"Serius kamu akan menikah?" tanya Hardi menatap wajah Elina.
Elina mengangguk seolah mengiyakan apa yang di tanyakan pamannya itu. "Sebenarnya aku sudah lama menjalin hubungan dengan pria bernama Noah. Hanya saja aku malu mengakui kepada Paman dan yang lainnya karena kasta kita berbeda," jelas Elina. "Maksud kamu?" Elina menunjukkan foto Noah bersama keluarganya. Terlihat jelas raut wajah kecewa tergambar di wajah Hardi. "Tunggu, bukannya wanita ini asisten rumah tangga di rumahmu?" "Iya, Paman. Aku sudah lama mengenal pria itu dan aku sangat mencintainya, tapi aku yakin semua Paman tidak akan setuju jika aku menikah dengannya." Hardi menyimpan foto Noah. Dia menatap wajah Elina seolah mencari kebohongan di sana. "Apa kamu benar-benar mencintainya?" Tanpa ragu Elina mengangguk dan berkata, "Iya." Dia benar-benar yakin menikahi pria bodoh itu. Apa lagi dia seorang pengangguran dan anak dari asisten rumah tangga akan mudah bagi Elina untuk mengendalikan Noah dengan uang. "Baik, menikahlah. Paman akan menjadi walimu." "Terima kasih Paman tapi bisakah pamah untuk merahasiakan pernikahanku dan Noah sementara waktu. Aku ingin mempersiapkan dia terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Paman Chandra dan Heru." Hardi mengangguk. "Paman akan merahasiakan, asalkan semua ucapanmu itu bukan sebuah kebohongan." "Paman, apa aku pernah berbohong kepada Paman. Paman adalah orang yang paling aku sayangi di dunia ini setelah Ayah. Aku mohon, dukung aku." Bayangan tentang percakapan dia dengan Elina sebelumnya terekam jelas di otak Hardi. Dia pun memberitahu tentang pernikahan Elina dan Noah kepada kedua saudaranya. “Jadi seperti apa pria yang menikahi keponakan kesayangan kita?” tanya Heru. "Kenapa pernikahannya terkesan mendadak. Bahkan tidak ada yang memberitahu kita tentang pernikahan mereka?" sambung Chandra. Hardi membenarkan duduknya lalu berkata, “Dia terlahir dari keluarga biasa, tapi sepertinya Elina begitu mencintai pria itu.” Chandra berdecak, “Kenapa kamu enggak menghentikan pernikahan mereka.” “Untuk apa. Bukankah kalian hanya ingin melihat Elina menikah lalu apa lagi yang kalian inginkan?” “Jelas posisinya,” sela Chandra. “Apa kamu lupa dengan rencana kita?” Hardi tak bisa berkutik ketika didesak oleh kakak dan adik kandungnya sendiri. “Lalu, apa rencana kalian?” Chandra mulai merancang rencana untuk menjebak Elina. Hardi hanya mendengarkan dan berpura-pura berada di pihak mereka. Dia tidak menyangka jika saudaranya sendiri begitu jahat ke ponakan mereka, bahkan memiliki banyak rencana jahat sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan. Setelah berbicara dengan kedua saudaranya, Hardi pergi ke rumah Elina dan mencari Anna. Dia sudah tahu jika Anna merupakan ibu dari Noah dan dia tidak ingin mereka mengacaukan semua rencana. “Selamat sore, Pak Hardi,” sapa Anna saat melihat kedatangan Hardi. Hardi hanya berdehem lalu duduk di sofa. “Duduklah, kita harus bicara,” ujarnya memulai percakapan. “Begini, putramu dan Elina sudah menikah. Aku harap kamu segera berhenti dari pekerjaanmu.” “Ta-tapi, Pak.” “Bereskan semua barangmu dan keluar dari sini sekarang juga. Aku akan memberikan uang pesangon untukmu asalkan kamu tidak lagi menunjukkan wajahmu di sini.” Setelah mengatakan hal itu, Hardi beranjak dari kursi meninggalkan Anna yang merasa bingung. Jika dipikir lagi apa yang dikatakan Hardi memang benar. Tidak sepantasnya dia masih tinggal di rumah menantunya, apa lagi dia sudah menerima uang yang diberikan oleh Elina. Anna pun berkemas dan kembali ke rumahnya tanpa berpamitan kepada Elina yang selama ini dia rawat. Tanpa sepengetahuan Anna, Hardi masih memperhatikan dari dalam mobilnya. Tak lupa dia membuka ponselnya menghubungi seseorang. “Apa yang aku minta sudah kalian lakukan?” “Sudah, Pak. Kami sedang berbicara dengan suami yang bersangkutan.” “Oke, urus semuanya dengan baik. Jangan sampai Elina tau tentang ini.” Hardi mematikan panggilannya lalu menyuruh supirnya untuk