris kekayaan keluarga ini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status