Share

Suami Titipan
Suami Titipan
Penulis: Aqeera Danish

Bab 1

“Haruskah kamu pergi kali ini, Honey?”

Charlotte menghentikan gerakan jemarinya yang tengah menutup zipper clutch bag khusus berisi visa, paspor, dan dokumen penting lain. Perempuan itu mengalihkan perhatian ke arah lantai, ia mendesah perlahan. “Luke, please, kita sudah membahas hal ini sepanjang hari. Keputusanku tidak dapat diganggu gugat, aku harus pergi,” ucapnya lirih dengan intonasi pasti.

Luke mendengus kasar. “Well, aku tahu. Tapi untuk apa kamu pergi? Lagipula, saat kamu sampai ke sana, dia sudah dikebumikan. Kamu tidak akan melihatnya.” Laki-laki berusia 33 tahun itu bangkit meninggalkan koper yang tengah ia bereskan di lantai. Ia melangkah gontai ke arah tempat tidur dimana Charlotte berada dan duduk tepat di samping sang gadis.

            “Setidaknya, aku bisa melihat pusaranya, bertemu dengan pihak keluarga. Mengucapkan bela sungkawa dan mendoakannya langsung,” kukuh Charlotte tak ingin goyah.

Luke menggeleng pelan. “Ok, aku hargai ketulusanmu itu. Tetapi, apakah kamu akan disambut baik di sana? It’s been ten years, Darl! Apakah semuanya akan sama seperti dulu? Apalagi setelah semua hal yang kamu lewati selama ini? Apa mereka bisa menerimamu dengan tangan terbuka? Pikirkan semua itu, Lottie!” cecar Luke frustrasi.

            “Dan lagi, jika alasanmu hanya ingin melihat pusaranya, kamu bisa melihatnya nanti. Saat kamu pergi ke sana untuk menghadiri reuni akbar satu abad. Itu hanya berjarak enam bulan dari sekarang,” sambung Luke keras kepala. Pemuda jangkung itu lagi-lagi mendesah kasar.

Charlotte menatap dalam sepasang manik biru laut milik Luke. “Listen, aku tidak akan mengulanginya lagi setelah ini. Mendiang dan istrinya adalah orang baik. Mereka memperlakukanku seperti anak sendiri. Mereka mau memahamiku yang berbeda dari anak lain. Bahkan, mereka tetap memberikan cinta dan dukungan saat aku membuat keputusan yang mengecewakan seluruh keluarga dan sahabat di sana,” ucapnya dengan suara bergetar. Sepasang mata dengan pupil hazel yang indah itu mulai mengembun oleh cairan.

Laki-laki berambut pirang itu mengangguk. Ia luluh. Kedua tangannya menyelipkan surai golden brown Charlotte yang tersulur di dua sisi pipi ke balik cuping telinga. Telapak tangan kokoh itu berakhir bertengger di dua bahu sempit sang kekasih. “Forgive me, sweetheart. Aku hanya khawatir padamu,” lirihnya. “Aku... hanya ketakutan,” aku Luke dengan jujur.

            “Why?” Kening Charlotte mengernyit bingung mendengar pengakuan pujaan hatinya.

Luke meremas lembut sepasang bahu Charlotte. Ia meneliti manik indahnya intens. “Entah ini hanya perasaanku saja atau memang firasat buruk. Aku takut kamu tidak pulang. Aku takut kamu tidak kembali ke pelukanku setelah melakukan perjalanan ini. Apalagi setelah melihat isi kopermu, ada banyak sekali busana panjang dan penutup kepala di dalamnya,” ucapnya sendu.

Charlotte mengulas senyum hangat. “Hey, kamu bicara apa? Aku pasti kembali secepat mungkin. Anggap saja aku sedang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melakukan syuting seperti biasa. Setelah proses pengambilan gambar selesai, aku pasti pulang. Aku akan secepatnya kembali ke sini bahkan sampai kamu tidak menyadari kepergianku,” ujarnya riang.

Luke menatap seraut wajah cantik di depannya. Mencari kebohongan atau keraguan di sana. Beruntungnya, ia hanya melihat kejujuran dan kesungguhan yang mendamaikan hatinya. Refleks ia merengkuh tubuh sang kekasih dalam dekapan erat. “Promise?” tagihnya menuntut.

