Noah merasakan kebebasan dalam dirinya. Kini dia tak perlu mendengar ocehan Anna serta pertengkaran kecil antara ayah dan ibunya itu.
Dia bisa makan enak tanpa bekerja, hidup nyaman tanpa bayar kontrakan dan bisa bermain game sepuasnya seperti saat ini. “Hei, cepat bangun. Kita harus belajar menyetir!” “Sebentar aku belum selesai,” ucap Noah. Elina yang tak bisa menunggu pun merebut ponsel Noah. “Argh, kena—" “Apa, kamu ingin memarahiku. Kamu lupa kalau kamu harus mengikuti ucapanku.” Noah tak bisa berkutik, hanya diam tertunduk lesu karena dia pasti kalah saat berdebat dengan Elina tak seperti saat berdebat dengan intan. "Ambil ini!” Noah dengan cepat menangkap kunci mobil yang dilempar oleh Elina. Keduanya lalu masuk ke dalam mobil. “Inget bawanya pelan-pelan, ikuti petunjuk dariku.” “Iya.” Tangan Noah berkeringat dingin,untuk pertama kalinya dia mengemudikan mobil. “Nyalakan, turunkan rem tangan, injak kopling terus masuk gigi satu.” “Bentar-bentar, sedikit-sedikit ngasih taunya jangan cepat-cepat.” “Bodoh banget si, buruan injek rem kaki, terus turunin rem tangan.” “Udah, terus apa lagi.” “Injak kopling, terus masukin gigi satu. Koplingnya lepasin perlahan.” “Eh, gimana ini.” Elina memutar bola matanya, kesabarannya yang setipis tisu pun mulai tersulut. Dia terus memarahi Noah karena tidak bisa mengemudi dengan benar. “Bego banget sih. Ini mulut udah berbusa menerangkan, nggak bisa-bisa heran!” Elina membuka seat belt, berniat keluar dari mobil. Namun, Noah mencegah Elina untuk keluar dari dalam mobil. “Tunggu sebentar, kali ini aku pasti bisa.” Dia pun kembali memasang seatbelt, memperhatikan Noah yang mulai mengemudikan mobil tanpa instruksi darinya. Perlahan Noah pun menginjak pedal gas— mengemudikan mobil mengelilingi villa hingga akhirnya mobil mereka berhenti tepat di depan villa. “Yey!” seru Elina dan Noah sembari saling berpegangan. Namun, seketika mereka saling melepaskan tangan mereka seraya memalingkan wajah. Keduanya keluar dari dalam mobil, Elina pun berjalan lebih dulu di ikuti Noah berjalan sejajar dengannya. “Belajar mobil doang mah, kecil!” ujar Noah menjentikan tangannya “Oh ya?!” Noah tersenyum lalu melingkarkan tangannya di bahu Elina— membuatnya terpana karena baru kali ini ada pria yang memegang bahunya, merangkulnya dengan lembut. Hati Elina berdesir, tapi dia segera menepis tangan Noah dari bahunya. “Berapa usiamu?” “26, kamu?” Elina mengedipkan matanya, dia pikir Noah lebih tua darinya ternyata dia yang lebih tua dari pria yang ada di hadapannya. “Panggil aku kakak, karena usiaku lebih tua darimu.” “Benarkah, memangnya berapa usiamu?” “29,” gumam Elina yang masih bisa didengar oleh Noah. “Ah, sudah kuduga. Kamu begitu cerewet, galak, tukang merintah, ternyata sudah nenek-nenek.” “Apa.” “Canda, nenek.” Noah berlari menaiki anak tangga. Elina lalu mengambil sendal yang sedang dia gunakan untuk di lempar ke arah Noah. "Yee, enggak kena." Tanpa mereka sadari seseorang sedang memperhatikan mereka berdua. *** Noah memijat dahinya yang terasa nyeri, tak hanya itu matanya pun terasa perih setelah seharian membaca. Sesekali dia melirik ke arah Elina yang sibuk dengan laptopnya sedari pagi. “Aku sudah selesai membacanya,” ucap Noah memberikan dua buku tebal tentang manajemen bisnis. Elina hanya melihat ke arah buku yang disimpan oleh Noah kemudian memberikan berkas yang sedang dia periksa. “Baca ini dan temukan apa yang salah dengan laporan keuangan itu?” “Hah, tapi aku kan—” Elina mengibas tangannya, agar Noah berhenti berbicara. “Waktumu hanya sepuluh menit untuk memeriksa semuanya.” Noah berdiri di samping Elina sembari memeriksa berkas pemberiannya. Namun, baru lima menit Noah memberikan berkas tersebut. Elina hanya menatapnya tak ingin bertanya, karena dia masih sibuk dengan pekerjaanya. “Ini data pengeluaran yang aneh menurutku,” ujar