Share

Kamar siapa ini ?

Bab 7

Justin mengernyit, bingung. "Siapa ini 'My W'? Kenapa dinamakan 'My W'? Apa artinya 'W' itu?" pikir Justin, mengarahkan ponsel lebih dekat untuk melihat lebih jelas. Nama kontak itu terus memancing rasa penasarannya, dan pikirannya mulai berlari liar.

"Walang Sangit?" dia mendengus, membayangkan kemungkinan konyol pertama yang terlintas di pikirannya. "Tidak mungkin."

"Wong edan?" Justin tertawa kecil pada dirinya sendiri, menyadari betapa absurdnya pikirannya saat itu.

"Masa iya, sih?"

Sementara ponsel terus bergetar, Justin mencoba berpikir lebih rasional.

"Mungkinkah itu sahabat atau keluarganya yang mencari Arabella? Atau mungkin seseorang yang sangat dekat dengannya?"

Justin mulai merasa bimbang. Di satu sisi, dia merasa harus mengangkat telepon itu untuk memberi tahu orang yang mungkin khawatir tentang keadaan Arabella. Di sisi lain, dia tidak tahu siapa 'My W' ini sebenarnya.

"Apa mungkin itu suaminya atau pacarnya?" Justin bergumam, merasa sedikit cemas.

"Jika aku mengangkatnya, mungkin aku akan dianggap perusak hubungan orang lain. Tidak, aku tidak bisa mengambil risiko itu."

Dia membayangkan berbagai skenario di mana dia mengangkat telepon itu dan mendengar suara marah dari ujung sana, menuduhnya merusak hubungan mereka. Atau mungkin malah orang yang sangat peduli pada Arabella dan khawatir tentang keselamatannya. Tapi ketidakpastian itu membuat Justin semakin ragu.

"Ini terlalu rumit," dia akhirnya memutuskan, mematikan ponsel itu dan meletakkannya kembali di dalam tas Arabella.

Justin menghela napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang masih bergelut di dadanya. Dia menatap Arabella yang masih tertidur lelap di tempat tidur, wajahnya tampak tenang dan damai.

"Mungkin lebih baik menunggu hingga dia bangun dan bisa menjelaskan semuanya sendiri," gumam Justin, menatap wajah cantik Arabella yang tertidur.

Justin berdiri dan berjalan menuju pintu kamar, tetapi sebelum keluar, dia menoleh sekali lagi ke arah Arabella. Pikirannya masih penuh dengan tanda tanya, tetapi dia tahu bahwa malam ini dia harus membiarkan semuanya mengalir.

***

Di belahan dunia lain, di apartemen Arabella, William masih berada di sana. Keheningan mencekam menyesakkan, seperti bayang-bayang yang menyelimuti hatinya. Biasanya, pada jam seperti ini, mereka sedang bercinta dengan panas dan intim diatas ranjang atau sekadar bercerita, menonton bersama, mengobrol masalah di kantor. Kenangan-kenangan itu berputar di benaknya, membuat hatinya semakin gundah.

Tap! Tap! Tap!

Suara langkah William yang mondar-mandir di ruang tamu apartemen bergaung di ruangan yang hening. Dia merasa seperti orang linglung, tidak tahu harus melakukan apa selain menunggu. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi.

Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan Arabella, wanita yang telah merebut hatinya sepenuhnya. Arabella adalah wanita yang tidak hanya cantik tetapi juga cerdas, dan hati William tidak pernah merasa seberuntung ini.

Dia memandang ke sekeliling apartemen, melihat setiap sudut yang penuh dengan kenangan mereka bersama. Setiap foto, setiap benda kecil, semuanya mengingatkannya pada saat-saat indah mereka.

Sesekali, dia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Arabella lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Sudah berpuluh-puluh pesan dan panggilan dia kirimkan, namun tak satu pun yang dibalas.

"Kamu dimana, Honey?" gumam William pelan, rasa khawatir merayap di hatinya. Dia terus mondar-mandir, seperti orang gila, mencari-cari jawaban yang tak kunjung datang. Setiap menit yang berlalu terasa seperti jam, dan ketidakpastian semakin menggerogoti pikirannya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah keheningan yang menekan.

Drrtt! Drrtt!

William buru-buru meraihnya, berharap itu dari Arabella. Namun, yang muncul di layar adalah nama Luna Devani, calon tunangannya. William menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengangkat panggilan itu.

"Halo, Luna," jawab William dengan nada malas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

"William, sayang, kamu di mana?" suara manja Luna terdengar di ujung sana, membuat William merasa semakin tertekan.

"Aku rindu kamu. Apa kamu tidak merindukanku?"

William berusaha menjawab dengan tenang, mengingat pesan ayahnya bahwa dia harus menjadi calon yang baik untuk Luna Devani.

"Iya, Luna. Aku juga rindu," jawabnya datar, mencoba terdengar tulus.

"Apa yang sedang kamu lakukan, sayang? Aku berharap kita bisa bertemu besok. Mungkin kita bisa makan malam bersama?" suara Luna terdengar penuh harap, membuat William merasa semakin bersalah.

"Ya, kita bisa bertemu besok," kata William, berusaha terdengar antusias. "Aku akan mengatur waktu untuk kita."