pergi dari rumah Elina. *** Noah menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Dia terlalu lelah hingga mengantuk karena semalaman menyetir mobil. “Hei, bangun,” ucap Noah membangunkan Elina. Elina menggeliat ketika Noah menggoyangkan bahunya agar dia bangun. “Di mana kita?” tanya Elina dengan suara serak khas bangun tidur. “Sudah sampai Jakarta,” jawab Noah. “Aku lapar, kita makan dulu ya.” Elina melihat Noah keluar dari mobil menuju warung tenda yang berada di pinggir jalan. Sedangkan Elina menyalakan layar ponselnya dan melihat jam yang menunjukan pukul 6 pagi. “Gila, Bandung ke Jakarta 7 jam. Dia bawa mobil apa keong,” gumam Elina lalu keluar dari mobil. Dilihatnya Noah sedang memesan makanan. “Kamu mau nasi kuning atau nasi uduk?” Elina terdiam, mendengar nama makanan yang asing baginya membuat Elina tidak bisa memilih makanannya. Noah memperhatikan Elina lalu berkata, “Pasti belum pernah makan. Orang kaya, mana mungkin makan makanan seperti ini.” “Udah tahu pake nanya lagi, udah pesan saja sama seperti kamu.” Noah lalu memesan nasi kuning yang sama dengannya. Sesekali dia melirik ke arah Elina yang mulai sibuk dengan ponselnya dan—” “Argh ….” Jeritnya yang membuat Noah terkejut. “Ada apa?” “Apa aku sedang bermimpi, dia mengomentari postinganku,” batinnya melihat foto tangannya yang sedang di genggam oleh Noah. Noah yang bingung melihat ekspresi Elina pun tak ambil pusing dan langsung melahap nasi kuning yang ada di piringnya. Sementara Elina, malah sibuk dengan ponselnya. Selesai makan, Elina mengemudikan mobilnya dengan kencang agar dia segera kembali ke rumah dan berganti pakaian. 20 menit perjalanan akhirnya mereka pun sampai di rumah. Elina berjalan lebih dulu meninggalkan Noah yang berjalan mengikutinya. “Astaga, sedang apa kamu di kamarku?” tanya Elina. Noah berdiri mematung karena tanpa sadar dia masuk ke dalam kamar Elina. “Bukankah kita sudah menikah?” “Lalu?” Elina menghela napasnya dia lupa jika setelah menikah suami istri biasanya tidur di kamar yang sama. “Aku lupa, ini kamar kita tapi kamu enggak boleh tidur di ranjangku." “Hah, terus aku tidur dimana?” “Disitu.” Tunjuk Elina ke sebuah sofa yang ada di kamarnya. “Tapi sebelum kamu beristirahat sebaiknya kamu keluar karena aku ingin mengganti bajuku.” Dengan patuh Noah keluar dari kamar Elina. Elina pun bergegas mengganti pakaiannya lalu memoleskan makeup di wajahnya. Tanpa berpamitan, Elina masuk ke dalam mobilnya lalu pergi ke kantor. Iya, setelah mendapat kabar jika Chandra tiba-tiba saja ingin menarik sahamnya dari perusahaan mereka. Elina pun bergegas ke kantor karena tidak mau pamannya menghancurkan bisnis yang sudah ia bangun. “Pagi, Bu,” sapa para karyawan yang dia lewati. Namun, Elina tak bergeming karena kepalanya dipenuhi emosi yang begitu membara. “Elina.” Langkah kaki Elina terhenti ketika mendengar suara pria yang tak asing di telinganya. Perlahan dia berbalik, tubuhnya terasa kaku ketika pria itu berjalan mendekatinya. “Ka-kamu.”Mata Elina hampir tak berkedip saat menatap pria yang ada di depannya. Perlahan pria itu mendekat menghampiri Elina dengan senyum menggoda."Hai, Elina."Seketika jiwa Elina kembali masuk kedalam tubuhnya menyadarkan dia dari lamunannya. "Kenapa kamu ada di sini?" Bukannya menjawab Elina malah balik bertanya."Aku di sini menemani Pak Chandra."Mendengar hal itu Elina pun pergi meninggalkan pria yang pernah mengisi relung hatinya. Elina terus mengetukkan sepatunya, memikirkan perkataan apa yang cocok untuk menentang kedua pamannya.Brak!Semua mata tertuju kepada Elina saat dia membuka pintu ruang meeting. Terlihat kedua pamannya yang sudah siap dengan berkas yang ada di meja."Jadi, kalian benar-benar akan menarik saham dari perusahaan ini?""Iya, kami pikir kamu akan menikah dengan pria yang berpendidikan tinggi dari keluarga kaya tapi ternyata suami kamu hanya dari kalangan jelata.""Apa?"Heru yang sedari tadi diam pun mulai membuka mulutnya. "Kamu pikir kita tidak tau rencanamu.