Noah menunjuk nominal uang yang keluar. Sudut bibir Elina terangkat, dia lalu memberikan laptopnya agar Noah mempelajari semua pekerjaannya. “Kerjakan semua pekerjaanku. Kalau kamu mengerjakan semuanya dengan benar, aku akan memberikan ponselmu.” “Oke.” Noah bersemangat mengerjakan semua pekerjaan Elina. Sedangkan Elina sibuk membuka ponsel Noah, memeriksa semua aplikasi yang ada di ponselnya. “Kamu nggak punya media sosial?” “Nggak.” Elina mendownload aplikasi media sosial yang banyak digunakan oleh orang saat ini. Menggunakan email baru yang dia buat. “Noah.” Tanpa sadar Noah menoleh ke arah Elina yang sedang mengarahkan kamera ponselnya. Cekrek! "Baguskan?” “Apa itu?” “Aku membuat media sosial pribadimu. Mereka pasti mencari tahu siapa kamu dan aku sengaja membuat ini agar mereka nggak susah payah mencari tahu.” Noah menghela napasnya, bagaimana bisa seorang CEO kaya seperti Elina masih mencari perhatian dari media sosial. “Hapus.” “Nggak,” tolak Elina. Noah beranjak dari sofa lalu mengejar Elina. Dia menarik tangan Elina dengan kencang hingga tubuh Elina terhuyung dan menempel dengan tubuhnya. Keduanya saling berpandangan sebelum akhirnya, keduanya terjatuh dan Elina menimpa tubuh Noah. Brak! “Argh,” rintih Noah. “Ma-maaf. Ini semua salah kamu, suruh siapa mengejarku.” “Ta—” Belum sempat menjawab, Elina memberikan ponsel Noah, kemudian mengambil laptopnya. Dia pun berlalu meninggalkan Noah sendirian. "Ada apa dengan jantungku, kenapa jadi nggak karuan seperti ini?" desis Elina berjalan ke kamar. Elina merebahkan tubuhnya di atas kasur, sedetik kemudian dia membuka media sosial saat notif pesan masuk. Sebuah like dari username yang dia kenal pun menghiasi setiap postingan Elina saat ini. Bahkan foto bayangan punggung Noah pun banyak sekali orang yang meninggal komentar. "Akan ku balas kalian semua!""Serius kamu akan menikah?" tanya Hardi menatap wajah Elina.Elina mengangguk seolah mengiyakan apa yang di tanyakan pamannya itu. "Sebenarnya aku sudah lama menjalin hubungan dengan pria bernama Noah. Hanya saja aku malu mengakui kepada Paman dan yang lainnya karena kasta kita berbeda," jelas Elina."Maksud kamu?"Elina menunjukkan foto Noah bersama keluarganya. Terlihat jelas raut wajah kecewa tergambar di wajah Hardi. "Tunggu, bukannya wanita ini asisten rumah tangga di rumahmu?" "Iya, Paman. Aku sudah lama mengenal pria itu dan aku sangat mencintainya, tapi aku yakin semua Paman tidak akan setuju jika aku menikah dengannya."Hardi menyimpan foto Noah. Dia menatap wajah Elina seolah mencari kebohongan di sana. "Apa kamu benar-benar mencintainya?"Tanpa ragu Elina mengangguk dan berkata, "Iya." Dia benar-benar yakin menikahi pria bodoh itu. Apa lagi dia seorang pengangguran dan anak dari asisten rumah tangga akan mudah bagi Elina untuk mengendalikan Noah dengan uang."Baik, menika
Mata Elina hampir tak berkedip saat menatap pria yang ada di depannya. Perlahan pria itu mendekat menghampiri Elina dengan senyum menggoda."Hai, Elina."Seketika jiwa Elina kembali masuk kedalam tubuhnya menyadarkan dia dari lamunannya. "Kenapa kamu ada di sini?" Bukannya menjawab Elina malah balik bertanya."Aku di sini menemani Pak Chandra."Mendengar hal itu Elina pun pergi meninggalkan pria yang pernah mengisi relung hatinya. Elina terus mengetukkan sepatunya, memikirkan perkataan apa yang cocok untuk menentang kedua pamannya.Brak!Semua mata tertuju kepada Elina saat dia membuka pintu ruang meeting. Terlihat kedua pamannya yang sudah siap dengan berkas yang ada di meja."Jadi, kalian benar-benar akan menarik saham dari perusahaan ini?""Iya, kami pikir kamu akan menikah dengan pria yang berpendidikan tinggi dari keluarga kaya tapi ternyata suami kamu hanya dari kalangan jelata.""Apa?"Heru yang sedari tadi diam pun mulai membuka mulutnya. "Kamu pikir kita tidak tau rencanamu.
