Share

Bab 2

Charlotte terpaku melihat pemandangan di luar. Tempat ini tak banyak berubah sejak ia meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Setelah dua jam perjalanan dari Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, perempuan itu akhirnya dapat kembali menikmati kawasan hutan jati yang melekat rapi dalam memori episodiknya.

Tumbuhan kayu-kayuan itu masih ranggas meski musim mulai memasuki masa penghujan. Charlotte membebatkan selendang di kepalanya kian rapat. Hanya dalam hitungan menit, ia akan menginjakkan kaki lagi di ‘rumah kedua’-nya kala menetap di Indonesia dulu.

            “Miss, Ma’had Darussalam,” ucap sopir taksi seraya memutar tubuhnya ke belakang.

Charlotte tersentak dari lamunan. Ia kemudian mengulas senyum ramah. “Maaf, Pak, saya ngelamun. Ini kenapa kita gak masuk sampe parkiran dalem?”

            “Lho, Miss bule bisa bahasa Indonesia?” pekik sang sopir kaget melihat perempuan berwajah khas Eropa kental namun lancar berbahasa Indonesia.

Charlotte tertawa kecil. “Saya juga bisa ngomong bahasa Sunda sama Jawa, Pak.”

Belum sempat sopir paruh baya itu membalas, kaca di samping kemudinya diketuk dari luar. Saat diturunkan, Charlotte melihat dua gadis remaja berseragam coklat. Salah satu dari mereka menghampiri kaca penumpang belakang.

             “Pardon us Miss, We’re in grieve now. Salah satu guru senior kami baru saja wafat. Jadi, tidak sembarang tamu diperbolehkan masuk. Hanya keluarga, kerabat, dan beberapa alumni,” terangnya sopan menggunakan bahasa Inggris aksen American yang fasih sekali.

Charlotte tersenyum kecut. Ia buru-buru mencabut sebuah kartu usang yang tak pernah keluar dari dompetnya. “Ana khirrijah. Saya alumni,” ucapnya menyodorkan kartu tersebut.

Remaja putri yang Charlotte taksir merupakan santriwati senior itu terbelalak menerima Kartu Tanda Santri. ‘Charlotte Eleanor Ruby Heinnberg’. begitulah nama yang tertera. Nomor stambuknya pun masih puluhan ribu saat di masa kini telah mencapai ratusan ribu.

Di antara keterkejutan, suara perempuan menginterupsi. “Ustadzah Charlotte kenapa belum masuk? Afwan Ukhti, beliau anak kelasnya almarhum Ustadz Wafiq, sama kayak ana,” ujar perempuan berkerudung dan berbusana serba putih tersebut.

            “Afwan Ustadzah Avicenna, ana gak tau,” balas santriwati itu kikuk.

Perempuan sebaya Charlotte itu mencebik. “Ish, padahal salah satu alumni putri inspiratif! Beliau ini penulis skrip sama sutradara film kenamaan Hollywood,” serunya menggebu-gebu.

            “Udah, Senna, gak apa-apa. Aku mau turun di sini aja. Wismanya gak jauh, ‘kan?” Charlotte menyela. Ia lekas memindai QR Code yang tertempel di tengah dashboard mobil guna membayar tarif taksi.

            “Hum,” jawab Avicenna. “Pak, maaf, bagasi,” ucap perempuan yang biasa disapa Senna itu. Ia gegas membuka pintu bagasi belakang dan mengeluarkan koper Charlotte.

            “Siniin, Sen, berat banget itu koper.” Tangan kanan Charlotte terulur untuk meraih kopernya namun langsung ditepis Avicenna yang langsung menggeret tas beroda itu pergi.

            “Hayuk, Char, terik banget ini!” seru Avicenna yang diekori Charlotte dengan pasrah. “Gimana kabar kamu?” Avicenna berhenti sejenak. Ia membetulkan lilitan selendang Charlotte yang sedikit terbuka di bagian depan, mempetontonkan leher dan dada yang putih bersih.

Selendang yang dikenakan Charlotte rupanya tersibak embusan angin yang berasal dari laju kendaraan roda dua. Motor yang dikendarai seorang laki-laki dari arah perumahan guru itu melaju kencang menuju gerbang keluar-masuk Ma’had. Sang pengemudi tampak buru-buru.

Charlotte terdiam. “Ish, kamu gak berubah. Selalu paling peka dan perhatian,” ucapnya.