Mata Elina terus menatap layar ponselnya, kini pria yang selalu ada di hatinya mulai mengikuti semua postingannya bahkan dia meninggalkan komentar di setiap postingan Elina. "Mau kubuatkan kopi?" tanya Noah sambil mengambil cangkir."Hm, aku ingin capuccino.""Capuccino?""Hm, Bi Anna biasa menyimpan kopi di laci," tutur Elina memberitahu. Noah pun membuka laci dan mendapati kopi yang di minta oleh Elina. Namun, seketika dia ingat akan ibunya yang tak pernah dia lihat setelah kembali ke rumah itu.Noah pun menyajikan kopi di atas meja sambil menarik kursi yang ada di depan Elina. "Ehm, apa kamu tidak sadar kalau setelah kita pulang dari Bandung tidak pernah bertemu dengan Mamah?""Mamah, siapa?" tanya Elina tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel. "BI ANNA!""Bi Anna, tunggu di mana Bi Anna sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya?"Noah melipat tangannya di dada menatap tajam Elina seolah menunggu penjelasannya."Kenapa menatapku seperti itu, apa kamu pikir aku memecat Ibum
Suara ketukan pintu menyadarkan Elina dari fokusnya. Dia mengalihkan perhatiannya saat melihat seseorang berjalan ke arahnya. "Noah, sedang apa kamu di sini?"Tak hanya Noah, Hardi pun muncul di belakangnya. "Selamat siang keponakan Paman.""Paman, kenapa Paman datang bersama Noah?""Mulai hari ini dia akan bekerja sebagai penanggung jawab keuangan.""A-apa?"Hardi tersenyum berjalan mendekati Elina. "Setidaknya jika dia bekerja di sini, Chandra dan Heru tidak akan mengganggumu.""Tunggu, Paman aku tidak suka bekerja dengan orang yang aku kenal. Bagaimana kalau karyawan lain tau jika Noah ini suamiku, mereka pasti memperlakukan dia dengan baik dan tak berguna nantinya!"Hardi menyeringai, sedangkan Noah menunjukkan wajah yang seolah meledek Elina."Kamu tenang saja, Paman sudah memperkenalkan Noah sebagai karyawan baru di sini dan Noah kamu harus bekerja keras untuk membantu istrimu.""Iya, Paman," jawab Noah."Baiklah, kalian berkerja samalah dengan baik. Paman menunggu gebrakan bar
Jam makan siang pun tiba, Elina mengambil brosur makanan yang akan dia pesan. Terbiasa sendiri membuat Elina malas keluar hanya untuk makan siang bersama sekretaris atau staf lainnya. Tok, tok. "Permisi." "Masuk." Dina menyembulkan kepalanya dari balik pintu lalu mendekat ke meja Elina. "Mau makan siang apa?" Mata Elina masih fokus ke menu makanan yang ada di tangannya. "Aku bosan makan ini, kamu mau makan di mana?" tanya Elina memastikan restoran mana yang akan Dina kunjungi. "Aku mau makan di kantin." "Di kantin bawah, memangnya ada menu makanan apa saja?" selidik Elina. Dina berpikir sejenak, "Entahlah, aku ke kantin hanya ingin makan siang dengan Noah." "Apa?" Dina melipat bibirnya, dengan tidak sopannya dia menyebut nama suami atasannya itu dengan sebutan Noah. "Maaf, maksudku Pak Noah." Dina mendekati Elina. "Di grup para staf di setiap divisi sedang membicarakan Pak Noah. Namanya jadi trending topik di grup, aku sengaja ke kantin untuk menyelidiki dan men
Noah terus berjalan mondar-mandir di ruang tamu sambil menunggu kedatangan Elina yang sudah jam sepuluh malam tapi tak kunjung datang.Padahal dia sudah ada rencana mengajaknya makan malam sesuai permintaan Hardi. "Den, belum tidur?" tanya suami saat dia bangun ada bayangan sosok hitam mondar-mandir di sana. "Belum Bi, aku sedang menunggu Elina maksudku istriku.""Oh, Non Elina kadang pulang pagi, dia selalu lembur di kantornya. Tenang saja Non Elina anak yang baik dia tidak pernah ke hiburan malam atau acara lainnya tanpa mengabariku. Jadi kalau tidak ada kabar seperti ini dia pasti masih di kantor karena sibuk mengurusi pekerjanya. Kenapa tidak di jemput saja?""Eeee, itu karena ...." Bagaimana mungkin Noah memberi tahu Sumi jika keduanya merahasiakan pernikahan mereka di kantor. "Aku akan menghubunginya.""Hm, baiklah. Bibi ke kamar dulu ya."Noah mengangguk lalu mendekati jendela hanya untuk memastikan jika orang yang dia tunggu datang secara tiba-tiba dan benar saja terdengar s