Mata Elina terus menatap layar ponselnya, kini pria yang selalu ada di hatinya mulai mengikuti semua postingannya bahkan dia meninggalkan komentar di setiap postingan Elina. "Mau kubuatkan kopi?" tanya Noah sambil mengambil cangkir."Hm, aku ingin capuccino.""Capuccino?""Hm, Bi Anna biasa menyimpan kopi di laci," tutur Elina memberitahu. Noah pun membuka laci dan mendapati kopi yang di minta oleh Elina. Namun, seketika dia ingat akan ibunya yang tak pernah dia lihat setelah kembali ke rumah itu.Noah pun menyajikan kopi di atas meja sambil menarik kursi yang ada di depan Elina. "Ehm, apa kamu tidak sadar kalau setelah kita pulang dari Bandung tidak pernah bertemu dengan Mamah?""Mamah, siapa?" tanya Elina tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel. "BI ANNA!""Bi Anna, tunggu di mana Bi Anna sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya?"Noah melipat tangannya di dada menatap tajam Elina seolah menunggu penjelasannya."Kenapa menatapku seperti itu, apa kamu pikir aku memecat Ibum
Suara ketukan pintu menyadarkan Elina dari fokusnya. Dia mengalihkan perhatiannya saat melihat seseorang berjalan ke arahnya. "Noah, sedang apa kamu di sini?"Tak hanya Noah, Hardi pun muncul di belakangnya. "Selamat siang keponakan Paman.""Paman, kenapa Paman datang bersama Noah?""Mulai hari ini dia akan bekerja sebagai penanggung jawab keuangan.""A-apa?"Hardi tersenyum berjalan mendekati Elina. "Setidaknya jika dia bekerja di sini, Chandra dan Heru tidak akan mengganggumu.""Tunggu, Paman aku tidak suka bekerja dengan orang yang aku kenal. Bagaimana kalau karyawan lain tau jika Noah ini suamiku, mereka pasti memperlakukan dia dengan baik dan tak berguna nantinya!"Hardi menyeringai, sedangkan Noah menunjukkan wajah yang seolah meledek Elina."Kamu tenang saja, Paman sudah memperkenalkan Noah sebagai karyawan baru di sini dan Noah kamu harus bekerja keras untuk membantu istrimu.""Iya, Paman," jawab Noah."Baiklah, kalian berkerja samalah dengan baik. Paman menunggu gebrakan bar
Jam makan siang pun tiba, Elina mengambil brosur makanan yang akan dia pesan. Terbiasa sendiri membuat Elina malas keluar hanya untuk makan siang bersama sekretaris atau staf lainnya. Tok, tok. "Permisi." "Masuk." Dina menyembulkan kepalanya dari balik pintu lalu mendekat ke meja Elina. "Mau makan siang apa?" Mata Elina masih fokus ke menu makanan yang ada di tangannya. "Aku bosan makan ini, kamu mau makan di mana?" tanya Elina memastikan restoran mana yang akan Dina kunjungi. "Aku mau makan di kantin." "Di kantin bawah, memangnya ada menu makanan apa saja?" selidik Elina. Dina berpikir sejenak, "Entahlah, aku ke kantin hanya ingin makan siang dengan Noah." "Apa?" Dina melipat bibirnya, dengan tidak sopannya dia menyebut nama suami atasannya itu dengan sebutan Noah. "Maaf, maksudku Pak Noah." Dina mendekati Elina. "Di grup para staf di setiap divisi sedang membicarakan Pak Noah. Namanya jadi trending topik di grup, aku sengaja ke kantin untuk menyelidiki dan men
