Share

2. Menikahi Pria Pengangguran

Suara ketukan sepatu mengalihkan perhatian semua karyawan yang berada di lobi. mereka berhamburan dari lobi dan duduk di kursi masing-masing, sedangkan karyawan yang berada di lantai atas berlari ke tangga darurat agar tidak bertemu dengan bos killer.

“Apa mereka sudah berkumpul?” tanya Elina.

“Sudah Bu, semua pemegang saham sudah berkumpul di ruang meeting,” jawab Dina lalu masuk ke dalam lift yang sama dengan Elena.

“Apa, bukannya kita meeting sama staf divisi?” Dina menelan salivanya, dia benar-benar lupa memberitahu Elina jika semua pemegang saham mengadakan meeting mendadak.

“It-itu—” Elina mengangkat tangannya tanda jika dia tidak menerima penjelasan apapun dari sekretarisnya itu.

Tepat saat pintu lift terbuka, Elina keluar lebih dulu. Namun, langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang meeting. Dia menghela napasnya mencoba tetap tenang ketika bertemu dengan para pemegang saham yang tak lain pamannya sendiri.

“Selamat pagi,” sapa Elina diikuti Dina. Tapi Elina bergegas mendorong tubuh Dina agar keluar dari ruang meeting dan meninggalkannya bersama ketiga paman yang sudah sedari tadi menunggu kedatangannya.

Hardi memulai pembicaraan. “Ehm, mengenai pembicaraan kita kemarin. Apa kamu sudah memilih pria yang akan menikah denganmu?”

Elina menatap ketiga pamannya yang terlihat begitu penasaran dengan jawabannya. Jika dia memilih salah satu dari mereka, jelas mereka tidak bisa diajak kerja sama oleh Elina dan mungkin mereka hanya akan menyusahkan dirinya saja.

“Begini Paman, soal pernikahan sepertinya aku nggak bisa menikah dengan salah satu pria pilihan Paman.”

“Tuh kan, sudah aku bilang Elina itu nggak mungkin mau menikah. Jadi untuk apa menunggu lagi, tinggal turunkan dia,” sela Chandra yang memang menginginkan jabatannya sejak lama.

Elina berdecak menarik atensi pamannya yang semakin kesal karena melihat Elina yang terkesan menyepelekan mereka.

“Apa kamu sedang menghina kami?” tanya Heru adik bungsu ayah Elina yang selalu bersikap kasar kepadanya saat dia masih kecil.

“Apa aku terlihat menghina kalian. Aku hanya penasaran kenapa kalian begitu menginginkan aku untuk segera menikah?!” Mata Elina melihat ke arah ketiga pamannya yang hanya diam seolah sedang berpikir untuk tidak membuat kesalahan karena Elina yang selalu berpikir kritis.

Chandra mulai membuka mulutnya. “Kamu itu wanita Elina, enggak pantas seorang wanita memimpin perusahaan sebesar ini. Jadi biarkan kan salah satu dari kami memimpin perusahaan ini. Kalau nggak, ya terpaksa kamu harus segera menikah karena kami membutuhkan pemimpin seorang pria.”

“Hanya itu?”

“Iya,” jawab Chandra dan Heru bersemangat, sementara hardi hanya diam memperhatikan.

Elina mengangguk lalu berkata, “Baiklah, aku akan menikah, tapi dengan pilihanku sendiri.”

“ Ta—” Elina beranjak dari kursi menghentikan ucapan Chandra yang sepertinya akan menolak ucapan keponakannya itu.

Hardi pun berdiri dari kursinya menghalangi langkah Elina. “Kapan kamu akan menikah?”

“Secepatnya.” Eliana pun keluar dari ruang meeting meninggalkan mereka bertiga.

***

Elina terlihat begitu gusar, bagaimana tidak, dia harus segera menikah sedangkan pasangan pun tidak punya.

“Bagaimana ini,” gerutunya frustasi.

“Permisi, Non.” Elina hanya bergumam ketika Anna yang tak lain pengurus rumah masuk ke dalam ruang kerjan sembari membawa kopi untuknya. “Kopinya, Non.”

Mata Elina menatap Anna, sepintas dia pun ingat dengan pria yang membuatnya kesal tadi pagi. “Ehm … Bi, pria yang tadi pagi ke rumah siapa?”

Anna tersentak mendengar ucapan Elina. “Apa Noah yang Non Elina maksud?” batin Anna. “It-itu, Non. Eeee ....” Suara Anna tercekat dia takut Elina tahu jika dia sering menyuruh Noah untuk mengambil makanan sisa.