Mereka melanjutkan obrolan, dengan Luna yang terus mengobrol dengan manja dan William yang merespon dengan malas. Namun, di dalam hati, William merasa terbebani. Perasaannya terhadap Arabella begitu kuat, namun dia terjebak dalam situasi yang rumit dengan Luna.

Setelah beberapa saat, panggilan berakhir dan William meletakkan ponselnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, pikirannya masih penuh dengan Arabella.

"Di mana kamu, Arabella? Kenapa kamu tidak menghubungiku?" gumamnya lagi, berharap jawaban akan segera datang.

Di apartemen yang sunyi itu, William tetap terjebak dalam kegelisahan dan harapan, menunggu malam yang penuh dengan misteri ini berakhir. Setiap detik terasa seperti siksaan, dan hatinya penuh dengan kecemasan dan cinta yang tak terbalas.

"Arabella, di mana kamu?" bisiknya dengan suara serak. Hatinya terasa hampa dan penuh kerinduan.

***

Matahari terbit menyelinap melalui celah-celah gorden, sinarnya yang lembut menyinari wajah Arabella yang terbaring di kamar tamu yang asing. Cahaya pagi yang hangat dan menenangkan membuat matanya perlahan terbuka. Ia meringis saat merasakan pening di kepalanya, bekas mabuk semalam masih terasa.

Arabella mengangkat kepalanya dari bantal, memandang sekeliling kamar yang tidak dikenalnya. Dinding yang dihiasi karya seni mahal, perabotan elegan, dan aroma bunga segar yang memenuhi ruangan membuatnya merasa terasing.

"Di mana aku?" gumamnya pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi.

Saat itulah pintu kamar terbuka, dan seorang pelayan masuk membawa nampan dengan segelas air dan beberapa obat.

"Selamat pagi, Nona. Bagaimana perasaan Anda?" tanya pelayan itu dengan ramah, menaruh nampan di meja samping tempat tidur.

Arabella mencoba duduk, mengusap wajahnya yang masih terasa pusing. "Aku... aku merasa sedikit pening. Di mana aku? Ini rumah siapa?" tanyanya bingung, mencoba mengingat kembali kejadian malam sebelumnya.

Pelayan itu tersenyum lembut. "Anda berada di rumah Tuan Justin. Dia menemukan Anda di klub tadi malam dan membawa Anda ke sini karena Anda terlihat tidak baik. Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Nona?"

Arabella terkejut mendengar nama Justin. Dia mengerutkan kening, mencoba mengingat wajah yang dimaksud.

"Justin? Siapa Justin? Di mana dia sekarang?"

"Dia sedang berolahraga di ruang fitness. Anda bisa menemuinya di sana jika Anda mau," jawab pelayan itu dengan sopan, menawarkan segelas air kepada Arabella.

Arabella mengambil gelas itu, meminumnya perlahan. Rasa haus yang menyiksa sedikit mereda. "Baiklah, aku akan menemuinya. Terima kasih," katanya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan penyelamat yang tak dikenalnya itu.

Setelah pelayan keluar, Arabella bangkit dari tempat tidur, mengenakan jubah yang disediakan di kamar. Hatinya berdebar-debar, gugup memikirkan siapa sebenarnya Justin dan mengapa dia berada di sini. Dia keluar dari kamar dan mengikuti petunjuk pelayan menuju ruang fitness.

Ketika Arabella sampai di ruang fitness, dia melihat seorang pria tampan dengan tubuh atletis yang berkeringat sedang berolahraga. Nafasnya tertahan sejenak melihat betapa menawannya pria itu.

"Hey, kamu sudah sadar?" Panggil Justin keras. ia menghentikan treadmill dan mengecilkan volume musik.

"Kamu siapa?" gugup Arabella mundur beberapa langkah ketiaka ia merasa justin akan mendekat dan melakukan sesuatu padanya. Tapi ternyata lelaki itu hanya melewati dan mengambil handuk kecil yang tergantung di kursi sebelah Arabella.

Ketika Justin melintas, tubuh mereka sangat berdekatan titik wajah tampan di atas rata-rata terlihat jelas ketika berada di samping Arabella meski masih Hangover akibat semalam ia masih bisa mengetahui bahwa lelaki di sebelahnya ini sangat....tampan.

"Justin.., kamu, Freya kan?" kekeh Justin menggulurkan tangan ia mengajak Arabella berkenalan

"Tahu namaku dari mana?"

"Dua temanmu itu, mereka senang sekali meneriakan namamu."

"Bagaimana aku bisa di sini?, kamu menculik aku ya? Arabella tidak memperdulikan tangan Justin yang mengajak berkenalan. Tangan itu dibiarkan menggantung di daerah sampai akhirnya ditarik kembali oleh sang pemilik.

"Iya..aku menculikmu semalam, aku telah membiusmu dan.....ya, Kamu tahu kan apa yang diinginkan seorang laki-laki pada wanita cantik seperti kamu? jawab Justin santai, ia menyeringai dan memamerkan deretan gigi putih bersih sangat tertata rapi.

"Hah? Arabella terbelalak Langsung menutup mulut dengan kedua tangan Ia mau menangis mendengar pengakuan Justin.

"Kita....Kamu...Aku.., Apa yang kamu lakukan kepadaku!" teriaknya marah menahan Isak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status