Charlotte terkesiap. Bukan kali ini saja Luke memeluknya seperti ini. Tapi tetap saja, gadis itu tidak terbiasa, dan memang membatasi skinship yang berlebihan. Mereka belum terikat janji sakral. Mereka tidak diperbolehkan berduaan apalagi bersentuhan. Itu pikirnya.

Sejauh apapun perempuan 28 tahun itu melangkah, sebanyak apapun melanggar dan tidak menjalankan perintah ataupun ajaran, serumit apapun jalannya yang tersesat, ia masih memegang teguh keyakinan yang dianutnya. Terutama dalam hal berhubungan dengan lawan jenis.

Namun malam ini, Charlotte membalas pelukan Luke. Ia dapat merasakan dekapan itu benar-benar menawarkan kehangatan dan kenyamanan. Laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama tujuh tahun itu hanya sedang menyalurkan sebentuk rasa cinta dan kasih sayang.

            “Promise. I’ll be home soon,” desis Charlotte tepat di samping telinga Luke yang tengah melabuhkan kepala di pundak kirinya. Ia mengelus punggung bidang nan kokoh laki-laki itu untuk meredam ketakutan, keresahan, dan segala ketidaknyamanan dalam diri kekasihnya.

Pelukan hangat dalam dinginnya angin awal musim gugur itu bertahan hingga bermenit-menit lamanya. Tubuh Charlotte tiba-tiba tersentak kala sebuah benda kenyal mengecupi batang lehernya. Benda lembut itu bahkan tak segan menyesap kuat-kuat kulit di bagian ceruknya.

Napas perempuan itu memburu gelisah. Sepasang tangannya refleks terulur ke depan, menekan dada berotot Luke, lalu mendorongnya pelan. “Please, jangan seperti ini. Kita sudah sepakat,” ucapnya penuh penekanan. “Sorry, I don’t feel right about this,”

Luke terbisu menatap Charlotte yang menunduk dalam. “Ok, I appreciate it. Jadi, mari kita menikah secepat mungkin,” ajaknya antusias. Ia tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi.

Charlotte membeku. Ia semakin ragu mengangkat wajahnya. Gadis itu akhirnya bangkit dari pembaringan lalu berdiri memunggungi Luke. “Ini sudah larut malam. Maaf, kamu harus pulang. Lagipula, aku ingin istirahat. Jadwal penerbangan pesawatku pagi-pagi sekali,” ucapnya berjongkok seraya membereskan luggage dan carry-on baggage yang masih berserak di lantai.

Laki-laki itu terpaku lalu mendesahkan napasnya pelan. “Baik, aku pulang dulu. Besok, jangan pesan taksi. Aku yang akan mengantarmu ke bandara,” titah Luke sembari melangkah keluar dari kamar Charlotte dengan lunglai. Ia melewati gadisnya begitu saja tanpa ucapan selamat malam.

********************

Pagi-pagi sekali Luke sudah tiba di kediaman Charlotte. Perempuan itu menyempatkan diri membuat garlic toast, salmon panggang, salad, dan espresso untuk sarapan mereka berdua. Obrolan semalam yang berakhir tidak baik rupanya bertahan hingga pagi hari.

Tetapi. rasa cinta Luke untuk Charlotte terlampau besar daripada rasa kesalnya. Ia tidak bisa membiarkan gadisnya kesulitan menyetir atau menaiki taksi komersil, hingga membawa koper besar sendirian. Setidaknya saat sang kekasih masih di sini. Masih ada dalam jangkauannya.

            “Tunggu aku pulang,” ujar Charlotte saat Luke menurunkannya di drop point.

Laki-laki di belakang kemudi itu hanya mengangguk sekilas dengan tatapan lurus ke depan. Sebelum kebisuan ini, Luke selalu menunggui jadwal keberangkatan Charlotte meski hanya tinggal sepersekian detik. Laki-laki itu selalu menanti moda transportasi yang dinaiki kekasihnya pergi. Tapi kali ini tidak. Ia lekas memacu kuda besinya keluar dari teras bandara.

Seiring deru mesin pesawat yang lepas landas meninggalkan Heathrow International Airport, pikiran Charlotte mengawang jauh ke atas sana. Penampakan kota London yang dihiasi pencakar langit, istana, dan gedung-gedung megah lainnya kian kabur bersamaan dengan perasaannya yang lebur. Sudah tepatkah langkahnya kali ini? Pantaskah ia ‘pulang’ setelah sekian lama?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status