“Aku dengar dia putramu.”

Seketika Anna berlutut i depan Elina. “Nona, maafkan aku karena lancang membawa putraku ke rumah. Aku juga sudah memberi makanan untuk mereka. Kami nggak punya makanan karena suamiku nggak kerja, putraku hanya seorang pengangguran yang sibuk bermain game. Sedangkan aku bekerja untuk menghidupi anak dan suamiku.”

Sesaat Elina terenyuh mendengar cerita Anna. Namun, itu kesempatan baginya untuk bernegosiasi. “Begini Bi, aku akan memberikan uang seratus juta jika Bibi mengizinkan aku menikahi putramu.”

“Menikahi Noah? Non serius mau menikah dengan anak Bibi?”

Elina mengangguk lalu mendekati Anna. “Tapi ada syaratnya.”

“Apa itu Non?”

Sudut bibir Elina terangkat, dia bahagia karena satu persatu rencananya berjalan dengan lancar.

Keesokan harinya ....

“Noah …!” teriakan menggema di balik pintu kamarnya, sedangkan sang pemilik tak bergeming.

Noah seorang pria pemalas dan tidak memiliki pekerjaan. Sehari-hari dia hanya bermain game dan menghabiskan waktunya di dalam kamar. Hal itu membuat orang tuanya kesal melihat kelakuan anak sulungnya yang tidak berguna itu.

“Noah … Noah cepat bangun.”

Pria itu hanya berdecak lalu kembali tidur, menutup telinganya dengan bantal. Sementara itu di depan pintu, Anna berjalan dengan cepat pergi ke dapur dan kembali dengan membawa ember yang berisi air.

“Mamah, tunggu. Apa yang mau Mamah lakukan?”

Intan mencoba menghalangi Anna, tapi Anna tidak memperdulikan putrinya dan malah menyuruhnya untuk membuka pintu kamar Noah menggunakan kunci serep.

“Cepat buka!” Intan mau tidak mau membuka pintu kamar kakaknya.

“Noah, mamah hitung sampai tiga ya,” ancam Anna bersiap menyiram air ke wajah Noah. “Satu …”

Seketika mata Noah membelalak mendengar suara Anna. Belum sempat bangun, air sudah membasahi seluruh kepalanya hingga ke perut.

“Mamah …,” teriak Noah tak terima di siram oleh Anna.

Dengan kesal Anna melempar ember kosong yang ia pegang ke arah Noah, untungnya Noah tangkas menangkap ember tersebut membuat Anna semakin marah.

“Cepat mandi, sebentar lagi kita akan kedatangan tamu.”

Setelah mengatakan itu, Anna melangkah ke arah pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia kembali menoleh ke arah Noah dan juga Intan.

“Bawa ember itu!” hardik Anna pada Intan. “Dan kamu, cepat mandi. Pakai pakaian yang rapi dan wangi.”

Intan dan Noah hanya saling menatap melihat Anna keluar dari kamar.

“Memangnya tamu dari mana si, sampai Mamah nyolot kayak gitu?” Intan hanya mengangkat kedua bahunya, tanda jika dia juga memang tidak tahu tamu seperti apa yang akan datang ke rumah mereka sampai beberapa saudara datang hanya untuk membantu Anna memasak untuk menjamu tamu.

Tetesan air berceceran di lantai saat Noah berjalan ke kamar mandi, dia tidak pedulikan hal itu bahkan membiarkan kasurnya basah karena ulah mamahnya sendiri.

‘Seperti apa tamu yang datang,’ batinnya. Ide jahil pun melintas di otak Noah, sudut bibirnya terangkat ketika memikirkan ide gila yang membuat orang tuanya malu karena ulahnya. Dua puluh menit kemudian, Noah keluar dari kamar mandi yang berada di sudut kamarnya. Matanya melihat adiknya membawa sprei yang basah berjalan melewatinya.

“Kata Mamah buruan keluar, mandi kok lama banget kayak anak gadis aja!” cibirnya.

Bibir Noah berkomat-kamit, tangannya pun refleks mencubit perut Intan. “Ngomong apa kamu?”

“Mamah … kak Noah mukul aku!” teriak Intan.

“Noah.”

Keduanya bisa mendengar suara Anna yang berteriak dari luar kamar. Rumah yang berukuran tujuh kali sembilan itu, bisa mendengar dengan jelas suara yang berada di sisi ruangan lain.

“Dasar cepu!” gerutu Noah mendorong adiknya untuk segera keluar dari kamarnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
penikmatnovel
suka............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status