Tok, tok, tok.Elina membuka penutup mata saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Perlahan dia beranjak dari ranjang untuk membuka pintu."Selamat pagi, Non. Sudah jam sepuluh, waktunya kerja.""Hm, makasih Bi. Elina menoleh ke atas sofa sudah tidak ada Noah di sana. "Noah sudah kerja?""Iya Non, seperti biasa Den Noah berangkat pagi katanya naik angkutan umum suka desak-desakan kalau telat."Elina hanya mengangguk berniat menutup pintu kamarnya. Namun, Sumi menghalangi pintu. "Non tidak kasian sama Den Noah, dia harus berangkat pagi dan pulang malam karena tidak punya kendaraan."Elina memutar bola matanya. "Dia harus mandiri, biar tau susahnya mencari uang."Setelah mengatakan itu Elina melempar pintu kamar membuat Sumi bingung."Menikah tapi terlihat asing," gumamnya berlalu menjauh dari kamar Elina.Sedangkan di dalam kamar, Elina memikirkan apa yang di katakan Sumi. Elina lalu membuka ponselnya mengirim pesan ke seseorang.[Bawa mobilku ke kantor.]Setelah mengirimkan
“Menikah?” Elina Nathania Putri menatap tajam pria yang ada di hadapannya. “Nggak, aku nggak mau menikah,” ucapnya tegas seketika. “Kalau kamu nggak mau menikah kamu harus mau meninggalkan jabatanmu sekarang!” Deg! Elina terdiam memikirkan apa yang baru saja keluar dari mulut Hardi yang tak lain pamannya. Gadis itu jelas tidak mau melepaskan jabatannya begitu saja apa lagi perusahaan itu didirikan oleh ayahnya dan memiliki saham paling banyak di perusahaan tersebut. “Tanpa pendamping pun aku bisa mengelola bisnis ini dengan baik, Paman. Jadi jangan menyuruhku untuk menikah.” Hardi mendekati Elina lalu berucap, “Itu menurutmu, tapi kami membutuhkan sosok pemimpin yang bisa mengatur bisnis kita ini.” “Jadi menurut Paman aku nggak bisa mengurus bisnis ini dengan baik, gitu?” “Dengar Elina, kamu itu perempuan. Akan ada banyak orang atau pemilik saham yang ingin merebut posisimu. Kalau kamu menikah dengan orang kaya, paman yakin mereka akan takut kepadamu karena kamu memili
Suara ketukan sepatu mengalihkan perhatian semua karyawan yang berada di lobi. mereka berhamburan dari lobi dan duduk di kursi masing-masing, sedangkan karyawan yang berada di lantai atas berlari ke tangga darurat agar tidak bertemu dengan bos killer.“Apa mereka sudah berkumpul?” tanya Elina.“Sudah Bu, semua pemegang saham sudah berkumpul di ruang meeting,” jawab Dina lalu masuk ke dalam lift yang sama dengan Elena.“Apa, bukannya kita meeting sama staf divisi?” Dina menelan salivanya, dia benar-benar lupa memberitahu Elina jika semua pemegang saham mengadakan meeting mendadak.“It-itu—” Elina mengangkat tangannya tanda jika dia tidak menerima penjelasan apapun dari sekretarisnya itu.Tepat saat pintu lift terbuka, Elina keluar lebih dulu. Namun, langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang meeting. Dia menghela napasnya mencoba tetap tenang ketika bertemu dengan para pemegang saham yang tak lain pamannya sendiri.“Selamat pagi,” sapa Elina diikuti Dina. Tapi Elina bergegas mendor