Noah terus berjalan mondar-mandir di ruang tamu sambil menunggu kedatangan Elina yang sudah jam sepuluh malam tapi tak kunjung datang.Padahal dia sudah ada rencana mengajaknya makan malam sesuai permintaan Hardi. "Den, belum tidur?" tanya suami saat dia bangun ada bayangan sosok hitam mondar-mandir di sana. "Belum Bi, aku sedang menunggu Elina maksudku istriku.""Oh, Non Elina kadang pulang pagi, dia selalu lembur di kantornya. Tenang saja Non Elina anak yang baik dia tidak pernah ke hiburan malam atau acara lainnya tanpa mengabariku. Jadi kalau tidak ada kabar seperti ini dia pasti masih di kantor karena sibuk mengurusi pekerjanya. Kenapa tidak di jemput saja?""Eeee, itu karena ...." Bagaimana mungkin Noah memberi tahu Sumi jika keduanya merahasiakan pernikahan mereka di kantor. "Aku akan menghubunginya.""Hm, baiklah. Bibi ke kamar dulu ya."Noah mengangguk lalu mendekati jendela hanya untuk memastikan jika orang yang dia tunggu datang secara tiba-tiba dan benar saja terdengar s
Tok, tok, tok.Elina membuka penutup mata saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Perlahan dia beranjak dari ranjang untuk membuka pintu."Selamat pagi, Non. Sudah jam sepuluh, waktunya kerja.""Hm, makasih Bi. Elina menoleh ke atas sofa sudah tidak ada Noah di sana. "Noah sudah kerja?""Iya Non, seperti biasa Den Noah berangkat pagi katanya naik angkutan umum suka desak-desakan kalau telat."Elina hanya mengangguk berniat menutup pintu kamarnya. Namun, Sumi menghalangi pintu. "Non tidak kasian sama Den Noah, dia harus berangkat pagi dan pulang malam karena tidak punya kendaraan."Elina memutar bola matanya. "Dia harus mandiri, biar tau susahnya mencari uang."Setelah mengatakan itu Elina melempar pintu kamar membuat Sumi bingung."Menikah tapi terlihat asing," gumamnya berlalu menjauh dari kamar Elina.Sedangkan di dalam kamar, Elina memikirkan apa yang di katakan Sumi. Elina lalu membuka ponselnya mengirim pesan ke seseorang.[Bawa mobilku ke kantor.]Setelah mengirimkan
“Menikah?” Elina Nathania Putri menatap tajam pria yang ada di hadapannya. “Nggak, aku nggak mau menikah,” ucapnya tegas seketika. “Kalau kamu nggak mau menikah kamu harus mau meninggalkan jabatanmu sekarang!” Deg! Elina terdiam memikirkan apa yang baru saja keluar dari mulut Hardi yang tak lain pamannya. Gadis itu jelas tidak mau melepaskan jabatannya begitu saja apa lagi perusahaan itu didirikan oleh ayahnya dan memiliki saham paling banyak di perusahaan tersebut. “Tanpa pendamping pun aku bisa mengelola bisnis ini dengan baik, Paman. Jadi jangan menyuruhku untuk menikah.” Hardi mendekati Elina lalu berucap, “Itu menurutmu, tapi kami membutuhkan sosok pemimpin yang bisa mengatur bisnis kita ini.” “Jadi menurut Paman aku nggak bisa mengurus bisnis ini dengan baik, gitu?” “Dengar Elina, kamu itu perempuan. Akan ada banyak orang atau pemilik saham yang ingin merebut posisimu. Kalau kamu menikah dengan orang kaya, paman yakin mereka akan takut kepadamu karena kamu memili