            “Lain kali, pake peniti atau jarum pentul.” Atensi Avicenna kemudian beralih ke arah pemotor yang tengah berusaha melintasi kepadatan jalan ke lajur seberang. “Padahal udah jelas, di lingkungan Ma’had gak boleh ngegas kendaraan kenceng-kenceng,” gumamnya.

            “Keliatan lagi buru-buru banget bapak-nya,” tukas Charlotte ikut berkomentar.

Avicenna manggut-manggut. “Keliatannya mah, ustadz sini,” sahutnya yang diamini anggukan oleh Charlotte. “Eh, tapi, gagah banget kayaknya. Ituuu... Keliatan dari punggung sama bahunya. Bidang syekallliiihhh! seru Avicenna yang tentu mendapat delikan Charlotte.

            “Hush! Mamnu’! Gimana kalau suami orang,” sungut Charlotte. Avicenna terkikik geli.

Mereka berdua kemudian melanjutkan langkah. “Ma’had beda banget, ya...” lirih Charlotte.

            “Yup! Aku aja pangling setiap kali kesini. Padahal pernah cuma selang dua bulan, tapi udah banyak perubahan,” balas Avicenna.

Avicenna berbalik sebelum meniti undakan tangga di depan sebuah kamar wisma. “Maaf, tadi aku terpaksa bilang gitu ke santriwati. Aku tau kamu gak suka diekspos berlebihan. Biar mereka termotivasi aja, sih,” jelasnya.

Charlotte tersenyum. “Aku ngerti, ‘kok! Makasih udah selalu ada buat aku selama ini. Makasih kamu selalu dukung aku, meski aku ngecewain, tapi kamu masih bilang bangga,” ucapnya bergetar. “Tapi... apa orang-orang di sini juga bakalan ngerasain hal yang sama kayak kamu?”

Avicenna mengelus bahu Charlotte lembut. “Of course they will, Char. You’re such a gem!” tukasnya menyemangati. “Udah, yuk, masuk. Malah mellow di sini,” kekehnya lagi.

Perempuan yang sebenarnya berusia setahun lebih muda dari Charlotte itu memasukkan dan memutar anak kunci di lubang kunci. Seketika, pintu bernomor sebelas itu terkuak dan menampilkan ruangan serba putih yang diisi sepasang single bed dan lemari kayu dua pintu.

Avicenna meletakkan luggage dan carry-on baggage Charlotte yang menyatu di samping lemari. Sementara sang empunya memasuki kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangan.

            “Char, kamu mau makan siang atau istirahat dulu?” tanya Avicenna tatkala Charlotte keluar dari bilik mandi. Perempuan mungil itu duduk di stool chair meja rias. “Ustadzah Nurul chat kalo beliau baru ada di rumah nanti sore,” lanjutnya seraya menggoyang ponsel di tangan.

Charlotte mendekat. Ia duduk di pinggiran salah satu ranjang, berhadapan langung dengan Avicenna. “Kamu sempet liat jenazah almarhum?” tanyanya lirih. Ia mengikat surai sepunggungnya menggunakan karet rambut hitam yang tersemat di pergelangan tangan.

Avicenna menggeleng. “Aku dateng pas salat jenazah. Yang ngikutin prosesi pemulasaran dari awal mah Mbak Naya ‘tuh. Dia juga yang bantu aku mesen kamar wisma ini,” terangnya lugas.

Charlotte mengangguk. “Aku mau makan siang dulu, deh. Kamu udah makan?”

Avicenna menggeleng. “Aku nungguin kamu. Kita makan di DLP Bapenta aja. Kebetulan menu hari ini favorit kita, terong kecap sama tumis sayur pakis,” ujar perempuan itu bersemangat.

Mata Charlotte berbinar. “Wah, aku kangen masakan itu. Bentar, aku ganti pake gamis dulu.”

Tangan kanan Avicenna mengibas. “Ish, gak usah. Pakaian kamu udah sopan, ‘kok. Tinggal pake kerudung. Aku pake rok karena baru masuk ke dalem, abis main ke taman belakang,” jelasnya. Ia meneliti penampilan Charlotte yang mengenakan loose pant hitam dan dress lilac motif bunga.

            “Ok. Tapi ajarin pake kerudungnya, ya!” seru Charlotte seraya bangkit mendekati koper.

            “Siap!” sahut Avicenna tengil dan bersemangat. Charlotte hanya terkikik geli melihatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status